Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah asuhan pelatih Juergen Klinsman yang nyeleneh-, publik Jerman mulanya ke-tar-ketir atas nasib tim ke-sayangannya yang akan ber-la-ga di Piala Dunia. Cara Klinsman mela-tih tim Jerman terasa kurang meyakinkan. Ia, misalnya, membawa asisten fisik seorang ahli senam kebugaran.
Para pemain yang mestinya digenjot- latihan fisik keras justru diajari berlatih- hip-hop. Klinsman pun sering me-ninggalkan timnya untuk menemui ke-luar-ganya yang tinggal di California-, Amerika. Padahal, sebagai tuan ru-mah, dengan dukungan melimpah dari penonton sendiri, inilah kesempatan Jerman merebut gelar juara.
Toh, kekhawatiran yang sempat mem-bun-cah itu mendadak kempis setelah ba-bak penyisihan berlalu. Di babak awal itu Jerman menunjukkan kuali-tas se-bagai panser yang siap meng-gilas siapa pun. Para pemain haus mencetak gol.
Lihatlah, Kosta Rika dihajar 4-2 di pertandingan pembu-kaan. Setelah itu mereka me-nun-dukkan Polandia 1-0 dan menekuk Ekua-dor 3-0. Jawab-an terhadap aksi dahsyat ini jelas kehadiran pemain-pemain muda. Usia rata-rata mereka 25 tahun ke bawah. Philipp Lahm (22 tahun), Lukas Podolski (21), dan Mike Hanke (22) adalah se-bagian di antara-nya. Dengan darah mu-da itu, Klinsman tak ragu mengusung ga-ya permainan menye-rang yang butuh sta-mina kuda.
Klinsman sendi-ri me-ru-pa-kan bekas pemain andal. Dia pe-nyerang dengan kemampuan mencetak gol yang tinggi se-hing-ga pernah dijuluki Golden Bomber-. Pengalamannya sebagai striker, me-war-nai aksi tim Panser yang bermain menyerang dan bukan bertahan.
Sejak dipercaya mengasuh tim nasio-nal Jerman menggantikan Rudi Voeller, yang juga bekas penyerang, Klinsmann melakukan pembenahan secara agresif. Ia tak mau menggunakan pemain berpengalaman seperti Dietmar Hamann dan Christian Worns dalam skuadnya. Sebaliknya ia memberi posisi kepada pemain muda.
Dibanding Piala Dunia 2002, gaya tim Jerman kali ini memang lebih agresif membombardir lawan. Dalam babak penyisihan grup di Prancis, tim Panser hanya membukukan 46 tembak-an ke arah gawang lawan. Sedangkan dalam perhelatan kali ini mereka telah melancarkan 52 tembakan di babak yang sama.
Bukan hanya Jerman yang mengusung gaya sepak bo-la menyerang dalam Piala Dunia kali ini. Belanda sebagai pewaris semangat total football jauh-jauh hari telah menancapkan ide yang sama. Hal itu terlihat dengan penampilan mereka di Grup C menghadapi Argentina-, Pantai Gading, dan Serbia Montenegro.
Pelatih Belanda Marco van Basten, yang juga bekas striker terkemuka, tidak menyertakan sejumlah pemain senior dalam skuadnya. Dia lebih suka memainkan orkestra total football bersama pemain-pemain muda. Di lini depan misalnya, ada Arjen Robben yang baru berusia 22 tahun dan Robin van Persie, 21 tahun.
Pemain muda lainnya mengisi kekuat-an di lini tengah dan belakang. Misalnya saja Wesley Sniejder (22), Rafael van der Vaart (23), dan Hedwiges Maduro (21). Bersama timnya, Basten bertekad menja-wab sindiran sebagai ”juara tanpa mahkota”. Keberanian meng-ambil risiko menurunkan pemain mu-da miskin pengalaman ini kelak akan diuji: mampukah membawa Belanda ke tangga juara?
Namun, tanpa gelar juara pun total- football Belanda sudah menular ke mana-mana. Di zaman sepak bola mo-dern, semangat total football bukan cuma monopoli tim oranye. Korea Selatan, Australia, dan Trinidad Tobago pun menampilkan atraksi senada. Lihat saja bagaimana penampilan ketiga negara itu saat menghadapi lawan-lawannya di penyisihan grup.
Tiga negara tadi tampil dengan permainan terbuka, enak ditonton, meski- tak selalu bisa mencetak gol. Bisa dikatakan mereka memiliki gaya permainan yang mirip dengan Belanda. Kenyataan itu tidak aneh mengingat pelatih tim sepak bola ketiga negara itu berasal dari Belanda, yaitu Dick Advocaat (Korea Selatan), Guus Hiddink (Australia), dan Leo Beenhaker (Trini-dad Tobago).
Tradisi menyerang juga melekat pada tim Brasil, dan masih dipertahankan pelatih Carlos Alberto Parreira. Ia le-bih beruntung dalam urusan memilih pe-main, karena Brasil selama ini dikenal sebagai ”gudang” pemain bintang. Di saat Ronaldo masih fit, sudah muncul Ronaldinho yang lebih muda. Ketika Ronaldo mulai gemuk dan lamban, muncul lagi Robinho yang muda, rigad, dan bertenaga.
Parreira mengubah pola 4-2-4 menjadi 4-4-2. Pola terakhir ini bisa ”jalan” bila terdapat dua penyerang yang ampuh dan gelandang yang brilian meng-oper bola ke mulut gawang lawan. Kalau dulu Brasil punya Pele, Jairzinho, atau Garincha, sekarang mereka punya Robin-ho, Ronaldo, dan si pengumpan hebat Ronaldinho serta Kaka. Mereka sangat ber-bahaya di kotak penalti lawan.
Di sini faktor stamina jadi faktor- pen-ting. Di sini Brasil mempunyai -”handicap”, yaitu kehadiran Ronaldo yang terlalu gemuk dan kurang gesit. Di kaki Ronaldo bola memang jadi pelu-ru gawat ke gawang lawan, tapi ia juga gampang dicegat lawan karena gerak lambannya. Di babak-babak menentukan kelak, Brasil harus lebih tega untuk menaruh Ronaldo di bangku cadangan, kalau mau permainan cepatnya tidak tersendat.
Parreira memang membangun tim lebih konservatif dengan masih bertumpu pada Ronaldo sebagai penye-rang. Di lini belakang dia memilih dua pemain senior, Cafu dan Roberto Carlos, ketimbang pemain muda yang di-namis seperti Cicinho dan Cris. Tidak mengherankan jika barisan pemain muda Brasil yang diboyong ke Jerman lebih sedikit dibanding ketika mereka tampil di Prancis.
Tapi Brasil tetap mencatatkan diri sebagai kesebelasan dengan rekor memasukkan bola paling banyak. Tim Samba menghantam Jepang 4-1 di babak penyisihan grup. Tapi kemenangan terbesar di Piala Dunia Jerman memang masih dicatat tetangga Brasil, Argentina, yang membabat habis Serbia & Montenegro dengan 6-0.
Dalam sejarah, tim Hungaria masih- tercatat sebagai pemanen gol terba-nyak. Pada pertandingan pertama di Grup B, dalam Piala Dunia 1954, Hungaria mencetak 9 gol tanpa balas- ke gawang- Korea Selatan. Dua hari kemudi-an, gawang Jerman Barat dibo-bol- 8 kali. Skor akhir Hungaria-Jerman cukup fantastis untuk ukuran sepak bola: 8-3. Setelah itu, hujan gol terjadi di banyak- pertandingan, termasuk skor 7-5 saat Austria melawan Swiss di perempat -final.
Pelatih klub Persija Rachmad Darmawan mengakui bahwa pola menye-rang memang dominan dalam Piala- Dunia kali ini. Inilah jawaban me-ngapa Piala Dunia kali ini terasa lebih enak dan perlu ditonton.
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo