Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma sangit asap dari lahan yang terbakar menusuk hidung warga Pekanbaru, Riau. Pada Selasa pekan lalu, seantero kota diselimuti kabut. Jalanan lengang dan pagi itu meredup lantaran sinar matahari tersaput asap. Kebanyakan penduduk memilih tinggal di rumah. Meski begitu, asap tetap masuk lewat ventilasi.
"Tak ada lagi tempat berlindung. Di rumah saja sudah tak aman," ujar Asep Dadan Muhanda kepada Tempo.
Khawatir terhadap kesehatan dua anaknya yang masih kecil, pria 34 tahun itu memboyong keluarganya ke luar kota. Dari rumahnya di Kecamatan Tampan, Asep mengungsi ke tempat sanaknya di Kota Bukittinggi. Apalagi sekolah dasar anak sulungnya diliburkan hingga waktu yang tak pasti. Hampir semua sekolah di Pekanbaru telah diliburkan sejak awal September lalu.
Asap yang sama membuat Konsulat Malaysia di Pekanbaru mengevakuasi 200-an warganya. Dari Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II, mereka diterbangkan ke Bandara Sultan Abdul Aziz Shah, Selangor, menggunakan pesawat militer. "Mereka akan kembali saat kondisi sudah membaik," kata Konsul Malaysia Hardi Hamdin, Jumat pekan lalu.
Pemulangan ini dilakukan untuk mengurangi risiko. "Kami risau karena para pelajar mulai sakit," ujar Hardi. Sebetulnya ada 400 warga Malaysia di Riau, tapi sebagian telah pulang lebih awal. Operasi kantor konsulat, kata dia, masih tetap berjalan.
Langkah meninggalkan Riau untuk sementara waktu memang tepat. Musababnya, menurut pantauan satelit Terra dan Aqua milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), angin membawa asap kebakaran lahan dari Sumatera Selatan dan Jambi ke Riau. Itu berarti asap akan terus menumpuk di Riau jika tak ada penanganan.
Asap pembakaran jelas berbahaya karena mengandung partikel kimia yang tak cocok bagi tubuh manusia. Partikel kasatmata adalah debu. Sedangkan yang tak kasatmata ialah sulfur dioksida, karbon monoksida, nitrogen dioksida, dan ozon. Jika seluruh partikel melebihi 350 part per million (ppm), akan timbul penyakit.
"Terpapar dalam waktu cukup lama akan berdampak pada kecerdasan anak dan kematian," kata Budi Haryanto, pakar kesehatan lingkungan Universitas Indonesia.
Indeks standar pencemaran udara di Riau mencapai level 710 ppm. Ini berarti petaka bagi penduduk. Terbukti, jumlah pengidap gangguan pernapasan tinggi. Dinas Kesehatan mencatat ada 26 ribu lebih pengidap infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), 3.000 lebih penderita iritasi mata dan kulit, 1.200 penderita asma, serta 500 pengidap pneumonia.
Setelah status Riau dinaikkan menjadi "darurat" pada 14 September lalu, tujuh posko kesehatan langsung didirikan di Pekanbaru. "Biasanya pasien ISPA butuh oksigen tambahan," ujar Deka Ade Putri, perawat di posko yang didirikan di Gelanggang Olahraga Tribuana di Jalan Diponegoro 59. Dalam sehari, setidaknya 20 pasien menyambangi posko ini.
Warga Kota Palembang juga menyerbu posko kesehatan milik pemerintah dan swasta. Ngadiman, misalnya, mendatangi posko di halaman Kantor Kelurahan Talang Jambe. Dokter menyuruh dia beristirahat karena mengidap ISPA dan iritasi mata. Selain dia, ada 111 orang mendatangi posko itu seharinya.
Seperti di Riau, penderita ISPA di Sumatera Selatan tinggi. Mulyono, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular di Dinas Kesehatan, menyebutkan ada 12 ribu penderita. "Bulan ini sudah 7.000 penderita."
Bencana jerebu juga melanda Kalimantan. Lantaran asap dan debu imbas pembakaran lahan, Tien Djuanah harus berkali-kali menyapu lantai teras rumahnya. Bahkan asap masih menyelinap ke dalam rumahnya di Kota Pontianak itu meski ia sudah menutup ventilasi dan jendela.
"Keluar kena, masuk juga kena," kata perempuan 66 tahun itu. Tien juga amat khawatir terhadap kesehatan cucunya yang bayi. Satu-satunya cara yang bisa Tien dan keluarganya lakukan ialah menyalakan kipas angin agar asap di dalam rumah tak terlampau banyak. "Tak ada tempat untuk mengungsi," ujarnya.
Amri Mahbub, Andri El Faruqi (Padang), Riyan Nofitra (Pekanbaru), Parliza Hendrawan (Palembang), Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo