Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJEMUKAN. Delapan atau bahkan sembilan pe-main bertumpuk-tumpuk di se-kitar kotak penalti sendiri. Setiap ge-rak- lawan dibayangi ketat, kalau- perlu dengan kekerasan. Begitu bola dikuasai, serangan balik disusun. Umpan panjang akan dilayangkan ke satu atau dua pemain di depan. Begitu serangan gagal, pemain kembali berkumpul di muka gawang. Sepak bola menjadi mirip- petak umpet de-ngan ca-ra bermain se-per-ti ini. Catenaccio—artinya ge-rendel—mo-del Italia- ada-lah ”dosa be-sar” yang membuat sepak bo-la menyerang seakan ma-ti bertahun-tahun lama-nya.
Kendati dikecam se-bagai bentuk sepak bola negatif, pelatih Enzo Bearzot sukses membawa Italia menjadi juara dunia pada 1982 berkat gaya permainan super bertahan itu.
Layaknya gembok pada pintu yang berfungsi sebagai kunci pengaman tambahan, catenaccio mengharuskan ada seorang libero yang posisinya ada di antara barisan pemain belakang dengan kiper.
Tugas libero merebut bola yang le-pas dari hadangan barisan pertahan-an atau menggandakan penjagaan ketika dibutuhkan. Sesekali libero bisa memulai serangan balik dengan- memberikan umpan panjang kepada- penyerang di daerah pertahanan -lawan.
Kendati masyhur di Italia, pencipta catenaccio ternyata pelatih Swiss asal Austria, Karl Rappan. Ia mulai menerapkannya saat melatih klub Servette Geneva, Swiss, pada 1931. Rappan menempatkan sweeper atau penyapu yang bertugas membuang bola sejauh mungkin dari daerah gawang.
Taktik Rappan disempurnakan pelatih asal Italia, Nereo Rocco. Di tangan Rocco, sistem ini disebut the real catenaccio. Ia mencobanya pertama kali saat melatih klub Triestina di Liga Italia pada 1947. Triestina meng-akhiri kompetisi dengan hasil mengejutkan, berada pada posisi kedua-. Rocco memboyong catenaccio saat pindah- untuk- melatih AC Milan, 1961. Di bawah asuhannya, tim berjulukan Rossonery ini menjuarai liga sekaligus merebut Piala Champion Eropa.
Rocco menularkan kepiawaiannya me-ramu catenaccio kepada Enzo Bearzot, asistennya, saat melatih Torino. Saat melatih tim nasional Italia, Bearzot menempatkan Claudio Gentile se-bagai libero. Taktik itu sukses membawa Italia menjadi juara dunia.
Helenio Herrera, pelatih asal Argentina, termasuk penganut catenaccio yang setia. Dengan taktik itu, ia sukses membawa Inter Milan merebut tiga kali juara liga Italia, meski kebanyakan kemenangan diraih dengan gol irit 1-0.
Herrera dan catenaccio-nya baru ketemu batunya ketika Milan bertemu Celtic, Skotlandia, di final Piala UEFA 1967. Ketika itu Inter Milan berhasil mencuri satu gol lebih dulu melalui tendangan penalti Mazzola pada menit kedelapan. Setelah itu, selama sisa waktu pertandingan, mereka bertahan total.
Sebaliknya Celtic yang menganut mazhab sepak bola menyerang, terus mengurung daerah pertahanan Inter Milan. Sepanjang pertandingan, Cel-tic melakukan tendangan ke arah gawang- lebih dari 40 kali. Taktik menyerang Celtic membuahkan hasil.
Mereka menyarangkan dua gol dan meraih gelar jawara Eropa-. Seusai pertandingan, Herrera ter-pak-sa- mengakui kelemahan catenaccio-. ”Celtic pantas menang dan kemenangan mereka merupakan kemenangan bagi olahraga,” katanya.
Sekarang pamor sistem gerendel- makin redup. Italia sendiri sebagai pelopor catenaccio sudah kapok de-ngan tiga pelatih sebelumnya (Cesare Maldini, Dino Zoff, dan Giovanni Trapattoni) yang lebih menekan-kan permainan bertahan. Catenaccio terbukti gagal dipakai pada turnamen level dunia. Paling-paling yang pernah mencapai puncak hanya Zoff yang membawa Italia meraih tempat kedua pada kejuaraan Piala Eropa, enam tahun lalu.
Sistem gerendel kini hanya dipakai tim lemah untuk memper-sempit jarak kemampu-an teknik dengan lawan yang lebih kuat. Pelatih mulai menerapkan taktik permainan yang lebih berimbang. Mereka menggunakannya cuma saat kehilang-an pemain akibat kartu merah atau berupaya mempertahankan skor sambil menanti wasit meniup peluit panjang.
Pelatih tim nasional- Italia Marcello Lippi- pun sudah membuang catenaccio jauh-jauh. ”Bermain bertahan sudah lama kita tinggalkan,” kata Lippi seminggu menjelang Piala Dunia 2006.
Lippi membuktikan omongannya. Pada dua pertandingan awal babak penyisihan Piala Dunia di Jerman, anak-anak Italia bermain menye-rang. Baik saat mengalahkan Ghana, maupun ketika dipaksa seri me-lawan Amerika Serikat.
Secara keseluruhan mereka memang hanya mencetak tiga gol. Tapi sepanjang pertandingan mere-ka mampu membombardir lawan de-ngan 16 kali tembakan ke arah gawang-. Jumlah ini hanya bisa dikalahkan Spanyol, Portugal, dan Jerman. Pesan Lippi kepada para pemainnya terbukti manjur: ”Serang, buat gol, kamu akan menang.”
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo