RAHARDI Ramelan adalah anak yang ulet dan cerdas di masa kanak-kanak. Hingga kelas dua SD, Rahardi masih di Sukabumi karena ayahnya menjadi kepala kantor pos di sana. Namun, setelah itu, ia pindah ke Tegal, Yogyakarta, Ciamis, dan kembali ke Sukabumi untuk menyelesaikan SLTA-nya.
Karena merasa cerdas—lulus SLTA dengan enam angka 10 di ijazahnya—Rahardi memohon kepada ayahnya, Mohamad Ramelan (kini almarhum), agar bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Karena tidak ada biaya, Rahardi berusaha sendiri mencari sekolah. Tapi dia gagal masuk Akademi Angkatan Laut (AAL) dan Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) karena dinilai kurang sehat dan terlalu kurus.
Lalu, Rahardi nekat mengambil beasiswa dari Czech Technical University, Praha, meskipun uangnya minim. Karena itu, ia harus berangkat ke Cekoslovakia dengan kapal laut pengangkut hewan. Toh, laki-laki yang memiliki senyum lebar ini berhasil lulus dari perguruan tinggi yang didirikan pada 1707 itu pada 1964—dan 30 tahun kemudian ia mendapat penghargaan Memorial Medal of Prof. Hybl dari almamaternya itu.
Sejak tahun 2000, laki-laki 62 tahun ini kembali sibuk dengan kegiatan akademis di luar negeri seperti di Rusia, negara-negara lain di Eropa, dan Amerika Serikat. Ayah dari dua anak ini pernah punya proyek penelitian di sebuah desa kecil di Eropa dan berlayar ke Yunani. Suami Tumbu Tri Iswari Astiani ini juga tercatat sebagai visiting scholar di Institut Teknologi Massachusetts (MIT).
Sayangnya, kini semua itu menjadi tidak terlalu membanggakan. Masalahnya, Rahardi harus berurusan dengan tim penyidik dari Kejaksaan Agung. Ia dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54 miliar, sejak Juli silam. Klaim pihak kejaksaan yang telah melayangkan tiga kali surat panggilan ke Rahardi—tapi tak ditanggapi dengan alasan masih sibuk mengajar—memunculkan anggapan bahwa Rahardi ogah pulang untuk mempertanggungjawabkan dana Bulog itu.
Apakah Menteri Perindustrian dan Perdagangan di zaman Presiden B.J. Habibie itu sengaja menghindar dari jerat kejaksaan dengan mengatakan sibuk mengajar di berbagai negara? Mungkin tidak. Toh, sekarang ia sudah di Jakarta. Namun, apa betul ia mengembara ke luar negeri untuk mengajar?
Rahardi pernah diberitakan ada di Rusia. Ketika TEMPO bertanya ke pihak kedutaan Indonesia di Moskow, Rusia, staf kedutaan meng-aku kesulitan untuk membuktikan apakah Rahardi ada di Rusia. Menurut sumber TEMPO di kedutaan Rusia, upaya pelacakan pihak kedutaan terhambat oleh labirin birokrasi di negara beruang merah itu.
Sedangkan keberadaan Rahardi di Jerman dibenarkan oleh pihak kedutaan Indonesia di Berlin. Disebutkan bahwa laki-laki yang memang punya banyak kenalan orang penting Jerman ini terakhir mengunjungi Jerman pada 25 Mei 2001. Menurut keterangan KBRI di sana, Rahardi diundang beberapa perguruan tinggi di Jerman untuk berceramah.
Yang juga bisa diceritakan adalah benar bahwa Rahardi pernah tinggal di Boston. Tepatnya, laki-laki penggemar gamelan Jawa ini tinggal di 125 Coolidge Avenue, Watertown, sebuah suburb di timur Kota Boston. Menurut Agus Hariyanto, Kepala Bidang Konsuler Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York, Rahardi menjadi staf pengajar di MIT.
Masih menurut Agus, Rahardi sering datang ke acara yang diadakan KJRI. Pengagum Habibie ini banyak bercerita tentang kegiatan akademisnya di AS dan berniat melakukan penelitian di Eropa.
Agus tidak tahu kapan persisnya Rahardi meninggalkan Boston. Dua surat panggilan dari kejaksaan yang diterima Agus (25 Juni dan 27 Juli) dikirimkan ke alamat Watertown, tapi kembali ke KJRI karena tidak ada yang menerimanya.
Nah, ketika Agus mencoba menelepon Rahardi pada 10 September 2001, ternyata dijawab Rahardi sendiri. Menurut Agus, Rahardi mengaku telah mendengar tentang kasusnya di Tanah Air. Tapi teman seangkatan Ginandjar Kartasasmita di Sekolah Dasar Perwira di Landasan Udara Panasan, Solo (pertengahan 1967), ini mengaku tidak menerima dua surat panggilan dari kejaksaan. Lebih jauh, Rahardi menyebutkan akan pulang ke Indonesia pada awal Oktober. Tapi kepulangannya tertunda karena tragedi 11 September itu.
Hari-hari ini, Rahardi memang berada di tengah kontroversi. Mungkin itulah yang membuat bekas wakil Ginandjar di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ini enggan berbicara kepada pers.
Dahulu, Rahardi tetap tangkas bicara meski untuk soal sulit. Ketika menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan—awal krisis ekonomi—misalnya, Rahardi terlibat argumentasi soal berbagai kebijakan seperti menaikkan harga minyak mentah, terigu, dan gula serta memutuskan pengalihan mobil nasional Timor ke pemerintah. Kasus yang dihadapi Rahardi kali ini memang berbeda karena bisa berakibat pengadilan dan penjara baginya.
Bina Bektiati, Gita Widya Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini