Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kopi Gunung di Angkasa

Kopi Malabar dan beberapa jenis kopi Nusantara kini bisa dinikmati di pesawat terbang. Petani kopi dituntut kreatif dan inovatif.

24 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI hamparan kebun di Pangalengan, Jawa Barat, kopi Malabar kini bisa dinikmati di angkasa. Adalah maskapai AirAsia yang menyajikan varian Arabika single origin itu di setiap penerbangannya di Nusantara.

Pemasok mereka adalah PT Sinar Mayang Lestari, pemilik merek dagang Malabar Mountain Coffee. Teken kontrak pada akhir September lalu, kopi celup Malabar mulai dihidangkan di angkasa pada 1 Oktober 2016, tepat pada perayaan Hari Kopi Internasional.

"Mereka pesan 5.000 sachet per bulan," kata Slamet Prayoga, Direktur PT Sinar Mayang Lestari, saat ditemui di Bogor, Jawa Barat, awal Oktober lalu.

Direktur Niaga AirAsia Indonesia Andy Adrian Febryanto mengatakan ide menghadirkan kopi-kopi Nusantara dalam penerbangan tak lepas dari budaya minum kopi yang kini sudah mendunia. Tak cuma di kafe, kegiatan menikmati kopi pun bisa dilakukan di pesawat. "Kami terinspirasi memperkenalkan kekayaan cita rasa khas Indonesia melalui seduhan kopi Nusantara terbaik," ujar Andy pada awal Oktober lalu.

Yoga—nama panggilan Slamet Prayoga—pun kemudian diminta melakukan kurasi kopi dari berbagai daerah. Ada empat jenis kopi lain yang dipilih untuk disuguhkan di AirAsia, selain kopi Malabar. Keempatnya: Aceh Gayo, Sumatera Utara Karo, Sulawesi Toraja, dan Bali Kintamani. Khusus kopi Malabar merupakan hasil kebun milik Yoga di Pangalengan.

Kebun Yoga bisa dicapai dengan berkendaraan satu setengah jam ke arah selatan dari Kota Bandung. Di kebun dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut ini, Yoga mempersilakan siapa saja datang dan sekaligus berkemah. Bukan sekadar vakansi, "Di sana kita bisa merunut proses buah kopi sejak dipetik dari pohon sampai masuk cangkir," ucap insinyur pertanian lulusan Universitas Mulawarman, Samarinda, itu.

Di kebun ini pula para pelancong bisa menyaksikan proses menghasilkan kopi dengan kualitas premium. Yoga menerapkan standar tinggi sejak masa persiapan panen. "Babat semua ilalang karena mereka akan mencuri nutrisi dari tanah yang bisa bikin pohon kopi berbuah tak lebat," tutur Yoga.

Pohon kopi pun tak luput "divermak". Proses ini disebut miwil, yakni memangkas ranting dan daun agar tak terlalu rimbun. Pohon yang terlalu rimbun justru tak terpapar sinar matahari sehingga bisa-bisa si batang pohon dijalari jamur atau virus mematikan.

Setelah urusan pohon selesai, Yoga beralih ke seleksi buah kopi. Dia termasuk rewel. Pekerjanya dilarang memetik buah yang masih hijau (green bean). Hanya buah kopi merah (red cherry) yang bisa lolos hingga sortir biji kopi yang ketat. "Saya tak mau kompromi dengan standar kualitas," katanya.

Yoga bahkan bisa memodifikasi rasa kopi. Caranya antara lain dengan menanam cabai gendot (Capsicum chinense) di sela-sela pohon kopi. "Tanaman ini akan memberi karakter rasa spicy pada kopi," ujar Tatam alias Asep, anak buah Yoga.

Setelah dipanen, buah kopi dijemur. Biji-biji kopi dibeber di atas terpal agar mudah dibuka pada saat sinar terik sekaligus cepat digulung kalau hujan datang.

Dari lapangan penjemuran, biji kopi menjalani proses grading. Dalam proses itu, biji kopi disortir oleh mesin untuk dipilah berdasarkan ukuran. Lalu biji kopi disortir secara manual untuk menyisihkan yang hitam, bolong, dan pecah. Hanya biji kopi terbaik yang akan disangrai, digiling, lalu disajikan.

Pencapaian Yoga di jagat perkopian terbilang luar biasa mengingat dia baru memulainya empat tahun lalu. Pensiun dini sebagai konsultan perkebunan, Yoga lantas membeli tanah seluas 20 hektare pada 2002 untuk kebun kopi. Kini tanahnya sudah menjadi 70 hektare.

Di luar kontrak rutin dengan AirAsia dan menawarkan paket wisata di perkebunan, Yoga mendirikan sebuah kafe di Bogor. "Kopi kami cepat dikenal karena sempat menang di beberapa kontes," katanya.

Salah satu kontes yang paling bergengsi adalah Specialty Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat. Dalam lelang yang digelar pada 14-17 April 2016 itu, kopi Malabar mendapat skor tertinggi keempat. Juaranya adalah kopi Gunung Puntang, yang juga dari tataran Sunda.

Kebun kopi Gunung Puntang berada di Kabupaten Bandung. Salah satu pengelolanya adalah Ayi Sutedja, 51 tahun. Setelah memenangi lomba icip-icip dengan skor 86,25, kopi olahannya dilelang seharga US$ 55 atau setara dengan Rp 715 ribu per kilogram. "Kopi kami dianggap terbaik karena tak menggunakan pupuk kimia," ucap Ayi.

Ayi menilai prestasi itu sebagai bonus karena dia menanam kopi di Gunung Puntang sebagai misi penyelamatan lingkungan. Kawasan Puntang sempat ditutup karena kebakaran pada 2008. Kini kebun kopi Ayi dan beberapa petani lokal telah menghijaukan pegunungan tersebut.

Petani kopi lain, Damianus Salus, pun tengah bergembira. Anak keduanya baru diterima di Jurusan Agribisnis Universitas Timor, Nusa Tenggara Timur. Terbang ke Jakarta atas undangan Kedutaan Besar Australia, Damianus bercerita tentang kebun kopi 1,5 hektare yang diwarisi dari ayahnya.

Berkebun sejak 1991, hasilnya habis hanya untuk kebutuhan keluarganya. Kebunnya hanya menghasilkan 1 ton kopi per tahun. Oleh tengkulak, kopinya dihargai Rp 9.000-20.000 per kilogram. Artinya, setahun Damianus hanya mengantongi uang maksimal Rp 20 juta. Tak sampai Rp 2 juta per bulan.

Damianus mengakui saat itu hasil kebunnya memang tak maksimal. Di desanya, Rende Nao, Manggarai Timur, Flores, petani sudah turun-temurun menanam kopi. Tapi pohon-pohon kopi itu dibiarkan tumbuh begitu saja. Jangankan reka rasa, petani juga tak mengenal pupuk atau pemangkasan ranting.

Akhirnya pohon-pohon itu tumbuh lebat, menjulang pula. "Kalau lihat petani sana memetik kopi itu sampai seperti akrobat," katanya.

Kehidupan Damianus baru membaik setelah dia bergabung dengan Koperasi Asnikom pada 2015. Di sana dia mendapat pelatihan berkebun sekaligus mendapat harga jual yang lebih layak untuk biji kopi Arabika Flores miliknya, yakni Rp 70 ribu per kilogram. "Dulu saya tidak tahu kopi saya ini jenisnya apa, jual saja," ujarnya.

Sudah terang Damianus girang. Sekarang dia leluasa mengantar anaknya merantau untuk kuliah yang dibiayai dengan hasil penjualan biji kopi.

Toh, keuntungan terbesar bukan di hulu, termasuk untuk perkebunan yang dikelola secara profesional seperti Malabar. Kopi celup yang oleh Malabar dijual seharga Rp 6.500 per sachet, saat tersaji di kabin AirAsia harganya menjadi Rp 25 ribu secangkir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus