Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Banyak Bercanda Meski Repot

Pemerintahan Abdurrahman Wahid diwarnai pola kepemimpinan yang impulsif dan membingungkan. Tapi, di tangannya, kekuasaan menjadi sesuatu yang rileks.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG pesta tampak murung karena kurang biaya, dan agak berantakan pula. Ia pekat oleh asap, porak-poranda oleh perkelahian, gaduh oleh silang pendapat sesama panitia pesta sendiri, serta bising oleh isu kudeta para satpam yang tiba-tiba meruap. Tapi, jangan khawatir, tuan rumah akan senantiasa menyambut para tamu dengan senyum lebar dan celetukan jenaka. Itulah yang mungkin akan terjadi jika 100 Hari Pemerintahan Abdurrahman Wahid—tepat jatuh pada 30 Januari 2000—harus dirayakan dalam sebuah pesta. ''Meski sulit, kita harus tetap bercanda," kata Presiden Abdurrahman di Gedung DPR-MPR, Kamis pekan lalu. ''Sebab, bercanda menunjukkan bahwa kita tidak kehilangan kegembiraan." Seratus hari memang waktu yang singkat, bahkan terlalu singkat untuk sebuah siklus pemerintahan lima tahunan. Tapi, seperti kata pengamat politik Eep Saefulloh Fatah, 100 hari semestinya waktu yang cukup bagi sebuah pemerintahan untuk menyusun prioritas dan rencana kerja yang jelas. Pemerintah, seperti dalam sebuah konser musik klasik, semestinya sudah bisa mengambil nada yang akan menjamin bahwa ''Simfoni Ketujuh" Beethoven tidak terpeleset menjadi ''Kopi Dangdut" yang sumbang. Sayangnya, prioritas dan agenda itu bahkan tidak tampak ada. Walhasil, tak hanya berbagai krisis masih jauh dari bisa diselesaikan, pemerintah juga tak mampu memberi inspirasi kepada publik tentang ke mana langkah semestinya diayun. Sementara itu, kisruh dalam tim kabinet—dan birokrasi di bawahnya—tak hanya membuat mesin pemerintahan kehilangan daya, tapi juga berpotensi menciptakan krisis baru. Sebagian dari kegagalan tadi bersumber dari kepribadian dan gaya kepemimpinan Abdurrahman Wahid sendiri. ''Gus Dur sangat bersifat random dan tidak bisa ditebak kemauannya," kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi. ''Sepertinya, Presiden sedang melakukan puzzle game." Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri tidak banyak membantu. Kegagalannya untuk membuat langkah cepat serta menentukan dalam konflik Maluku menunjukkan ketidakmampuannya, bahkan dalam menakar persoalan: betapa konflik lokal seperti itu berpotensi meluas secara tak terkendali. Ketegangan antaragama, yang belakangan ini meruncing tak hanya di Maluku tapi juga di tempat-tempat lain, membuat pekerjaan tak lebih mudah, dan bahkan berpotensi merusakkan upaya positif yang sudah mulai terbangun. Bahkan, Abdurrahman Wahid sering merusakkan sendiri apa yang sudah dia bangun. Lihatlah misalnya sikap dia terhadap kabinetnya sendiri. Ketika dibentuk akhir Oktober lalu, kabinet itu dimaksudkan sebagai bentuk rekonsiliasi, menyusul ketegangan politik yang ditinggalkan Soeharto. Abdurrahman merangkul banyak kelompok dengan membentuk kabinet gado-gado yang terdiri dari tokoh berbagai partai dan kelompok kepentingan. Penyusunan menteri pun dilakukannya secara gotong-royong dengan menyertakan Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Wiranto. Meski itikadnya baik, proses ini melukiskan kegamangannya dalam memutuskan sistem kabinet mana yang dipilih: presidensial atau parlementer. Dia memilih menggabungkan keduanya. Dan ketika kabinet lahir, orang memang melihat ''keajaiban". Ada tokoh militer yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Ada pengamat sosial yang tiba-tiba melompat ke posisi Menteri Riset dan Teknologi. Dalam perjalanannya, Abdurrahman tergoda untuk cepat mengoreksi kabinetnya. Isu ''tiga menteri terlibat dalam korupsi", yang dilontarkannya, telah mengambil korban Hamzah Haz tanpa ada klarifikasi terhadap tuduhan itu, dan membuat was-was menteri lainnya. Jatuhnya Hamzah membuka peluang konflik dengan Amien Rais dan ''Poros Tengah"—kelompok yang melicinkannya naik ke kursi presiden. Kabinet rekonsiliasi berpotensi menjadi kabinet disintegrasi. Tradisi menjatah jabatan birokrasi bagi kekuatan politik menular ke tingkat bawah. ''Gaya pemerintahan Gus Dur adalah melakukan politisasi di jabatan birokrasi. Rekruitmen pejabat birokrasi, yang seharusnya di tangan orang-orang profesional, belakangan diganti dengan orang-orang dari partai politik," kata Eep. Pengamat politik Universitas Indonesia itu khawatir bahwa pola akomodatif seperti itu akan membuat pemerintahan menjadi gemuk sehingga tidak efisien. Keinginan merangkul beragam orang tapi tidak memercayainya juga membuat mesin pemerintahan tidak efektif, dan malah menyimpan api dalam sekam. Menteri ditunjuk dan diberinya tugas, tapi Presiden membangun jaringan sendiri di luar jalur kementeriannya. Sebutlah dalam menyelesaikan kasus Aceh. Presiden meminta Menteri Urusan Hak Asasi Manusia, Hasballah M. Saad, untuk mengatur pertemuan dirinya dengan 60 tokoh Aceh yang mewakili semua kalangan, termasuk Gerakan Aceh Merdeka. Daftar nama peserta telah disusun Hasballah, tapi pada saat yang sama, Presiden juga meminta seorang pengurus Nahdlatul Ulama Aceh untuk menyusun daftar lain. Kekurangpekaannya terhadap prioritas tak hanya menyulitkan penyelesaian krisis, tapi juga kadang memicu konflik yang tidak perlu. Misalnya dalam kasus militer. Abdurrahman Wahid harus diakui telah merobek dominasi Angkatan Darat—salah satu prasyarat demokratisasi di Indonesia—ketika mengangkat Laksamana Widodo A.S. menjadi Panglima TNI. Namun, Presiden, sebagai panglima tertinggi, kadang tergoda untuk masuk terlalu jauh dalam birokrasi militer. Sebutlah misalnya kejadian dalam rapat kabinet, Kamis pekan lalu. Ketika itu tiba-tiba Presiden Abdurrahman memerintahkan pencopotan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Slamet Supriyadi. Dan tak hanya itu. Dia juga meminta penggantian tiga jabatan yang jauh di bawah: Komandan Korem di Sumatra Barat, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Semua catatan tadi memang agak mengecewakan, mengingat betapa besar sebenarnya legitimasi yang dikantongi pemerintahan ini. Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri terpilih dalam sebuah sidang MPR yang tidak ada presedennya dalam sejarah negeri ini—begitu transparan dan begitu demokratis. Wakil yang duduk di MPR sendiri adalah hasil pemilihan umum yang diakui luas paling demokratis sejak 1955. Tapi, di situlah mungkin memang letak soalnya. Pemerintahan Abdurrahman Wahid lahir dalam gebalau era transisi demokratisasi: bangkitnya partai-partai politik, menguatnya tuntutan daerah, meningkatnya sikap kritis masyarakat, menyusutnya peran militer, dan kegairahan baru legislatif dalam mengimbangi kekuasaan eksekutif. Sementara itu, Abdurrahman Wahid tidak memulai sesuatu dari ruang kosong. Dia mewarisi sistem politik, hukum, dan birokrasi yang sudah puluhan tahun kacau dan korup—yang dengan itu telah menyorongkan negeri ini dalam krisis ekonomi dengan skala yang bisa dituntaskan bergenerasi kepemimpinan. Di pihak lain, ada banyak harapan dan tuntutan yang dibebankan ke pundaknya untuk mencari cara-cara baru dalam membawa negeri ini keluar dari kemelutnya. Kerusakan multidimensional puluhan tahun mustahil dibenahi oleh satu pemerintahan—apalagi yang baru berumur 100 hari. Dan bagaimanapun, dalam umur pemerintahannya yang singkat itu, Abdurrahman Wahid telah mengilhami cara-cara baru dan segar dalam mengurus negara. Eep Saefulloh Fatah, misalnya, melihat Abdurrahman Wahid berjasa dalam merangsang prakarsa masyarakat dengan cara mengurangi dominasi pemerintah. Selain itu, gaya kepemimpinannya yang merakyat dinilai sangat penting dalam proses desakralisasi kekuasaan yang selama lebih dari 30 tahun diperlihatkan secara sangar dan dekaden oleh Orde Baru. Kekacauan, dalam dosis tertentu, adalah sumber kreativitas dan inovasi—bagian tak terpisahkan dari upaya merobohkan masa silam dan mencari cara-cara baru. Dosis itulah yang kini harus benar ditakar oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid agar tidak membunuh dirinya sendiri. Arif Zulkifli, Edy Budiyarso, Setiyardi, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus