Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan tangan terkepal ke atas, Akbar Tandjung memekik: "Hidup Golkar..., hidup Golkar." Sedetik kemudian, ribuan pengikut Golkar dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi menyahut lebih kencang: "Mari Bung rebut kembali!" Gedung Gelora Bung Karno di Kota Bogor itu tenggelam oleh semangat kemenangan, pertengahan bulan lalu. Acara halal bihalal itu berubah menjadi ajang pemompa semangat untuk merebut kembali dominasi politik dalam pemilu mendatang. Tepuk tangan bergema. Sorak-sorai bergemuruh. Riuh.
Para petinggi partai duduk bersanding di depan. Selain Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, hadir juga tiga bakal calon presiden partai, yaitu Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto. Tiga calon yang lain?Wiranto, Jusuf Kalla, dan Sultan Hamengku Buwono X?tidak kelihatan hari itu. Toh semangat terus digelembungkan. "Semua kader wajib merebut kembali kemenangan pada Pemilu 2004," ujar Akbar Tandjung, ketua umum partai, dalam pidatonya. Dengan lantang ia bilang bahwa Golkar menargetkan merebut 31,1 persen suara?entah dari mana angka pecahan itu ia peroleh.
Pengikutnya memekik, berteriak, seolah sebuah masa kejayaan membayang kembali seperti ketika mereka menang dalam pemilu tahun 1971 hingga 1997. Enam kali menang pemilu, enam kali pula partai ini mengusung Soeharto ke jabatan puncak di negeri ini. Dan sekarang, menjelang Pemilu 2004, Partai Golkar tidak hanya punya satu nama, tapi tujuh calon presiden.
Ketujuh calon itu akan bertarung dalam konvensi partai?sebuah cara memilih presiden yang meniru cara negara maju seperti Amerika Serikat. Konvensi baru dilontarkan Golkar pada Oktober 2002 setelah MPR menyetujui amendemen UUD 1945. Dalam aturan hukum tertinggi itu disebutkan bahwa pemilihan presiden akan dilakukan secara terbuka dan langsung.
Melalui konvensi, setiap calon tidak hanya perlu mencalonkan diri sendiri, tetapi juga harus punya basis dukungan di daerah. Di Indonesia, dukungan daerah ini bukan perkara gampang. Negeri ini punya 416 kabupaten dari 32 provinsi. Cara baru ini sungguh jauh berbeda dibanding ketika presiden dan wakilnya hanya dipilih oleh sekitar seribu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sebelum konvensi, Beringin nyaris tak punya calon presiden. Akbar tidak bisa maju ke pentas pemilihan karena ia "tervonis" kasus Bulog. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sudah menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara dalam putusan banding?walau Akbar tidak masuk penjara. Kini, nasibnya bergantung pada hasil kasasi yang sedang dibahas di Mahkamah Agung.
Penantian ini agaknya membuat surut kembali debat sengit di Beringin. Sebagian orang Beringin ingin Akbar segera diganti, sementara sekelompok yang lebih banyak berniat mempertahankan Akbar sampai urusan MA jelas. Dalam suasana begitu pelik, lahirlah gagasan konvensi tersebut. "Ketimbang dihujat, lebih baik kami bikin sistem yang demokratis dan jelas," kata Slamet Effendy Yusuf, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Golkar yang ikut menggodok ide konvensi.
Maka, berduyun-duyunlah calon presiden datang "berteduh" di bawah Beringin. Ada pengusaha seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla. Ada pula tokoh dan bekas tokoh militer seperti Wiranto dan Prabowo Subianto. Sri Sultan Hamengku Buwono X juga ikut berlaga, juga tokoh agama Nurcholish Madjid. Total ada 19 orang yang datang ke arena perebutan tiket calon presiden partai itu.
Pada mulanya, sebagai politikus ulung, Akbar sangat berhati-hati soal pencalonan dirinya sebagai presiden. Ia yang masih Ketua DPR tahu benar bahwa lembaganya belumlah selesai membahas RUU Pemilihan Presiden. Salah satu pasal aturan hukum itu jelas memasang rambu-rambu yang agak sulit ditembus Akbar, yaitu: mereka yang terpidana dilarang mencalonkan atau dicalonkan untuk jabatan presiden.
Tapi, bukankah politik juga seni berkelit yang canggih? Tiba-tiba rapat pimpinan nasional Partai Golkar, Juni 2003, berhasil memundurkan waktu konvensi sampai sekitar Mei 2004, setelah pemilu untuk memilih anggota parlemen rampung. Artinya, Akbar masih punya kesempatan untuk bertanding di konvensi, bila sebelum Mei 2004 putusan kasasi MA, misalnya, membebaskan Akbar.
Keputusan ini tentu saja membuat kecewa kubu Golkar yang ingin konvensi diadakan sebelum pemilu legislatif pada 5 April 2004. Kalau Golkar pada waktu itu sudah punya calon presiden, "Golkar bisa lebih terfokus mempersiapkan diri," ujar Fahmi Idris, anggota kubu yang menginginkan konvensi dipercepat.
Apa boleh buat, keputusan memundurkan konvensi itu memang "angin baik" bagi Akbar. Tapi ada calon presiden yang mulai khawatir dengan jurus-jurus politik Golkar itu. Dia adalah Nurcholish Madjid. Cak Nur?begitu ia biasa dipanggil?merasa sistem yang dimainkan sudah tidak fair lagi. Dan ia pun mundur. Sebagai ketua umum partai, menurut Cak Nur, sepatutnya Akbar tidak mencalonkan diri. "Di Amerika, Presiden George Bush itu anggota Partai Republik, tapi bukan pengurus. Bill Clinton orang Partai Demokrat, tapi bukan pengurus. Mestinya, pengurus partai tidak mencalonkan diri," kata Cak Nur.
Fahmi Idris sepakat dengan Cak Nur. Sistem konvensi itu diibaratkan Fahmi sebuah pertandingan. Akbar, kata dia, tak lagi menjadi wasit tetapi sudah sekaligus menjadi pemain. "Bagaimana mau netral dan fair, Akbar adalah ketua umum partai yang menunjuk panitia konvensi. Panitia itu yang mempertanggungjawabkan penyelenggaraannya kepada partai," ujarnya.
Akbar tidak banyak reaksi. Ia hanya menjamin akan bersikap netral terhadap sistem konvensi, juga atas pencalonannya.
Boleh percaya, boleh tidak. Yang kelihatan di awal masa prakonvensi tingkat kabupaten, kota, dan provinsi, Akbar kalah pamor dengan calon lain. Di Jawa Tengah, Akbar kalah dari nama-nama baru Prabowo Subianto, Wiranto, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla.
Di tahap awal konvensi, dari 19 nama calon yang masuk bursa, hanya 7 tokoh yang berhasil masuk unggulan teratas dan dianggap memenuhi syarat ikut konvensi. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Wiranto, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, dan Sultan Hamengku Buwono X. Akbar berada di urutan keempat.
Selanjutnya, ketujuh calon itu harus mengikuti mekanisme penetapan lima calon lagi di tingkat pusat. Dari kelima calon itu, setelah pemilu legislatif nanti akan dipilih satu orang untuk menjadi calon presiden resmi utusan Partai Golkar.
Ada yang menganggap keputusan mengundurkan jadwal konvensi itu adalah langkah jitu. Sebab, dengan tujuh calon presiden menjaring suara, diharapkan perolehan suara Golkar bakal meningkat dibanding jika hanya satu orang calon presiden yang bekerja mencari suara. Jika seorang calon presiden Golkar sudah terpilih sebelum kampanye, jangan-jangan enam calon yang "kesal" malah akan menggembosi Golkar atau menyeberang ke partai lain.
Namun, di mata Fahmi Idris, salah seorang Ketua Partai Golkar, pengunduran jadwal konvensi tetap merugikan partainya. Sebab, selama masa kampanye, Partai Golkar belum memperkenalkan calon presidennya, sementara, "partai-partai lain sudah gencar menjual calon presiden mereka."
Yang akan menjadi "ganjalan" bagi Partai Golkar adalah munculnya Partai Karya Peduli Bangsa, yang dimotori bekas Kepala Staf Angkatan Darat, R. Hartono, dan putri Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana. Mereka ini terang-terangan menyebut diri sebagai "Golkar asli"?yang kabarnya punya daya tarik bagi sebagian pengikut Golkar di berbagai daerah. Dari sisi ini, kritik Fahmi Idris bisa dibenarkan: calon presiden Partai Golkar nanti bisa-bisa "telat" bersaing dengan Siti Hardijanti Rukmana.
Pengamat politik dari UGM, Riswanda Imawan, mengingatkan bahwa pencalonan Tutut ini bisa menjadi problem serius bagi Partai Golkar jika tokoh yang dipilih dalam konvensi tak bisa diterima masyarakat. "Sebab, meskipun dicalonkan PKPB, sangat mungkin akan ada mobilisasi seluruh partai 'anak-anak' Golkar untuk mendukung Tutut," ujarnya.
Yang artinya: pertarungan memang akan berjalan seru. Dan slogan "mari Bung rebut kembali" agaknya harus diraih dengan tenaga ekstrakuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo