Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Babak Baru Perang Dagang

Amerika Serikat berniat memanfaatkan kegelisahan negara-negara Asia akan risiko dan biaya strategi pembangunan global yang digagas oleh Cina

8 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amerika Serikat meluncurkan skema sertifikasi yang akan menetapkan standar internasional bagi semua proyek infrastruktur besar bernama Blue Dot Network. Skema ini diluncurkan Amerika dengan memanfaatkan meningkatnya kegelisahan negara-negara Asia akan risiko dan biaya proyek Belt and Road Initiative, strategi pembangunan global yang digagas oleh pemerintah Cina. 

Blue Dot Network akan memeriksa dan melakukan sertifikasi atas proyek-proyek untuk mempromosikan pengembangan infrastruktur yang “digerakkan oleh pasar, transparan, dan berkelanjutan secara finansial” di Asia dan dunia, ujar manajemen Blue Dot Network, Senin, 4 November 2019.

Inisiatif ini dinamakan berdasarkan hasil pengamatan seorang astronom Carl Sagan yang melihat Bumi seperti sebuah titik biru pucat dari luar angkasa. Mega proyek ini akan dimotori oleh Overseas Private Investment Corporation yang bekerja sama dengan Jepang (Japan Bank for International Cooperation atau JBIC) dan Australia (Departemen Luar Negeri dan Perdagangan).

Proyek tersebut diumumkan oleh lembaga keuangan pemerintah Amerika Serikat OPIC (Overseas Private Investment Corporation) yang mempromosikan investasi di pasar negara berkembang saat berlangsungnya Forum Bisnis Indo-Pasifik yang disponsori oleh Amerika dan diselenggarakan bersamaan dengan KTT Perhimpunan Bangsa Kawasan Asia Tenggara (ASEAN) di Bangkok, Thailand, beberapa waktu lalu.

Pengelola akan membentuk komite pengarahan untuk mengembangkan rencana tersebut dan mengundang negara lain, perusahaan swasta, serta kelompok masyarakat sipil untuk ikut bergabung.

"Setiap titik biru dimaknai sebagai titik pada peta yang akan menjadi tempat aman bagi perusahaan untuk beroperasi jika mereka tertarik pada proyek infrastruktur berkelanjutan," kata Sekretaris Perdagangan Amerika Wilbur Ross pada Financial Times sebelum acara peluncuran. “Intinya adalah [kami ingin] menunjukkan keseriusan dalam mengembangkan proyek berkelanjutan.”

Inisiatif ini merupakan respon terhadap kritik pada beberapa proyek Belt and Road Initiative yang malah menciptakan perangkap utang bagi negara penerima manfaatnya, seperti Sri Lanka, Myanmar, dan Laos. Proyek Cina tersebut juga dikabarkan tidak memenuhi standar internasional tentang transparansi, hak-hak pekerja lokal, dan standar lingkungan.

"The Marshall Plan atau Rencana Marshall sudah membuktikan bagaimana dampak pembangunan yang baik," kata pejabat OPIC David Bohigian yang mengumumkan proyek tersebut. Ia merujuk pada program bantuan pasca perang dunia kedua Amerika di Eropa. "Belt and Road Initiative mengambil jalur yang berbeda dengan Rencana Marshall."

Meski begitu, tidak ada kejelasan seberapa efektif inisiatif yang didukung Washington itu dalam menghalau pengembangan tak berkelanjutan Belt and Road Initiative. Manajemen Blue Dot Network mengklaim inisiatif ini berfungsi sebagai katalis untuk keuangan swasta meski tidak menyediakan jasa pinjaman. Sebaliknya, Belt and Road Initiative disokong miliaran dolar dari bank dan perusahaan milik negara Cina.

Cina Bisa Caplok Proyek Kereta Jakarta-Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Perubahan peran Amerika di Asia Tenggara menjadi sorotan di KTT ASEAN. Delegasi Amerika Serikat yang diketuai oleh Wilbur Ross dan Penasehat Keamanan Nasional Robert O'Brien, dan ketidakhadiran Presiden Donald Trump, menjadi perhatian media regional. Tampaknya sebagai balasan, beberapa pemimpin Asia Tenggara hanya mengirim pejabat berpangkat rendah ke KTT ASEAN-AS pada Senin lalu, sesuatu yang bisa dinilai sebagai bentuk sindiran halus pada pemerintah Amerika. 

Ketika ditanya pada saat konferensi pers apakah Trump seharusnya datang, Sekretaris Keuangan Filipina Carlos "Sonny" Dominguez III mengatakan: "Akan bagus bila dia (Trump) datang, tapi saya kira dia punya masalah lain untuk diatasi, yang mana pada saat ini kebanyakan adalah masalah domestik."

Data tahunan Asia Power Index yang diterbitkan oleh Lowy Institute di Sydney, dan mengukur pengaruh negara-negara terhadap hubungan ekonomi, kemampuan militer, dan kerja sama lainnya di Asia, menunjukkan bahwa AS tetap memiliki pengaruh kuat di Asia, meski  tahun ini "kurang berprestasi" karena peran Cina yang terus menguat.

"AS tetap menjadi mitra penting, tetapi bukan pemain ekonomi utama di Asia," kata kepala Program Daya dan Diplomasi Asia Lowy, Hervé Lemahieu. Ia mencatat bahwa Cina sudah mengungguli perdagangan. "Mereka harus terbiasa dengan itu."

Pertama kali dipublikasikan di FT.com pada 4 November 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus