Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAGAT Sidi Wahono diam mendengarkan kegundahan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota DKI Jakarta pada awal 2014. Di hadapan Gagat, yang baru menyelesaikan presentasi sistem penganggaran elektronik atau e-budgeting, Jokowi dan Basuki, yang saat itu menjadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta, bercerita tentang program prioritas mereka yang tiba-tiba saja menghilang sebelum dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Padahal program itu sudah tuntas dibahas saat fase perencanaan.
Menurut Gagat, Jokowi juga menjelaskan soal proyek siluman. Meski sudah dilarang diusulkan, bahkan dicoret, proyek itu tetap muncul. “Pak Jokowi merisaukan anggaran siluman, biaya-biaya yang tiba-tiba muncul,” kata praktisi sistem teknologi informasi itu kepada Tempo, Kamis, 7 November lalu. Kegelisahan Jokowi dibawa Gagat ke dalam diskusi tim teknis yang terdiri atas sekitar sepuluh orang.
Sebelum pertemuan di Jakarta itu, Gagat dan timnya ikut mengembangkan sistem penyusunan bujet secara elektronik untuk Pemerintah Kota Surabaya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengaku telah mengembangkan sistem elektronik yang dipelopori Gagat untuk mendukung penyusunan anggaran. Dengan penambahan sistem lain, seperti perencanaan elektronik, Risma mengaku bisa menghemat anggaran hingga ratusan juta rupiah.
Tim Gagat kemudian mulai memodifikasi sistem yang digunakan di Surabaya agar sesuai dengan keinginan Jokowi menyapu proyek siluman. Sistem yang dirancang Gagat dan timnya mulai beroperasi dalam penyusunan Anggaran Pendapat-an dan Belanja Daerah Perubahan DKI tahun 2014. Saat itu, Basuki naik menggantikan Jokowi, yang terpilih sebagai presiden.
Memperbaiki sistem, tim Gagat mene-rapkan input anggaran berjenjang, yaitu dari lurah hingga pemerintah provinsi. Tim itu juga memasang fungsi login khusus untuk tiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) buat mengetahui siapa peng-usul proyek dan komponennya. Gagat pun menambahkan fitur history ke dalam sistem untuk mengetahui perubahan item proyek yang dilakukan semua pemegang akun. Menurut dia, semua sistem tambahan itu bisa menghilangkan potensi penyalahgunaan anggaran negara. “Kalau ada SKPD meng-input anggaran aneh-aneh, pasti langsung terlacak,” ujar lulus-an Universitas Airlangga itu.
Tim Gagat juga merombak model perencanaan anggaran. Sebelumnya, sistem yang digunakan berupa paket atau gelondongan dan tak disertai rincian kegiatan. Setelah penerapan e-budgeting, semua prog-ram harus disertai volume dan spesifi-kasi barang yang diadakan. -Gagat mencon-tohkan, dengan sistem paket, pem-bangun-an gedung sekolah bisa diang-garkan seenak-nya tanpa disertai rin-cian pekerjaan dan pengadaan barang. Dengan e-budgeting, pengusul harus memasukkan jumlah dan luas kelas dengan harga satuan yang sudah dikunci Badan Pengelola Keuangan Daerah. Biaya pembangunan pun bisa ditekan hingga hampir separuhnya.
Sistem kerja e-budgeting Jakarta, kata Gagat, juga didesain untuk memilah secara otomatis komponen barang berdasarkan sektor kedinasan. Dia mencontohkan, pejabat di Dinas Penanggulangan Kebakaran DKI Jakarta tak akan bisa mengusulkan pengadaan jarum suntik. Mereka hanya bisa meng-input pembelian slang, truk pemadam, pakaian tahan api, dan komponen lain yang berhubungan dengan tugas institusi. “Kalau tak dikunci seperti itu, para pengusul akan asal memasukkan komponen yang tak terkait dengan pekerjaan mereka,” ujar Gagat.
Meyakini pembahasan Rancangan APBD DKI tahun 2015 penuh kejanggalan, Gubernur Basuki kemudian menyerahkan APBD hasil penganggaran elektronik yang tidak melalui pembahasan dengan DPRD kepada Kementerian Dalam Negeri. Akibatnya, DPRD Jakarta pun menggunakan hak angket terhadap Basuki. Salah satu yang dipersoalkan adalah penunjukan Gagat sebagai konsultan e-budgeting secara langsung oleh pemerintah DKI dan ia hanya menerima honor sebagai pelatih jajaran SKPD.
Gagat Sidi Wahono. Dokumentasi Pribadi
Pada Maret 2015, Gagat dipanggil dan dicecar tim hak angket DPRD. Saat itu, ketua tim angket Muhammad Ongen Sangaji sangsi bahwa e-budgeting diberikan secara cuma-cuma untuk pemerintah DKI Jakarta. “Setahu saya, tidak mungkin gratis,” ujar politikus Partai Hati Nurani Rakyat itu. Namun Gagat memastikan aplikasi itu diserahkan secara cuma-cuma.
Basuki menjelaskan, pertimbangan memilih Gagat adalah dia punya pengalaman membangun sistem di Surabaya. “Ia menjadi tenaga ahli saja, tapi sistem e-budgeting tetap dijalankan dan menjadi milik Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah,” ujar Basuki di hadapan anggota Dewan. Tim angket belakangan menyimpulkan bahwa Basuki melanggar aturan karena menyerahkan APBD DKI yang bukan merupakan hasil pembahasan dengan DPRD kepada Kementerian Dalam Negeri. Meski demikian, sistem e-budgeting terus berjalan hingga Anies Baswedan menggantikan Basuki.
Setelah muncul persoalan lem seharga Rp 82 miliar yang disampaikan politikus Partai Solidaritas Indonesia, William Adi-tya Sarana, Gubernur Anies menimpakan kesalahan pada sistem e-budgeting wa-risan pemerintah sebelumnya. “Sistemnya sudah digital, tapi tidak smart,” ujar Anies. Menurut dia, sistem penganggar-an digital yang pintar seharusnya bisa mengoreksi kekeliruan secara otomatis. Sistem itu semestinya langsung memverifikasi dan menampilkan peringatan kepada operator yang meng-input data dengan sembrono. Komponen bujet yang ngawur seperti pembelian lem seharga Rp 82 miliar pun tak lagi muncul. “Saya tak akan meninggalkan sistem ini ke gubernur -sesudahnya.”
Kepada Tempo, seorang kepala dinas menunjukkan kelemahan e-budgeting yang masih digunakan pemerintah DKI. Salah satunya terkait dengan ketiadaan rekapitulasi data penganggaran yang dilakukan organisasi perangkat daerah. Akibatnya, untuk kegiatan rutin atau berulang, semua data harus di-input kembali dari awal. Alhasil, sistem ini sedikit merepotkan petugas peng-input data.
Kini, tim yang ditunjuk Gubernur Anies masih memperbarui sistem penyusunan bujet secara elektronik. Sistem baru yang rencananya dirilis pada akhir 2019 itu diklaim bisa langsung menolak penyimpangan data yang di-input serta dilengkapi fitur komentar agar masyarakat bisa berpartisipasi dalam penyusunan anggaran.
Namun Gagat membantah pernyataan bahwa sistem yang dibangunnya lemah. Menurut Gagat, temuan pembelian lem sebesar Rp 82 miliar adalah bukti bahwa skema usul dengan volume dan spesifikasi berhasil membuat mata anggaran itu menonjol dan terlihat tak wajar. Sedangkan mantan gubernur Basuki menyatakan sistem yang dibuat pada era kepemimpinannya bertujuan mencegah terjadinya korupsi. “Sistem itu berjalan baik jika yang meng-input datanya tidak ada niat mark up, apalagi maling,” katanya.
RAYMUNDUS RIKANG, GANGSAR PARIKESIT, ADAM PRIREZA, TAUFIQ SIDDIQ, LANI DIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo