Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayi laki-laki itu tertidur pulas di atas dipan berdampingan dengan tumpukan mainannya. Rizki, 1 tahun, baru saja melewati kegiatan paginya: makan dan bermain. "Jadi, kini waktunya tidur," kata Ana Mujiastanti, 39 tahun, ibunda Rizki, saat ditemui di Desa Jatikalang, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin pekan lalu.
Rizki termasuk anak yang tidak rewel soal makan. Ia tak seperti kakaknya, Gendis, 8 tahun, yang susah makan. Setiap waktu makan tiba, Rizki akan menikmatinya dengan lahap hingga ludes. Sebabnya adalah Ana tahu bagaimana mengatur pola makan. Ia, misalnya, hanya memberi camilan buah di sela tiga waktu makan anaknya. "Pada pukul sembilan dan pukul tigaan," kata alumnus Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Ana telah banyak belajar tentang pengaturan makanan bayi. Ia mengambil hikmah dari kekeliruannya saat merawat Gendis semasa kecil. Lalu ia tahu lebih banyak hal lagi ketika desanya bersama 11 desa lain di Sidoarjo menjadi obyek proyek kegiatan bernama Baduta (bayi di bawah dua tahun) yang digelar lembaga nonpemerintah, Global Alliance for International Nutrition (GAIN), selama tahun lalu. Lembaga ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo dan lembaga swadaya masyarakat Studi Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (Spektra).
Dulu Gendis sering mengalami sakit pencernaan dan kerap muntah-muntah kalau diberi air susu ibu (ASI). Pasalnya, ketika berusia enam bulan, Gendis sudah diberi makanan pendamping berupa bubur nasi. "Petugas fasilitator (proyek Baduta) memberi tahu bahwa pada usia enam bulan lambung anak belum kuat," kata Ana. Pada usia itu, lambung bayi hanya bisa menerima air susu.
Apa yang dilakukan Ana terhadap Gendis adalah contoh kesalahan pola pemberian asupan kepada anak. Jika tak segera diatasi, kesalahan malnutrisi semacam ini kelak berakibat pada dua hal: stunting (bayi pendek) dan wasting (berat badan rendah). Nah, proyek Baduta dilaksanakan untuk memberi panduan bagi ibu dalam menyusun pola makan yang benar untuk bayi di bawah dua tahun.
Soal ini dianggap mendesak karena Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa 37,2 persen bayi di Indonesia pendek. Bandingkan dengan pada 2010, yang masih 35,6 persen. Angka tersebut merupakan kelima tertinggi di dunia. "Ini sudah darurat stunting," ujar Profesor Endang Achadi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti, mengatakan di daerahnya ada 24 persen bayi stunting. "Kami sudah tahu bahwa angka stunting di Sidoarjo tinggi," katanya. Itulah sebabnya daerah ini cocok untuk penerapan proyek Baduta. "Sidoarjo dipilih karena mereka terbuka terhadap intervensi. Padahal tidak semua daerah mau," ujar Country Manager GAIN di Indonesia, Ravi Menon.
Menurut Endang, keadaan seperti itu terutama disebabkan oleh layanan kesehatan dasar yang kurang optimal. Bayi tak terdeksi mengalami stunting karena tidak pernah diukur panjangnya. "Ada kesulitan untuk melakukan pengukuran," ujar guru besar Universitas Indonesia itu. Padahal panjang badan bayi harus diukur sekurang-kurangnya setahun dua kali.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995 Tahun 2010 dirumuskan standar pertumbuhan bayi yang normal. Di dalamnya tercakup berat dan tinggi badan menurut umur. Bayi usia 10 bulan, misalnya, dianggap mengalami stunting bila panjang badannya 66,4-68,7 sentimeter. Normalnya mereka harus memiliki tinggi sekitar 73 sentimeter.
Senior technician specialist dari GAIN, Aang Sutrisna, mengatakan bayi pendek adalah cerminan kurang gizi menahun. Keadaan ini akan berdampak pada masa depan si bayi, karena kecerdasan akan terpengaruh hingga bisa memicu penyakit degeneratif. Menurut Endang, stunting pada usia dini juga memperbesar risiko penyakit jantung di usia dewasa. "Jadi, bukan karena pendeknya badan yang berisiko, tapi tidak pintar dan penyakit kroniknya yang lebih besar," katanya.
Endang menyayangkan masyarakat kerap mengabaikan stunting, karena perhatian mereka lebih banyak pada berat badan. Bayi yang berukuran pendek, menurut Endang, dianggap bisa hidup normal ketimbang mereka yang lahir dengan busung lapar atau gizi buruk.
Ana mengakui Rizki jarang mendapat pemantauan gizi dan tinggi badannya. "Enggak pernah ngukur, yang penting beratnya nambah," ujarnya.
Menurut Ravi, banyak ibu yang berpandangan sama dengan Ana. Maka kepada kaum ibu inilah harapan perubahan lewat proyek Baduta disandarkan. Untuk mereka, dibuat kegiatan yang diberi nama Gerakan Rumpi Sehat. Bentuknya berupa pertemuan yang dilakukan saban pekan ketiga setiap bulan.
Kegiatan dimulai pada pukul 09.00 dan berakhir dua jam kemudian. "Enggak lama, soalnya ibu-ibu kan harus memasak dan menjemput anak," kata Ravi. Tapi, selama 120 menit tersebut, mereka belajar tiga hal utama: pentingnya ASI eksklusif selama enam bulan, menyusun makanan pendamping ASI yang bervariasi, dan kudapan sehat untuk anak di bawah dua tahun. Arisan Rumpi Sehat tidak melulu ngerumpi membicarakan nutrisi bayi, tapi juga diisi pelatihan memasak, menjahit, dan kegiatan positif lain.
Model penyampaian informasinya dilakukan dengan permainan-semuanya ada 16. Dalam simulasi, misalnya, dipertontonkan apa akibat perut bayi yang dijejali aneka makanan dewasa. "Kami berusaha membangkitkan emosi ibu-ibu agar tergugah untuk mengubah perilakunya," kata Aang.
Fasilitator dari kalangan mahasiswa juga datang langsung ke kumpulan ibu-ibu secara informal. Misalnya menyambangi mereka saat membeli sayur atau menjaga anak di luar rumah. Anak-anak muda ini datang membawa tablet berisi aneka iklan layanan masyarakat lalu mengobrol. Mereka juga memandu memilih bahan pangan yang cocok untuk si buah hati.
Hasilnya menakjubkan. Ana, misalnya, yang dulu melakukan kesalahan mendasar dalam menyusun pola nutrisi untuk Gendis, kini bahkan fasih bagai fasilitator saat menjelaskan hal yang benar. Kata dia, untuk membuat sendiri makanan pendamping bagi Rizki, dia menghindari penyedap rasa. "Ternyata dia doyan juga." Selain itu, dalam satu piring jatah Rizki, minimal ada tiga jenis masakan.
Dalam seminggu, Ana menjadwal daftar menu makanan, yang akan berulang pekan depannya. Penerapan pola ini telah memperlihatkan hasil. Si anak kedua kini sungguh doyan makan. "Sedangkan anak pertama sampai sekarang susah makan."
Sebelum waktunya makan, ia pantang memberikan kudapan kepada Rizki. Jadi, pada saat makan, Rizki akan menghabiskan apa yang disajikan. Mendapatkan makanan pendamping dan snack sehat, menurut dia, juga tidaklah sulit. "Di setiap warung dekat rumah ditempel stiker daftar makanan apa saja yang harus dibeli," tuturnya.
Ardhiana, pendamping warga dari LSM Spektra, mengatakan Arisan Rumpi Sehat di Desa Jatikalang tergolong berhasil. Indikatornya, warga telah sadar akan pentingnya pemberian ASI eksklusif. Ibu-ibu muda yang memiliki bayi di Desa Jatikalang kini tak lagi memberi susu formula. Adapun ibu yang bekerja di pabrik mempraktekkan bank ASI. "Mereka sudah diberi tahu cara memerah ASI untuk disimpan di kulkas kami di sini," kata Ana.
Menurut Aang, evaluasi akhir menunjukkan bahwa terjadi perubahan perilaku yang kentara selain pengetahuan yang meningkat. Misalnya dalam pemberian lauk-pauk dan proporsi nasi sebagai makanan pendamping, variasinya diukur dengan metode diversity dietary score. "Hasilnya terjadi kenaikan signifikan," kata Aang.
Melihat hasil menggembirakan ini, mulai 17 Agustus kelak ada 113 desa di Sidoarjo dan Malang yang akan diintervensi dengan proyek Baduta. Harapannya tentu saja semakin banyak bayi sehat seperti Rizki, yang menangis terbangun karena mendengar obrolan Tempo dengan Ana....
Dianing Sari, Nur Hadi (sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo