Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gelombang Aksi Bermuara ke Megawati?

Aksi menentang Amerika Serikat membesar. Kelompok garis keras mempunyai target ganda?

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEKALI datanglah ke Jalan Menteng Raya 58 di Jakarta Pusat. Kantor Gerakan Pemuda Islam itu hari-hari ini ramai dibanjiri anak-anak muda. Hanya berselang satu gedung dan sepetak tanah kosong, berdirilah Gedung Muhammadiyah, yang justru sepi akhir-akhir ini. Keramaian dan kesunyian dua gedung itu seperti menunjukkan sikap dua organisasi Islam itu terhadap serangan Amerika Serikat ke Afganistan. Muhammadiyah cenderung berhati-hati dan moderat, sementara Gerakan Pemuda Islam (GPI) mewakili kalangan yang bereaksi dengan keras. Selepas salat Jumat pekan lalu, di halaman Kantor GPI terlihat sekitar 100 pemuda berbaris rapi. Suara takbir terdengar setiap kali. Tak lama kemudian dengan semangat yang meluap-luap mereka bergerak menuju Kedutaan Besar Amerika Serikat, hanya sekitar 200 meter dari markas mereka. "Usir Amerika, usir para kapitalis," teriak mereka sepanjang jalan. Sampai di depan Kedutaan Besar Amerika di Jalan Merdeka Selatan, teriakan mereka semakin keras. Anak-anak GPI tak lelah-lelah mencaci-maki negara adidaya itu. Aksi ini kian panas setelah datang kelompok Himpunan Mahasiswa Muslim Antar-Kampus (Hammas), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Front Pembela Islam (FPI), Liga Muslim Indonesia, Laskar Jundullah, Majelis Mujahidin, Syabab Hidayatullah, dan Forum Peduli Islam. Sekitar 4.000 orang ini senada: mengutuk serangan Amerika terhadap Afganistan, meminta pemerintahan Megawati memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Semakin sore, suasananya semakin tegang. "Allahu akbar," takbir diteriakkan lagi. Lalu, dengan wajah geram, sekelompok aktivis tampak membakar bendera Stars and Stripes. Aparat keamanan kelabakan. Kobaran api yang cukup besar baru padam setelah polisi menyemprotkan air dari dua kendaraan water cannon. Kemarahan anak-anak muda dari ormas berbendera Islam juga meluap di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Kedutaan Besar Inggris, Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan di depan Istana Negara. Aksi yang membuat semakin macet lalu-lintas di Ibu Kota itu baru usai setelah matahari tenggelam. Tiada tembakan, tiada kekerasan. Aman. Tak sia-sia Polda Metro Jaya mengerahkan 4.800 aparat. Itulah demonstrasi terbesar di Jakarta sejak tragedi World Trade Center (WTC) di New York, 11 September silam. Aksi unjuk rasa sudah mulai terjadi ketika Presiden George Bush mengancam akan menyerang Afganistan. Negeri Taliban ini dituding melindungi Usamah bin Ladin—yang diduga sebagai dalang aksi penyerangan terhadap WTC, walaupun belum satu bukti kuat pun dipunyai AS. Dan setelah Minggu dua pekan lalu Amerika benar-benar menumbuk negeri muslim itu dengan serangan rudal, gelombang demonstrasi yang lebih besar di Indonesia tak terbendung lagi. Luapan solidaritas terhadap kaum muslim di Afganistan juga terjadi di Medan, Bandung, Makassar, Solo, dan Surabaya. Di Surabaya, misalnya, ribuan demonstran tumpah di depan Gedung Grahadi. Digerakkan oleh KAMMI, GPI, dan Pemuda Bulan Bintang, mereka menyerukan pemboikotan terhadap produk Amerika Serikat. Tapi, di tengah suasana anti-Amerika itu, tiba-tiba sebuah mobil datang mengangkut minuman Fanta dan Sprite. Tanpa ragu-ragu, para demonstran menenggak minuman asal Amerika yang dibagi-bagi secara gratis itu. "Perjuangan" dan Fanta jelas dua hal berbeda. Yang juga berbeda adalah sikap ormas Islam. Muhammadiyah, ormas Islam kedua terbesar setelah NU, tak menyerukan aksi turun ke jalan. Demikian juga NU, organisasi Islam terbesar. Yang turun ke jalan adalah GPI, FPI, dan Majelis Mujahidin. Pengikut tiga organisasi itu sekitar ratusan ribu saja, jauh lebih kecil dibanding NU dan Muhammadiyah, tapi mereka memang jauh lebih radikal dan keras dalam bersikap. Dibandingkan dengan NU dan Muhammadiyah, dua dari tiga ormas itu relatif masih muda. Front Pembela Islam, contohnya, baru dikibarkan pada 1998. Organisasi yang bermarkas di Jalan Petamburan, Jakarta Pusat, ini mula-mula dikenal karena aksinya menggerebek tempat-tempat maksiat dan perjudian. Majelis Mujahidin malah baru dideklarasikan tahun lalu di Yogyakarta. Organisasi itu merupakan payung dari berbagai kelompok bergaris keras. Hanya GPI yang cukup tua sejarahnya. Didirikan pada 1945, gerakan ini mula-mula merupakan onderbouw partai Masyumi. Sempat mengalami pasang-surut di era pemerintahan Sukarno dan Soeharto, kini organisasi yang dipimpin oleh Suaib Didu itu lepas dari ikatan dengan partai mana pun. Tapi sehari-hari Didu sendiri menjabat sebagai Wakil Sekjen Partai Bulan Bintang. Ia juga mendirikan Aliansi Antikomunis bersama Eurico Guterres, tokoh Timor Timur pro-Indonesia. Akhir September lalu, aliansi ini menggelar demonstrasi yang cukup besar di Ibu Kota. Sebelum sentimen anti-Amerika berkembang, para pengikut organisasi-organisasi itu sebetulnya sudah menyimpan kesamaan aspirasi. Mereka sama-sama menginginkan pelaksanaan syariah Islam di Indonesia. Kata Didu, memperjuangkan pelaksanaan syariah Islam ini berbeda dengan upaya mendirikan negara Islam. "Syariah Islam hanya diberlakukan bagi umat Islam," ujar lelaki 36 tahun itu kepada TEMPO. Tapi, tidak semua organisasi yang setuju syariah Islam itu turun memprotes Amerika. Darul Islam dan Laskar Jihad, yang juga memperjuangkan syariah Islam, tidak mengerahkan massa. Menurut Panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib, pihaknya kini masih berkonsentrasi pada masalah Poso dan Ambon. Secara terang-terangan, Darul Islam malah melarang anggotanya berjihad di luar wilayah Afganistan. Kata Al-Chaidar, seorang pimpinan Darul Islam, organisasi ini telah mengirim 201 mujahidin asal Indonesia ke negara yang menjadi sasaran bom Amerika itu. Bagi Arbi Sanit, absennya Laskar Jihad dan Darul Islam dalam aksi demonstrasi anti-Amerika hanya semacam pembagian tugas. Dosen politik Universitas Indonesia itu melihat, sekarang organisasi-organisasi Islam garis keras menggunakan isu Afganistan untuk membesarkan gerakan mereka. Kata Arbi, "Tujuan akhirnya adalah pelaksanaan syariah Islam di Indonesia." Maka, segala seruan mereka, termasuk pemutusan hubungan diplomatik RI-AS, agaknya hanya sasaran antara. Padahal, putusnya hubungan diplomatik adalah soal serius. Ketua PP Muhammadiyah Syafii Ma'arif menilai seruan pemutusan hubungan diplomatik dan pemboikotan terhadap produk Amerika Serikat dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya secara ekonomi. Padahal, kata Syafii, "Jika Amerika bereaksi dengan menghentikan bantuan ekonomi, negara kita akan bangkrut." Repotnya, Amerika sendiri seperti memompa semangat kalangan garis keras dengan aksi ke Afganistan ini. Kalangan moderat pun mulai jengkel dengan ulah Presiden George Bush dan sekutunya, yang meneruskan serangan sampai kini. Ketua PPP Jakarta, Djafar Badjeber, misalnya, telah mengancam akan menurunkan jutaan massa PPP kalau Amerika tetap arogan dan main bunuh orang seenaknya. Di luar urusan solidaritas, mungkin saja aksi anti-Amerika ini akan berimbas ke kursi Presiden Megawati Sukarnoputri. Tanda-tandanya sudah ada. Sudah lama di markas GPI terpampang poster yang menyudutkan pemerintah: "Islam di Indonesia jangan dijual ke teroris Amerika." Lalu, ada lagi: "Mega dan Hamzah tangan dajal Amerika Serikat." Kalangan Front Pembela Islam pun tidak menyangkal bahwa posisi Megawati bisa terancam. Menurut Rizieq Syihab, kini arus yang mendesak pemutusan hubungan diplomatik Indonesia dan Amerika Serikat kian besar dan sulit dibendung. Kalau Megawati mau mengikuti arus dan menyetujui tuntutan itu, kata Rizieq, ia akan selamat. "Namun, kalau Megawati mau melawan arus yang dahsyat ini, bisa-bisa dia akan terjungkal." Rizieq boleh menggertak. Tapi menjatuhkan Megawati juga tidak gampang. Selama NU dan Muhammadiyah tidak menurunkan massa ke jalan, sulit menciptakan gelombang aksi yang benar-benar dahsyat. Kunci lainnya dipegang oleh partai-partai berbasis massa Islam seperti PPP, PBB, PK, dan PAN. Selama kepentingan mereka masih diperhatikan oleh Presiden, menurut Arbi Sanit, mereka akan tetap menyokong pemerintah. "Sejauh ini saya belum melihat partai-partai memanfaatkan aksi-aksi itu untuk menjegal Megawati," kata Arbi. Sikap Wakil Presiden Hamzah Haz juga bisa menjadi indikasi. Selama figur yang dianggap mewakili umat Islam ini belum tampak berseberangan dengan Megawati, gonjang-ganjing politik belum terjadi. Berbagai kemungkinan lain bisa saja muncul. Tapi rasanya ada yang aneh bila urusan Amerika versus Bin Ladin itu harus memicu konflik di dalam negeri. Kecuali memang ada yang mengincar Istana. Gendur Sudarsono, Agus Hidayat, Heru C. Nugroho (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus