Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI Mexican Wave. Ya, kesebelasan Argentina bermain seperti ”gelombang” indah berirama penonton sepak bola itu—yang, konon, dimulai- di Piala Dunia Meksiko pada 1986. Pemain lapangan tengah Argentina ber-gerak maju menekan pertahanan lawan. Tempat kosong yang ditinggalkan se-gera diisi pemain lini belakang yang naik membantu. Arus yang tak pernah putus.
Setiap kali Juan Roman Riquelme menguasai bola, sebuah orkestra yang akan menyakitkan lawan pun dimulai. Las-kar Tango seperti senyawa yang kohesif, mereka membaca arah bola dari kaki Riquelme, yang merupakan tanda ke rusuk mana tusukan sedang dirancang. Dan Hernan Crespo, Carlos Tevez, serta Lionel Messi kemudian menentukan kata akhir, seperti matador siap menusukkan pedang pada banteng yang takluk: di bagian mana bola akan disarangkan.
Riquelme, 27 tahun, menjadi dinamo- yang menggerakkan serangan Argentina saat menggempur Serbia dan Mon-te-negro, Jumat dua pekan lalu. Pemain belakang Argentina hampir selalu meng-alirkan bola kepada sang jende-ral sebelum memulai serangan.
Sementara itu, di depan telah me-nanti- barisan pencabut nyawa tadi. Ar-gen-tina- mengalahkan Serbia dengan enam gol tanpa balas. Sebuah rekor gol terbanyak sepanjang babak penyisihan Piala Dunia 2006 di Jerman.
Pertarungan di Stadion Gelsenkir-chen 16 Juni lalu itu menjadi pertanding-an paling menghibur selama babak penyisihan. Kendati bagi pendukung Serbia tentu menorehkan kenang-an menyakitkan. Secara umum, tontonan se-pak bola menyerang mendominasi 48 pertandingan babak penyisihan. Tim-tim Afrika dan Asia yang dianggap lebih lemah sekalipun terbukti tak kalah nyali dibandingkan tim Eropa dan Amerika Selatan
Pemain legendaris Brasil, Edson Arantes do Nascimento atau yang terso-hor dengan panggilan Pele, mengakui ketatnya Piala Dunia kali ini. Sebelum tur-namen digelar, ia mendengar banyak orang pesimis tentang jumlah gol yang tercipta di Jerman. Alasan-nya, tim-tim yang berlaga telah me-ngembang-kan permainan bertahan kelas tinggi untuk menandingi para pe-nyerang. Ternyata gol-gol tercipta de-ngan fantastis. Pele mengaku sangat me-nikmati hiburan menarik ini. ”Turna-men kali ini diawali dengan hasil yang lebih baik ketimbang Piala Dunia 2002,” katanya.
Selain membawa playmaker yang berperan sebagai dirigen sebuah orkestra, tim-tim yang berlaga kali ini memboyong pemain dengan naluri menye-rang tinggi. Brasil, misalnya, memba-wa- Ronaldinho; Jerman punya Michael Ballack, 29 tahun; dan Ghana, satu-satunya tim Afrika yang lolos ke ba-bak kedua, memiliki Michael Essien-. Se-panjang tiga pertandingan babak pe-nyisihan, Essien menjadi pemain te-ngah- yang paling banyak menguasai bola, yaitu 270 menit. Tidak percuma- klub Chelsea membelinya dengan -harga Rp 418 miliar.
Pelatih tentu juga memegang peran- penting dalam menyiapkan sebuah per-mainan. Negara-negara peserta Piala Dunia kali ini sebagian besar memilih pelatih yang mempunyai hasrat me-nyerang sangat tinggi.
Sebut saja Belanda di bawah asuhan Marco van Basten. Saat masih aktif sebagai pemain, Basten selalu menempati posisi penyerang utama. Bersama klub Italia AC Milan (1987–1993) dia bebe-rapa kali meraih gelar Capocannoniere atau pencetak gol terbanyak kompetisi liga Seri A Italia. ”Kami ingin bisa memainkan sepak bola menyerang, atraktif, dan spektakuler,” katanya.
Jerman juga memboyong pelatih seangkatan Basten, yaitu Jurgen Klinsmann. Jika Basten dan Belanda belum pernah meraih gelar juara, Klinsmann pernah mengantarkan Jerman—ketika itu Jerman Barat—menjadi jawara dunia, 1990. Saat masih menjadi pemain, si Kijang ini disebut sebagai penyerang paling sukses sepanjang sejarah Jerman Barat.
Bersama tim nasional Jerman, ia mencetak 47 gol dari 108 penampilan. Pada Piala Dunia kali ini, untuk memenuhi keinginannya menerapkan per-mainan cepat, Klinsmann membawa banyak darah segar. Hampir separuh pemainnya berusia di bawah 24 tahun, seperti Lukas Podolski dan Bastian Schweinsteiger.
Mantan pemain dan pelatih tim nasional Indonesia, Sinyo Aliandoe, juga melihat sepak bola menyerang seakan lahir kembali. Bahkan Italia pun telah meninggalkan gaya permainan- bertahan klasik Italia yang disebut cattenacio. Adapun laskar pelatih Marcello- Lippi dari Italia berisi para pemain tengah bernaluri menyerang tinggi seperti Francesco Totti, Andrea Pirlo-, dan Gennaro Gattuso. Tak ada libe-ro. Menurut Sinyo, di era sepak bola mo-dern saat ini, ”Permainan berta-han semakin tidak mendapat tempat dan mustahil bisa meraih juara.”
Sejarah sepak bola mencatat dua mazhab besar yang paling banyak disebut, yaitu total football yang mewakili sepak bola menyerang, dan cattenacio sebagai sistem pertahanan paling masyhur. Rinus Michels merupakan arsitek total football saat membawa Belanda pada Piala Dunia 32 tahun lalu.
Dia menerapkan pola permainan em-pat- orang berada di belakang, sementara enam pemain sisanya dibagi rata di tengah dan depan. Namun, Rinus sen-diri mengaku sistem itu bisa dipakai- karena dia mempunyai segudang pemain berkualitas prima seperti Johan Cruyff, Wim van Hanegam, dan Johan Neeskens. ”Betapapun bagusnya sistem, pelaksanaannya tergantung materi pemain,” katanya.
Menurut Michel, istilah total football sebenarnya hanya sebutan wartawan. Dia sendiri lebih sreg dengan nama pressing football. Dasar dari sistem ini, menurut Rinus Michel, terletak pada tugas yang harus dilakukan pemain saat kehilangan bola. Semua pemain harus berupaya secepatnya merebut kembali bola, yang lain mengisi pos yang ditinggal kosong.
Sayangnya, Belanda yang melahirkan karya terbesar dalam sepak bola menyerang itu tak pernah mencicipi gelar juara dunia. Mereka gagal di partai final melawan Jerman Barat pada Piala Dunia 1974. Ketika itu Jerman mengembangkan permainan bertahan untuk meredam serangan Belanda.
Berti Vogts terus-menerus mengawal- ketat Johan Cruyff. Sampai-sampai- Vogts mendapat kartu kuning karena- me-rangkul Cruyff. Usaha Vogts ter-buk-ti- efektif karena pemain Jerman Barat lainnya ikut membantu secara kolektif dalam menggalang pertahanan.
Masa keemasan sepak bola bertahan terjadi saat pelatih Italia Enzo Bearzhot dengan sempurna menerjemahkan catenaccio temuan Karl Rappan dari Austria yang dimodifikasi oleh Helenio Herrera pada Piala Dunia 1982. Dia menciptakan organisasi pertahanan yang solid dan rapi. Namun, saat itu pertandingan sepak bola begitu menjemukan untuk ditonton. Jarang sekali terjadi aksi saling serang dan membalas. Italia meraih juara dunia setelah mengalahkan Jerman Barat dengan skor 3-1.
Untuk mengembalikan daya tarik sepak bola, sekaligus melawan sepak bola bertahan yang dianggap negatif-, Federasi Sepak Bola Internasional- (FIFA) ikut andil dengan mengambil- beberapa keputusan penting, antara lain mengubah beberapa aturan soal pelanggaran, offside, safety first, dan angka kemenangan.
Dulu seorang pemain dianggap offside jika berada segaris dengan pemain paling belakang pihak lawan. Kini tidak lagi. Pemain baru dianggap offside jika posisinya memang berada di belakang lawan. Itu pun jika dia tampak berniat mengambil bola.
Jika mereka tidak bereaksi terhadap bola, maka permainan akan tetap berlanjut. Keputusan ini membuka pe-luang pemain tengah yang lincah dan agresif melakukan serangan dengan menerobos lubang di daerah pertahanan lawan yang tak terkawal.
Hitungan angka kemenangan juga di-ubah. Sejak Piala Dunia 1994 Amerika Serikat, tim yang menang memperoleh angka 3 dari sebelumnya hanya 2. Per-ubahan ini membuat kemenangan jauh lebih berarti ketimbang hasil imbang yang hanya memperoleh angka 1.
Satu lagi momentum penting terjadi seusai final Piala Eropa 1992 di Swedia. Denmark mengalahkan Jerman Barat yang dua tahun sebelumnya menjadi juara dunia. Sepanjang pertandingan, Denmark tampil bertahan penuh. Ki-per berlama-lama memainkan bola lalu memberikan kepada pemain belakang, tetapi kemudian kembali lagi ke kiper (safety first).
FIFA kemudian melarang kiper menangkap dengan tangan bola yang dikirim pemain belakang. Aturan ini membuat pemain belakang tak punya banyak pilihan selain mengirim bola ke pemain lain di depan atau di sampingnya.
Setelah penyerang makin dimanja-kan, pemain belakang dituntut makin cerdas dan disiplin dalam memben-dung kemungkinan gol. Sepanjang babak penyisihan Piala Dunia Jerman telah tercipta lebih dari 100 gol. Tetapi hasil itu didapat setelah terjadi tembakan yang tepat ke arah gawang yang jumlahnya sedikit di atas 500 kali.
Makin sempitnya ruang gerak pe-nye-rang juga mengharuskan para pemain lain bisa memainkan berbagai fungsi. Serangan, misalnya, bisa dimulai dari bek sayap yang maju hingga ke kotak penalti. Roberto Carlos dari Brasil termasuk pemain dengan tipe seperti itu.
Sementara itu, barisan pemain te-ngah harus memiliki naluri mencetak gol yang tinggi. Para pemain gelandang lebih disukai yang punya insting menye-rang ketimbang bertahan. Contoh gelandang menyerang dimiliki tim Inggris dalam diri David Beckham, Steven Gerrad, Frank Lampard dan Joe Cole.
Sepanjang babak penyisihan lalu terbukti Steven Gerrard mencetak dua gol. Sedangkan David Beckham dan Joe Cole masing-masing satu gol.
Serangan mematikan dari lapangan tengah ini diakui Rachmad Darmawan, pelatih Persija yang tahun lalu membawa Persipura menjadi juara Liga Indonesia. Ia menunjuk banyaknya gol tercipta dari luar kotak penalti. ”Fenomena ini paling menyolok pada Piala Dunia 2006,” katanya.
Ya, gaya sepak bola menyerang telah kembali.…
Agung Rulianto, Adek Media Rosa, Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo