Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jabatan Tinggi, Gaji Tak Ada

Di balik ingar-bingar rencana kenaikan gaji pejabat, ternyata sejumlah pegawai di lingkungan Setneg belum menerima upah. Karena tidak ada anggaran atau soal koordinasi?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah hiruk-pikuk usul kenaikan gaji pejabat, yang sungguh fantastis, ternyata, ada cerita getir. "Kami belum digaji sampai saat ini," kata Dharmawan Ronodipuro, Kepala Biro Pers dan Media Sekretariat Negara (Setneg). Celakanya, nasib nahas itu tidak hanya menimpa Dharmawan. Ratih Hardjono, sekretaris presiden yang nota benenya orang dekat Gus Dur, kabarnya juga belum menerima gaji. Menurut seorang temannya, "tangan kanan" Presiden itu terpaksa merogoh kocek sendiri untuk memberi tunjangan Lebaran untuk anak buahnya. Ketika dikonfirmasi soal ini, Ratih tak mau berkomentar. Namun, Dharmawan tidak menepis kemungkinan ini. "Bisa jadi, karena THR itu tidak dari pemerintah," katanya. Belum terbayarnya gaji pegawai di lingkungan Setneg itu mencuatkan berbagai praduga. Kurangnya koordinasi atau hubungan "orang lama" dan orang baru di Setneg. Maklum, Ratih dan kawan-kawan memang "pemain" baru di Istana. Bisa saja kehadiran mereka tidak dikehendaki oleh pegawai lama. Ujung-ujungnya, administrasi upah "dipersulit" sehingga gaji tidak lancar. Soal koordinasi antardepartemen juga bisa menjadi sebab yang lain. Maklum, Kabinet Persatuan Nasional pimpinan Gus Dur adalah bentuk akomodasi berbagai kepentingan politik. Sehingga, hadirnya orang partai di birokrasi tentu memerlukan waktu lama untuk bisa mengoordinasi "kepentingan politik" mereka dengan orang "dalam". "Dalam kabinet koalisi kadang-kadang orang akan menilai tidak ada koordinasi," tutur Dharmawan. Kemungkinan lain adalah memang tidak ada anggaran. Namun, A. Anshari Ritonga, Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, membantah kemungkinan itu. Mantan Dirjen Pajak itu menyatakan, untuk pegawai negeri, pos anggaran itu sudah ada. "Kecuali mereka bukan pegawai negeri, saya tidak tahu gajinya dari mana," ujarnya kepada wartawan TEMPO Agus S. Riyanto. Seorang pejabat karir di Sekretariat Negara, yang sayangnya menolak disebut namanya, mengatakan mata anggaran itu memang ada tapi uangnya sudah dihabiskan oleh pemerintah sebelumnya. "Bahkan sampai defisit Rp 100 miliar," katanya. Barangkali itu sebabnya keruwetan administrasi dan keuangan juga terjadi di kantor-kantor lain yang anggarannya berada di bawah koordinasi Setneg, seperti kantor Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia. Tidak hanya soal pengangkatan pegawai baru yang berasal dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, tetapi juga masalah seretnya fulus buat membayar pegawai. "Paling mereka makan nasi bungkus setelah bekerja," kata Hasballah memberi perumpamaan. Kondisi yang menimpa jajaran Menteri Negara HAM itu tak urung membuat Hasballah pusing tujuh keliling. Tidak ada dana, di lain pihak kantor harus jalan terus, sementara uang yang diharapkan turun dari Setneg tak kunjung datang. Melihat kondisi seperti itu, pengurus Partai Amanat Nasional tersebut punya inisiatif "canggih". "Saya pinjam Rp 100 juta dari teman-teman untuk membentuk desk Aceh, bepergian ke daerah, serta biaya rutin," katanya kepada TEMPO. Untungnya, pekan silam ada kucuran dana dari Setneg untuk menutup sebagian utang itu. Hal yang serupa terjadi juga di kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan Investasi. "Semua eselon satu setahu saya belum menerima gaji," kata seorang pejabat yang baru dilantik Menteri Laksamana Sukardi. "Bahkan, para sekretaris kami bayar dari uang pribadi," tambahnya. Persoalannya, sampai kapan keruwetan administrasi dan keuangan di jajaran "pamong praja" itu berlangsung. Jangan-jangan, mereka baru terima gaji April mendatang, ketika ada realisasi APBN tahun 2000? "Bisa saja. Saya heran, kenapa begitu lama," kata Dharmawan. Untuk mengatasi hal itu, Hasballah punya usul yang cukup masuk akal, yakni mengalokasikan dana milik departemen dan kementerian negara yang dibubarkan. Politikus asal Tanah Rencong itu memberi contoh Menteri Negara Urusan Pangan yang dalam kabinet Gus Dur terlikuidasi. Idealnya, "aset dan anggaran Menteri Negara Pangan yang belum habis diserahkan ke Menteri Negara HAM," ujarnya. Tidak terlalu salah, memang. Beberapa departemen dan kementerian negara yang diberangus tentu saja meninggalkan aset, baik berupa pegawai, kantor, maupun fasilitas lain. Harusnya, departemen atau kementerian negara yang baru dibentuk bisa memakai sarana itu. Dan lagi, penyusunan anggaran pada masa pemerintahan B.J. Habibie berlaku sampai April. Artinya, masih ada sisa anggaran yang belum terpakai yang bisa dipakai oleh Kabinet Persatuan Nasional. Itu teorinya. Dalam praktek, "ternyata sisa anggaran itu tidak ada lagi. Sementara minta dana dari Sekretariat Negara tidak gampang," kata Hasballah. Jadi, bagaimana diharapkan dapat berprestasi baik jika tidak diberi imbalan? Johan Budi S.P. dan Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus