Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kudeta, Asap tanpa Api?

Isu kudeta terus berembus kencang. Benar ada atau cuma kabar yang sengaja ditiup-tiupkan?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAIN karena asap knalpot, langit Jakarta belakangan ini kerap pekat dengan kabar seram: kudeta militer. Tengoklah kabar ini. Pada 2 Januari lalu, di tengah malam buta, sejumlah tank Scorpion menderu-deru membelah jalan Ibu Kota. Dan langsung saja, isu kudeta menderu lebih kencang. Saat dikonfirmasi, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen Djaja Suparman, membenarkan ihwal berseliweran tank milik kesatuan yang dikomandaninya itu. Tapi, katanya lagi, itu tak lebih untuk keperluan pengecekan kondisinya. "Jadi, ya, itu barangkali saat pemanasan mesin saja," katanya kepada TEMPO. Yang paling gres, isu jenis itu kembali bertiup kencang lewat pernyataan Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Richard Holbrooke, pada telekonferensi dengan pers nasional Jumat malam dua pekan lalu. Menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Purwani Diyah Prabandari, saat itu Holbrooke pada intinya hanya menyatakan, "Kami telah melihat laporan mengenai kemungkinan kudeta militer di Indonesia…. Saya harap desas-desus itu salah." Tak lebih, tak kurang. Tapi, keesokan harinya, pernyataan itu langsung bergulir kencang, dengan arah yang agak melenceng. Bahwa pihak Amerika yang punya organisasi intelijen nomor wahid itu seolah-olah memastikan adanya rencana kudeta di republik ini. Kabar salah kaprah itu lalu berbuntut panjang. Maklum, "wabah" kudeta rupanya sudah telanjur dipercaya banyak orang. Sampai-sampai, Selasa sore pekan lalu, Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. dan para kepala staf merasa perlu berangkat ramai-ramai ke Istana Merdeka. Sebagaimana dijelaskan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto, pada kesempatan itu mereka meyakinkan Presiden Wahid bahwa TNI sama sekali tak berniat mengambil alih kekuasaan secara paksa. Ikrar itu, kata seorang jenderal, bakal diulangi secara terbuka pada peringatan setengah abad wafatnya Panglima Besar Jenderal Sudirman. Isinya, ya itu tadi, di seputar pernyataan setia dan menolak segala bentuk kudeta. Kerepotan itu bukan yang pertama kali pada era pemerintahan sipil Abdurrahman ini. Sebelumnya, Desember lalu, kabar bakal adanya kup beterbangan ke mana-mana. Untuk meredamnya, Panglima Widodo dan Pangdam Jaya Mayjen Ryamizard Ryacudu juga telah menegaskan kesetiaan angkatan bersenjata. Rumor gawat itu berawal dari statemen keras Pangkostrad Djaja Suparman ketika menyambangi Brigade Infanteri VI Palur, Solo, 14 Desember lalu. "Pemanggilan sejumlah jenderal TNI ke DPR dan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur akan membuat prajurit sakit hati dan bersikap membabi buta," kata Djaja saat itu. Tak pelak, setelah itu warga dan para pengamat yang sedang dijangkiti "demam kudeta" langsung hiruk-pikuk memperdebatkannya. Dalam berbagai kesempatan Jenderal Djaja sendiri telah menyangkal kaitan pernyataannya dengan upaya kudeta kalangan baju hijau. Toh, bak bola salju, makin bergulir, isu itu malah makin besar. Apalagi, suara Cilangkap—Markas Besar TNI—yang dilontarkan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sudrajat kerap langsung menabrak kebijakan Presiden Wahid. Gesekan terbuka muncul ketika Gus Dur mengeluarkan pernyataan menyetujui referendum untuk Aceh. Secara frontal, Sudrajat menolaknya dengan menyatakan bila salah satu opsinya adalah merdeka, TNI akan menolaknya. Desember lalu, silang pendapat di media itu makin tajam. Kali ini di harian Washington Post. Ketika diwawancarai kenapa para jenderal di kabinet tak juga kunjung dipensiun, Sudrajat menjawab Presiden Wahidlah yang tak mau meneken draf surat keputusan yang telah disiapkan Markas Besar Angkatan Darat. Kabarnya, wawancara itu membuat Gus Dur marah. Yang paling gawat, ketika pada akhir Desember lalu ia mempersoalkan posisi presiden selaku panglima tertinggi TNI. Menurut dia, istilah "panglima tertinggi" tak tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan tajam ia menyatakan ketidaksetujuannya jika presiden ikut campur mengatur "dapur" TNI. "Kalau saya juga mengurusi ganti oli dan ban, lalu apa kerja sopir?" katanya beribarat. Statemen ini, kabarnya, berawal dari kekesalan Sudrajat saat restrukturisasi militer November tahun lalu. Ketika gerbong TNI bergerak--dan masih banyak ditentukan tangan kekar Jenderal Wiranto—Sudrajat sudah menunjukkan ketidaksukaannya atas langkah by pass Presiden Wahid. Saat itu Gus Dur potong kompas dengan langsung mengangkat Jenderal Fachrul Razi sebagai Wakil Panglima TNI dan Jenderal Tyasno Sudarto sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Sementara itu, di mata Sudrajat, promosi mesti digodok dulu di Cilangkap. Dan Gus Dur hanya berperan sebagai pengambil kata akhir. Ini, katanya lagi, untuk tak lagi mengulang kesalahan Soeharto ketika telunjuknyalah yang menjadi penentu setiap pos strategis militer. Bahkan, pos setingkat Danrem Bogor saja selalu diangkatnya langsung. Buntutnya, nahas bagi Sudrajat, yang kerap disebut sebagai "orang Wiranto" itu. Adalah Abdurrahman sendiri yang langsung mengumumkan pencopotannya di Bina Graha, 13 Januari lalu. Penggantinya, Marsekal Muda Graito Usodo, mantan Staf Ahli Tingkat III Panglima TNI Bidang Industri dan Pembangunan. Langkah kejutan lain, pos Kepala Badan Intelijen Strategis, yang untuk sementara masih dirangkap Jenderal Tyasno, dipercayakan ke Marsekal Muda Ian Santoso Perdanakusuma, yang sebelumnya Panglima Komando Operasi TNI Angkatan Udara II. Ini fenomena baru. Sebab, untuk pertama kalinya, dua pos yang selalu ditempati jenderal Angkatan Darat itu diisi kalangan baju biru. Ujung-ujungnya, kembali orang mengaitkannya dengan upaya Gus Dur untuk meredam upaya kudeta. Padahal, juga ada analisis lain. Dengan langkah itu, Gus Dur sedang mencari keseimbangan antar-angkatan. Soalnya, dalam restrukturisasi lalu itu Angkatan Udara belum kebagian jatah. Kecurigaan mengerucut ke arah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Jenderal Wiranto. Faksi mantan Panglima TNI inilah yang gencar dituding bakal melancarkan perebutan kekuasaan karena gerah dibiarkan diperiksa Komisi Penyelidik Tim-Tim. Apalagi, kabar bahwa kursinya di kabinet bakal digergaji setelah namanya direkomendasikan Komisi untuk diadili makin santer saja. Selain itu, pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid di sidang kabinet tentang perlu digantinya Panglima Kodam Siliwangi dan sejumlah komandan resimen dikabarkan membuat kalangan TNI AD resah. Karena itu, kunjungan Kepala Negara ke markas Grup 1 Kopassus di Serang dan Batalyon Infanteri 320 Badak Putih di Pandeglang, Jumat lalu, membuat isu ancaman kudeta semakin dipercaya. Toh, Wiranto membantahnya. Katanya, jika ia mau, peluang untuknya mengambil alih kekuasaan terbuka lebar ketika Soeharto ambrol pada Mei 1998. Dan itu tak digunakannya. Bahkan para lawan politiknya pun menampik isu kudeta itu. Jenderal yang dikenal sebagai seteru Wiranto menyatakan peluang kudeta saat ini nol. Bahkan, ia balik menuding lingkaran dalam Istana sendirilah yang gencar membisiki Gus Dur soal itu. Begitu pula dengan Ketua Partai Bulan Bintang Faried Prawiranegara, yang kerap berseberangan dengan Wiranto. Ia melihat saat ini tak ada figur kuat yang sanggup, cukup punya pendukung, dan berani melancarkan langkah nekat itu. "Omong kosong kalau itu dilakukan oleh jenderal," kata karib mantan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto itu. Bahkan, menurut dia, saat ini di kalangan perwira menengah tengah bersiaga untuk menghantam siapa pun yang nekat mencoba menggulingkan pemerintah di luar jalur konstitusi. Menurut dia, saat ini posisi Gus Dur justru amat kuat. Benar bahwa ada ketidaksukaan di kalangan TNI akibat Gus Dur selalu cawe-cawe urusan internal mereka. Tapi, "Buktinya Gus Dur mengobok-obok militer, mereka bisa apa?" katanya lagi. Memang, ada yang hakul yakin bahwa konspirasi perancang kudeta bukan sekadar isapan jempol. Salah satunya adalah pengamat militer M.T. Arifin. "Iya, serius. Bahkan sudah mulai bergerak," katanya. Seorang sumber juga mengungkapkan bahwa gerakan itu sudah sampai pada tahap penyusunan kabinet. Salah seorang menteri andalan di kabinet Habibie, katanya, telah mengaku ditawari bergabung. Lebih seru lagi, menurut spekulasi itu, konspirasi itu terjalin melalui jaringan intelijen militer, para komandan resor militer, dan tiga politisi sipil. Modusnya, mengobarkan lalu membiarkan kerusuhan berbau agama. Cuma, kabar sumir ini amat sulit dicek kebenarannya. "Belum saya recheck," katanya mengakui. Beberapa malah meragukannya sendiri. Seorang petinggi Partai Kebangkitan Bangsa, misalnya, mengaku mendengar kabar santer bahwa kudeta bakal dilancarkan Jumat ini, saat Presiden Wahid bertandang ke Eropa selama dua pekan. Toh, ia lalu mengakui jadwal itu masih sangat mentah. "Kudeta kecil kemungkinan dilakukan dalam waktu dekat," katanya. Kata tamsil, tak ada asap tanpa api. Tapi, khusus untuk isu kudeta ini, apinya sulit ditemukan. Itu pun kalau ada. Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Arif A. Kuswardono, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus