Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kotak Pandora Anggaran Ibu Kota

Rancangan anggaran DKI Jakarta mengandung berbagai kejanggalan. Penelusuran Tempo menunjukkan pengawasan oleh pemerintah daerah lemah di berbagai tahap penganggaran. Gubernur Anies Baswedan menyalahkan sistem warisan Basuki Tjahaja Purnama.

8 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah hiruk-pikuk pembahasan anggaran Ibu Kota, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menemui tamunya, Sri Mahendra Satria Wirawan, di ruang kerjanya pada Jumat siang, 1 November lalu. Menurut Anies, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah itu memberikan penjelasan tentang anggaran DKI tahun 2020 yang ramai diperbincangkan di media sosial. “Beliau memilih mengundurkan diri,” kata Anies kepada Tempo pada Jumat, 8 November lalu.

Dua hari sebelumnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia, William Adi-tya Sarana, mengkritik rencana anggaran DKI di akun Twitter-nya. William antara lain mempertanyakan pengadaan barang oleh Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat dalam kegiatan “Penyediaan Biaya Operasional Pendidikan Sekolah Dasar Negeri”. Ia mencontohkan soal pembelian lem Aica-Aibon senilai Rp 82 miliar dan pulpen untuk siswa sekolah dasar sebesar Rp 123,8 miliar.

Setelah pertemuan dengan Mahendra, Anies dan bawahannya itu menggelar konferensi pers. Di hadapan wartawan, Mahendra mengungkapkan alasannya mundur, yaitu DKI memerlukan perbaikan kinerja. “Supaya akselerasi Bappeda bisa lebih ditingkatkan,” katanya. Anies menunjuk Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Kependudukan dan Permukiman Suharti sebagai pelaksana tugas Kepala Bappeda.

Pejabat lain yang mundur setelah kega-duhan itu adalah Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Edy Junaedi. Dalam cuitannya, William mengatakan pemerintah DKI juga berencana membayar lima influencer senilai Rp 5 miliar untuk mempromosikan pariwisata Jakarta.

Setelah William membuka anggaran lem, satu per satu kejanggalan lain dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara—tahap sebelum menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah—Jakarta tahun 2020 terungkap. Indonesia Corruption Watch, misalnya, menemukan rencana pembelian lem Aica-Aibon bahkan jauh lebih besar, yaitu mencapai Rp 126,2 miliar. ICW juga menyoroti anggaran pembelian komputer jinjing Rp 238,6 miliar dan pembelian kertas senilai Rp 212,9 miliar. “Anggaran ini digunakan untuk biaya operasional pendidikan,” kata peneliti ICW, Almas Sjafrina.

Gubernur Anies sebenarnya telah memerintahkan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) menemukan dan mengoreksi kejanggalan anggaran. Anies kemudian menyampaikan hasil penyisiran TGUPP dalam rapat pada 23 Oktober lalu. Dia menyoroti pembelian pulpen senilai Rp 635 miliar, pengadaan kertas Rp 213 miliar, pembelian tinta printer Rp 407 miliar, dan pengadaan pita printer Rp 43 miliar.

Penyisiran ini dilakukan juga karena ada surat Kementerian Keuangan mengenai dana bagi hasil yang tidak dicairkan senilai Rp 6,39 triliun. Akibatnya, postur anggaran berubah dari Rp 95,9 triliun menjadi Rp 89,4 triliun. “Jadi tidak sekadar data entri. Itu terlalu mikro,” ujar Anies.

Anies Baswedan memberikan pengarahan soal Pembahasan Rancangan KUA-PPAS dan RAPBD TA 2020 di Jakarta, 23 Oktober 2019. Youtube/Diskominfotik

Meskipun telah disisir TGUPP, nyatanya anggaran-anggaran yang dinilai mencurigakan masih tetap lolos ketika dibahas di Dewan. Anggota DPRD dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ima Mahdiah, menyebutkan ada anggaran senilai Rp 2,4 triliun yang patut disoroti. Angka ini tersebar ke dalam 27 komponen anggaran. Misalnya pembelian pasir senilai Rp 52,1 miliar dan pengadaan pulpen Rp 633 miliar untuk Biaya Operasional Pendidikan SMP dan SMK di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 2 Jakarta Pusat. “Temuan ini ada dalam dokumen anggaran terbaru,” kata Ima.

Kejanggalan anggaran terungkap pula dalam rapat Komisi D DPRD Jakarta. Politikus Partai Gerindra, Syarif, juga menyo-roti sejumlah pengeluaran yang dinilai terlalu mahal. Dia mencontohkan penataan rukun warga di kampung kumuh dengan nilai Rp 600 juta. Jika diakumulasi, total anggaran untuk penataan ini mencapai Rp 43,8 miliar. Padahal, untuk item yang sama tahun lalu, nilainya kurang dari Rp 400 juta. Syarif mempertanyakan kenaikan anggaran hingga 50 persen itu.

Gubernur Anies Baswedan menyatakan tak mau defensif atas berbagai temuan lembaga lain, termasuk tuduhan bahwa TGUPP tak maksimal dalam menyisir anggaran. Menurut dia, bisa saja satu pihak mengatakan satu anggaran janggal, sementara yang lain mengatakan tidak. Ia mempersilakan siapa saja mengikuti pembahasan anggaran di lembaga legislatif. “Bahwa dalam membahas sambil menya-lahkan sana-sini, itu juga hak mereka,” ujar Anies.

Di luar urusan nilai belanja yang tak masuk akal, pembahasan anggaran terhambat karena anggota DPRD merasa tak ada satu versi anggaran yang disampaikan pemerintah. Ketua Fraksi PSI di DPRD Jakarta, Idris Ahmad, mengatakan data pemerintah di kertas yang dibagikan kepada anggota kerap berbeda dengan yang ditam-pilkan saat pemerintah daerah melakukan presentasi di rapat komisi. Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Zita Anjani, bahkan mengklaim tak pernah memegang detail anggaran yang dibahas bersama pemerintah. “Ada anggota DPRD yang dapat, ada yang tidak dapat,” ucap Zita.

 

PENYUSUNAN anggaran DKI Jakarta terentang ke belakang sejak Februari 2019 melalui rembuk warga di tingkat rukun tetangga dan rukun warga serta musyawarah perencanaan pembangunan secara berjenjang. Anies mengklaim persoalan muncul belakangan karena sistem penganggaran elektronik atau e-budgeting tak sinkron dengan sistem perencanaan anggaran. Ia mencontohkan, hasil rembuk warga tak otomatis terkoneksi dengan sistem e-budgeting yang digunakan pemerintah.

Menurut Anies, hasil musyawarah perencanaan pembangunan yang dilakukan secara berjenjang itu mesti di-input secara manual ke dalam sistem e-budgeting. Meskipun ada banyak tangan yang terlibat, kata dia, selalu ada potensi lolosnya item-item yang janggal. Sebab, ada 39 ribu mata anggaran yang mesti di-input. Di sisi lain, sistem e-budgeting tak bisa melacak siapa yang meng-input jika terjadi perubahan anggaran. Misalnya, ketika seseorang meng-input lem Aica-Aibon dengan angka Rp 82 miliar lalu merevisinya, sistem tak bisa melacak pengubah kegiatan itu. “Sistemnya memang begitu,” ujar Anies.

Klaim Anies tersebut dibantah seorang petinggi Balai Kota yang menunjukkan sistem penganggaran elektronik kepada Tempo. Setelah mata anggaran di-input sesuai dengan tenggat yang ditentukan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah bakal mengunci item anggaran sehingga tak bisa diotak-atik. Sebelum anggaran dikunci, identitas pemilik akun e-budgeting yang merevisi anggaran akan terpampang dengan jelas, lengkap dengan tanggal, jam, dan menit perubahan. Sistem itu juga menampilkan siapa pemilik akun yang mengunggah revisi terakhir.

Terkait dengan input lem Aica-Aibon di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat, Tempo membandingkannya dengan belanja serupa pada 2019. Seorang pejabat menunjukkan kegiatan Penyedia-an Biaya Operasional Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 2019, tempat lem Aica-Aibon di-input. Tahun lalu, anggaran untuk pagu anggaran ini sebesar Rp 73,9 miliar dengan belasan komponen anggaran.

Dari jumlah itu, tiga komponen yang menghabiskan anggaran terbesar adalah belanja pemeliharaan sarana pendidikan dan pelatihan senilai Rp 9,4 miliar, belanja alat tulis kantor Rp 5,1 miliar, serta belanja pemeliharaan alat peraga/praktik sebesar Rp 3,3 miliar. Menurut pejabat itu, seharusnya kepala dinas bisa menjadikan kegiatan tahun lalu sebagai acuan komponen anggaran sehingga tak hanya meng-input satu komponen untuk menghabiskan pagu.

Anies mengakui ada kemalasan dari perangkat di bawahnya untuk -mengisi komponen kegiatan. “Ada yang -memilih satu-dua barang untuk menghabiskan pagu anggaran.” Anies mengatakan sis-tem e-budgeting tak bisa membedakan apakah itu karena kesalahan atau memang ada niat buruk.

Di luar soal input anggaran, sistem e-budgeting sebenarnya menyediakan peng-awasan berjenjang. Dalam sistem yang dilihat Tempo, proses input anggaran meliputi tujuh tahap sejak 27 Maret hingga 3 Juli 2019. Di antaranya Input Rencana Kerja Tahap I dan II, Tahap Supervisi, dan Input Supervisi Rancangan Kebijakan Umum Anggaran. Pejabat yang menunjukkan sistem penganggaran elektronik menyebutkan bahwa setiap tahap -diawasi tim anggaran pemerintah daerah yang terdiri atas dinas terkait, inspektorat daerah, dan Bappeda. Karena itu, tim anggaran daerah bisa mengawasi komponen apa saja yang di-input dinas terkait.

Anies mengatakan masalah di level pe-rangkat birokrasi pemerintahannya sebenarnya telah dia temukan. Namun ia memilih menyelesaikan persoalan tersebut secara internal. “Saya tidak punya intensi menjadikan ini sebagai persoalan politik,” ujar bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

 

 

SEJUMLAH pihak menuding polemik anggaran Ibu Kota terjadi karena Gubernur Anies tak membuka rancangan plafon anggaran sementara. Ketua Fraksi PSI Idris Ahmad, misalnya, mengatakan seharusnya rancangan anggaran dibuka agar publik bisa ikut mengawasi dan berpartisipasi. “Ini harus dibuka untuk mendorong partisipasi publik,” ujar Idris.

Situasi ini berbeda dengan era kepemim-pinan Basuki Tjahaja Purnama, gubernur terdahulu. Saat itu, publik bisa mengetahui perencanaan anggaran sejak musyawarah perencanaan pembangunan. “Sudah bisa (diakses), semua bisa tayang,” kata Basuki kepada Tempo.

Sekretaris DKI Jakarta Saefullah membantah tudingan bahwa pemerintah DKI Jakarta tidak transparan dalam penyusun-an anggaran tahun ini. “Yang kita kerjakan sekarang persis dengan apa yang kita lakukan dulu,” ujar Saefullah.

Anies menyatakan kejanggalan anggaran selalu terjadi tiap tahun, termasuk saat Basuki memimpin Jakarta. Dia mencontohkan, pada 2017, ada belanja penghapus papan tulis hingga Rp 53 miliar. Menurut Anies, kesalahan input anggaran terjadi karena birokrat berpikir bakal ada koreksi saat pembahasan bersama DPRD. Anies memilih tidak mengumumkan kesalahan yang ditemukan tim pemerintah daerah kepada publik. “Untuk apa diumumkan? Ketika kami menemukan masalah, kami justru ingin menyelesaikannya.”

Dia pun tidak akan membuka rancang-an anggaran pada tahap awal. Rancangan tersebut baru akan dibeberkan ke publik setelah anggaran disetujui Dewan. “Kare-na nanti pasti bakal ada keriuhan,” katanya.

WAYAN AGUS PURNOMO, GANGSAR PARIKESIT, LANI DIANA, TAUFIQ SIDDIQ 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus