Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taufik Ikram Jamil
LENGKAP sudah. Asap bercampur partikel atau lebih tepat disebut jerebu dalam istilah Melayu yang menyungkup Riau pada 2015 ini benar-benar meliputi segala ihwal. Tak hanya menuturkan kenyataan di balik asap itu sendiri, tapi juga menyampaikan pesan dari pengertian bidal lama. Gambaran masa mendatang yang diakibatkannya pun kemudian menyeruak dalam bayangan kelabu. Segala hal yang ideal sekaligus pragmatis, bukan asap sekadar.
Pertama-tama, simaklah kenyataan berikut: baru terjadi pada 2015 ini, Riau tak hanya mengirimkan jerebu ke berbagai tempat, tapi juga menerimanya dari provinsi tetangga, Jambi dan Sumatera Selatan. Transit di Riau, bersama asap daerah ini, angin menerbangkannya ke Malaysia dan Singapura.
Riau sendiri memang sudah belasan tahun menyemburkan asap. Tidak seperti kiriman dari Riau yang lain, seperti bahasa, minyak bumi, hasil hutan, bahkan tenaga kerja ilegal, tentu saja asap disambut dengan kemarahan. Pasalnya jelas: buat apa guna asap? Ini setali dengan ungkapan Melayu Riau untuk menunjukkan sesuatu yang sia-sia dan tanpa guna: menggantang asap.
Syahdan, minimal dua bulan setahun sejak zaman Orde Baru, Riau ditelan asap. Tak mengherankan kalau orang Riau sendiri menyebutkan bahwa daerah mereka tak hanya memiliki dua musim, yakni panas dan hujan, tapi juga memiliki musim asap. Celakanya lagi, musim asap ini diiringi dengan musim gelap, yakni listrik hidup-mati akibat waduk pembangkit listrik kekurangan air, seperti terjadi dalam beberapa hari terakhir. Alamak!
Tak usah pakai teori kesehatan segala, cukup paham orang untuk mengatakan bahwa asap amat tak baik bagi kesehatan. Seperti dilansir media setempat, Wali Kota Pekanbaru Firdaus M.T. malah sempat mengatakan bahwa kota yang dipimpinnya itu tak layak huni lagi, lalu mendesak Pemerintah Provinsi Riau menetapkan status darurat asap. Sejumlah orang telah mengungsi akibat asap. Malah ada yang sudah dua pekan berada di daerah orang.
Cuma, pastilah bukan karena alasan asap itu yang menyebabkan Wali Kota Firdaus tetap berangkat ke Cina pada pertengahan September lalu, tapi kemudian balik kanan setelah diteriaki kiri-kanan. Juga bukan karena asap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau, beberapa hari sebelumnya, berangkat ke sejumlah negara di Eropa. Akibat tidak jelas, sama seperti pemandangan di Riau kini, sikap pemimpin dan wakil rakyat itu dalam ungkapan Melayu disebut kelabu asap.
Frasa kelabu asap di atas juga untuk menunjukkan ketidakberdayaan menghadapi sesuatu. Sewaktu masih menjadi presiden tahun lalu, Susilo Bambang Yudhoyono sampai harus berkantor di Pekanbaru untuk mengusir asap, yang sayangnya hasil pembakaran itu tahun ini kembali terjadi. Hal ini dapat dijuluki sebagai tindakan kelabu asap. Seperti Yudhoyono, Presiden Joko Widodo dari Jakarta berjanji menindak pembakar lahan yang menimbulkan asap—semoga tak menjadi kelabu asap pula. Soal bagaimana tindakan Pemerintah Provinsi Riau, tahu sama tahu sajalah setelah mengamati paragraf ini, kan?
Oh ya, istilah kelabu asap juga diperuntukkan bagi nasib buruk yang seharusnya tak terjadi. Tersebutlah semula, penyebab asap bersumber dari pembakaran lahan dan hutan, saat daerah ini digenjot untuk pengembangan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) oleh perusahaan nasional dan asing. Tapi penyelidikan Forum Pemuka Masyarakat Riau menunjukkan terdapat 240-an kasus sengketa tanah di atas lahan sekitar 500 ribu hektare antara masyarakat dan perusahaan yang kapan-kapan dapat memicu bentrokan fisik. Patut pula diamati kepunahan situs peradaban mengingat di Riau sempat berdiri 22 kerajaan, seperti Inderagiri, yang eksis 800 tahun lebih.
Lalu, dengan area sawit mencapai 3,5 juta hektare yang memproduksi minyak 7 juta ton lebih setahun atau terluas dan terbesar di Indonesia, ternyata itu tak mengalirkan apa-apa ke Riau. Tak seperti minyak bumi, misalnya, bagi hasil minyak sawit belum diatur sehingga sektor ini hanya dikuasai oleh pemerintah pusat sekaligus mengendalikan legalitasnya.
Sebaliknya, segala infrastruktur yang berhubungan dengan sawit dan HTI itu telah luluh-lantak di Riau. Hutan rawa sudah jelas seperti dialami nasib Tesso Nilo dan Giam, kawasan lindung yang merana akibat pembukaan lahan ratusan hektare sebagaimana diungkapkan saat asap tahun lalu—sekadar menyebut contoh. Ini disusul kerusakan jalan nasional 70 persen atau sekitar 800 kilometer, bersulam dengan kerusakan jalan provinsi sepanjang 1.400 kilometer yang sebagian besar terjadi akibat hilir-mudik truk sawit ataupun HTI.
Tak pelak, rupanya asap di Riau sekaligus menyibak asap ketimpangan pembangunan ekonomi yang mengabaikan masyarakat umum sejak dulu. Ini menjadi semacam lingkaran setan yang pangkal dan ujungnya adalah derita rakyat seperti diungkapkan lewat video Atan Lasak bertajuk Silsilah Asap, yang nangkring di YouTube dan terus saja diputar di Riau Televisi. Lebih keras lagi, Willy Fwiandri dan kawan-kawan dalam pertunjukan Kamis malam, 17 September lalu, menggambarkan bagaimana asap menciptakan kuburan bagi rakyat Riau. Oh....
Sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo