Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menguras Kocek Legitimasi

Lamban menangani berbagai persoalan yang ada, terutama di bidang politik, berpotensi memperberat proses pemulihan ekonomi.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarang-jarang ada orang yang menguras tabungannya sendiri untuk dihambur-hamburkan begitu saja. Tapi, itulah yang dilakukan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Berbekal legitimasi yang kuat dari Sidang Umum MPR 1999, perjalanan 100 hari pemerintahan ini ternyata pekat diwarnai dengan menyusutnya kepercayaan publik terhadap duet tersebut. Namun, masih terlalu dini untuk menentukan apakah Abdurrahman gagal atau tidak. Apalagi, pemerintah ini mewarisi kebobrokan rezim Orde Baru di hampir semua sisi kehidupan masyarakat. Para ekonom, analis, dan pelaku bisnis seperti paduan suara yang ulem ketika ditanya soal kinerja kabinet Abdurrahman dalam 100 hari pertama. Menurut mereka, belum ada yang dilakukan Kabinet Persatuan Nasional selama tiga bulan ini. Banyak persoalan besar yang belum disentuh substansinya. ''Baru kulitnya. Misalnya, dengan mengganti pejabat di lingkungan ekonomi dan keuangan," kata seorang ekonom yang bekerja di bank BUMN. Kalaupun kondisi makroekonomi stabil, itu bukanlah hasil pemerintahan yang sekarang. Sejak zaman Habibie, kondisi makroekonomi Indonesia sudah membaik. Padahal, pemerintahan Abdurrahman punya modal yang lebih dari cukup, yakni legitimasi yang kuat dari MPR maupun rakyat. Modal itu tak dimiliki Habibie. Tapi celengan ini bukannya ditambah melainkan terus dikuras. Berbagai persoalan besar tetap belum juga tersentuh, misalnya restrukturisasi perbankan dan sektor riil. ''Kondisinya masih sama dengan sebelumnya. Belum ada tindakan nyata," kata Dirut Apac Inti Corpora, Benny Soetrisno. Karena itulah, ekonom Nomura Securities, Adrian Panggabean, sampai pada kesimpulan bahwa percuma saja punya legitimasi yang kuat jika Abdurrahman tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Aset legitimasi itu bahkan bisa merosot jadi kelemahan. "Sekarang, kalaupun pemerintah melakukan kesalahan, rakyat masih memakluminya. Namun, kalau terus-terusan begitu, Gus Dur justru menyulitkan dirinya sendiri," kata seorang bankir. Semua itu terjadi agaknya karena pasukan Abdurrahman memang kurang sigap mencari obat yang mujarab bagi setiap persoalan yang ada. Ekonom Danareksa, Rino Agung Effendi, melihat kabinet Abdurrahman bukan disusun berdasarkan kemampuan masing-masing, melainkan hanya untuk membuat setiap orang puas. Persis yang dikatakan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo bahwa politik itu bagi-bagi kekuasaan. Kini para menteri itu harus membuktikan bahwa mereka mampu dan berada di posisi yang tepat, sehingga pantas menduduki jabatannya. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah apakah mereka punya niat baik untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada. ''Harus diakui, profesionalime dan niat baik mereka masih jadi tanda tanya besar," kata Rino. Lihat saja soal perebutan bank-bank BUMN antara Menteri Bambang Sudibyo dan Menteri Negara Pembinaan BUMN/Penanaman Modal Laksamana Sukardi, atau rebutan Ditjen Perkebunan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nur Mahmudi Ismail dengan Menteri Pertanian M. Prakosa. Sasaran berikutnya: jabatan-jabatan di eselon I dan perusahaan milik negara—bank-bank pelat merah dan Pertamina, BUMN tergemuk itu. Karena itulah, Rino tak yakin apakah tim Presiden Abdurrahman mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Repotnya, jika semua persoalan itu ditumpuk, beban yang harus diselesaikan Abdurrahman justru akan membesar dan lebih sulit. Boleh jadi, pemerintahan yang baru akan berakhir pada tahun 2004 ini bakal menghadapi tumpukan masalah yang gawat. Batu ujian pertama pemerintahan Abdurrahman di bidang ekonomi adalah penyusunan dan pelaksanaan RAPBN 2000. Banyak pengamat yang menilai RAPBN tersebut realistis, tapi di balik itu ada dua masalah besar yang bisa menjadi ganjalan berat, yakni utang luar negeri yang sangat besar dan investasi asing yang seret. Banyak yang yakin Indonesia kini sudah masuk dalam kelompok negara yang terjebak utang (debt trap). Maklumlah, dengan utang pemerintah US$ 80,66 miliar (Rp 564 triliun) dan utang swasta US$ 64,3 miliar (Rp 450 triliun), nilainya sama dengan 96 persen PDB (produk domestik bruto). ''Padahal, 70 persen saja sudah gawat," kata Rino. Repotnya, pemerintah sekarang punya pos baru, yakni utang dalam negeri. Jumlahnya pun tak kalah gawatnya, Rp 675 triliun. Dampaknya jelas. Beban cicilan utang akan terus membengkak. Untuk tahun anggaran 2000, beban cicilan utang itu Rp 59 triliun atau sepertiga pengeluaran pemerintah. Artinya, jatah untuk pembangunan akan berkurang jika cicilan utang itu tetap besar. Yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasinya adalah dengan mempercepat kenaikan pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kecepatan pertumbuhan utang. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga harus mengusahakan pengurangan utang, baik melalui haircut maupun penjadwalan utang. Masalah kedua adalah mengundang sebanyak-banyaknya investor asing ke Indonesia. Celakanya, saat ini Indonesia dihadapkan pada beberapa persoalan besar yang bisa menghambat laju investasi asing, baik di pasar modal maupun investasi langsung (foreign direct investment). Paling tidak, ada tiga kasus besar yang menunggu ketegasan sikap pemerintah, yakni renegosiasi dengan investor listrik swasta, penjualan 40 persen saham Astra International yang sekarang dikuasai BPPN dan penjualan saham Semen Gresik ke Cemex. Kasus listrik swasta mungkin sudah reda untuk sementara setelah pemerintah mengambil alih penyelesaiannya. Namun, bomnya sendiri belum dijinakkan dan sewaktu-waktu bisa meledak lagi. Sedangkan kasus Astra International sedang panas-panasnya. Perseteruan antara manajemen Astra dan BPPN memang sudah berkurang, tapi tak berarti semuanya oke. Rencana penjualan saham Semen Gresik kepada Cemex (Meksiko) juga jadi masalah. Semasa Tanri menjadi menteri, dia menjanjikan Cemex bisa membeli mayoritas saham Semen Gresik. Tapi keputusan itu sekarang diubah. Sebelumnya, Indonesia sudah dianggap cedera janji dalam kasus penjualan saham Bank Bali kepada Standard Chartered Bank. Berbagai kasus tadi paling tidak membuat investor asing memikir ulang rencananya ke Indonesia. Di luar anggaran, dua persoalan besar lain juga membutuhkan penyelesaian mendesak, yakni restrukturisasi perbankan dan sektor riil. Dua langkah besar ini sangat dibutuhkan untuk memulihkan perekonomian Indonesia sekaligus meletakkan fondasi yang benar bagi perekonomian nasional pada masa mendatang. Tidak bisa dimungkiri, pembangunan sektor perbankan dan sektor usaha selama Orde Baru mencengangkan, tapi ternyata juga sangat keropos. Terbukti, ketika krisis datang, hampir tak ada perusahaan papan atas yang mampu bertahan. Karena itu, koreksi harus dilakukan, antara lain dengan merekapitalisasi bank-bank yang modalnya kempis dan menyelesaikan utang swasta yang nilainya Rp 500-an triliun. Sialnya, BPPN, yang punya tugas menyelesaikan kedua pekerjaan besar itu, banyak dikritik sangat lamban. Padahal, dampak kelambatan itu sangat luar biasa. Tengok saja proses rekapitalisasi Bank Mandiri. Hanya dalam tempo beberapa bulan, biaya rekapnya membengkak dari Rp 137,8 triliun menjadi Rp 178 triliun. Restrukturisasi utang juga lamban, sehingga para debitur itu tak bisa menggerakkan roda usahanya lebih cepat. Tak aneh jika bank belum juga mau mengeluarkan kredit bagi perusahaan yang punya utang macet. Kalau dua-duanya macet, bagaimana mungkin ekonomi bergerak lebih cepat? ''Pendek kata, seperti tebakan lebih dulu mana telur dengan ayam," kata bankir Masyhud Ali. Kendati demikian, kata Adrian, betapapun berat berbagai persoalan ekonomi tadi, faktor politik tetap lebih besar imbasnya. Celakanya, jauh lebih sulit meramalkan penyelesaian problem politik ketimbang ekonomi. ''Kasus Astra, misalnya, kita sudah tahu pilihan solusinya apa saja. Tapi, untuk soal Maluku, misalnya, pemerintah sampai sekarang terkesan belum mampu mencari pemecahannya," katanya. Kekhawatiran terhadap kemungkinan kudeta yang belakang diisukan membuat dana miliaran dolar dari luar negeri, yang sedianya siap diguyurkan ke Indonesia, terpaksa parkir dulu. ''Gampangnya, pemerintahan Abdurrahman belum mampu menciptakan rasa aman," kata analis Nomura, Goei Siauw Hong, kepada Wens Manggut dari TEMPO. Tak pelak, semua itu akhirnya menjadi pekerjaan rumah raksasa yang membutuhkan biaya besar. Repotnya, semua itu harus diselesaikan ketika kas nyaris kosong. Meski demikian, tetap harus disadari pemerintahan Abdurrahman mewarisi birokrasi yang bobrok dan korup. Jelas tak mudah menyelesaikan berbagai PR yang ada dengan hanya mengandalkan birokrasi yang ada. Sayangnya, yang dilakukan Abdurrahman juga tidak istimewa. Masuknya pejabat baru berlatar belakang politik di lembaga negara yang sebetulnya membutuhkan tenaga yang cakap menyebabkan banyak persoalan justru tak terselesaikan. Belum lagi jika bicara ketidak-kompakan di antara anggota kabinet. Lihat saja bagaimana Laksamana mengemukakan kritiknya terhadap Sonny Keraf yang menutup Inti Indo Rayon Utama. Jika semuanya masih berjalan seperti itu, apa pun yang akan dilakukan Abdurrahman hanya akan mengurangi pundi-pundinya sendiri. M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Agus Riyanto, Lea Tanjung, dan Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus