DAVID Koresh hanya sebuah contoh. Sejak tahun 1960-an di Amerika berkembang sekte-sekte keagamaan yang bersifat kultus individu, yang oleh para pengikutnya dianggap lebih sesuai dengan zaman modern. Di antara sekte-sekte yang berkembang itu, sejumlah di antaranya tak cuma bersifat kultus individu, tapi juga mengandung, menurut Regional Watchman Fellowship, lembaga yang memantau sekte-sekte itu, kekuatan destruktif terhadap pengikutnya. Contohnya, ya, Branch Davidian yang dipimpin oleh David Koresh itu. Pengikutnya dipisahkan dari keluarganya, dari masyarakat, dan dibuat hanya bergantung pada sang pemimpin. Sekitar 15 tahun yang lalu, kasus serupa di Waco dengan jumlah korban jauh lebih besar terjadi di hutan negeri tropis di Guyana di Amerika Selatan. Tanggal 18 November 1978, pemimpin sekte gereja Kuil Rakyat Jim Jones dan 913 pengikutnya, 276 di antaranya anak-anak, melakukan bunuh diri bersama-sama di Jamestown, sebuah koloni di bekas hutan. Guru besar agama Universitas Pennsylvania, Stephen N. Dunning, yakin bahwa ''Pengikut David Koresh, terutama golongan dewasanya, ingat benar riwayat kematian masal di Jonestown.'' Maka, katanya, itulah preseden untuk peristiwa David Koresh itu. Baik Branch Davidian milik Koresh maupun Kuil Rakyat di Guyana memenuhi ciri-ciri umum sebuah sekte yang mengkultuskan pemimpinnya. Yaitu adanya seorang tokoh sentral, pemimpin karismatis yang menuntut kesetiaan pengikutnya. Selain itu ada ciri esoteris, sekte ini dirahasiakan dari orang luar. Dalam tragedi di Guyana, Jim Jones yang dikultuskan. Kuil Rakyat yang dipimpin Jones merupakan sempalan agama protestan digabung dengan eksperimen sosialisme. Jones, yang pada tahun 1978 itu berumur 46 tahun, adalah seorang kulit hitam yang gagah dan banyak senyum. Ia suka bersolek, antara lain menghitamkan cambang di pipinya dengan pensil mata. Dengan modal ijazah pengajar dan ilmu di Sekolah Tinggi Injil di Cleveland, Jones mulai mencari pengikut di California di akhir 1950-an. Ia mengaku sebagai nabi Tuhan dan ''bapa''. Dan mengaku pernah menghidupkan kembali 40 orang mati, dan mampu mengobati kanker. ''Jim seorang yang hangat, bersahabat, dan ramah tamah,'' ujar Harold Cordell, yang bergabung dengan Kuil Rakyat sejak usia 18 tahun. Jones tahu bagaimana menarik minat umat dengan menjual isu memperjuangngkan persamaan hak. Itu sebabnya, menurut Grace Stoen, pembantu terdekat Jim Jones, golongan orang yang tertarik adalah kulit putih kelas menengah atas yang idealistik, dan kulit hitam yang tak terpelajar tapi tak punya hak politik. Dalam bahasa Jones, pengikut-pengikutnya adalah ''warga yang tak dikehendaki Amerika''. Jones siap mengayomi orang-orang yang tak dikehendaki itu. Jones menerima, dan bahkan mencium hangat seorang wanita kulit hitam yang kesusahan karena lima dari tujuh anaknya dipenjarakan. Neva Sly, salah seorang pengikutnya, mengingat ketika pertama kali mengunjungi Kuil Rakyat di tahun 1967. Kesan pertamanya, ia disambut dengan kekuatan cinta. ''Satu per satu orang di gereja merangkul saya. Keakraban yang belum pernah saya rasakan sebelumnya,'' ujar pengikut Jones yang lain, Jeannie Mills. Jones mengaku pengikutnya berjumlah sekitar 20.000 orang. Ada yang menyebut pengikut Jones sampai 50.000. Dan konon, dana organisasinya terutama dari kantung janda-janda kaya. Jones juga membina hubungan baik dengan beberapa politisi terkemuka di Amerika, terutama dari partai Demokrat. Ia pernah membantu kampanye Presiden Carter -- dan mendapat surat dari Nyonya Carter yang menyebutnya ''Jim''. Sekitar tahun 1973, Jones bersama 1.000 pengikutnya pindah ke Guyana untuk melakukan misi pertanian. Di bekas hutan, Jones memanfaatkan sekitar 400 hektare untuk koloni Kenisah Rakyatnya. Di bekas hutan itu Jones mendirikan 20 asrama besar, 150 pondok, sekolah, dan fasilitas umum untuk menampung pengikutnya. Lalu mereka hidup dari bercocok tanam, menumbuhkan bermacam buah, kentang, jagung, dan singkong. Mereka mendapat dana dari para donatur dan tabungan pengikutnya. Jones merasa telah menciptakan sebuah ''Taman Firdaus''. Namun setelah lima tahun di situ, beberapa pengikut ada yang mulai melihat belangnya Jones. Mereka tersandera di Jamestown. Ya, karena Jones menyita paspor, uang jutaan dolar, bahkan lalu memeras dan mengancam pengikut-pengikutnya. Setiap pelanggaran disiplin diganjar dengan kekerasan, tak peduli pelakunya anak- anak. Misalnya, suatu kali seorang bocah yang tak disiplin, tubuhnya dibelit dengan tambang dan kepalanya dibenamkan ke sumur sampai ia tobat pada sang ''bapa''. Di antara yang mulai merasa muak -- tapi jauh lebih banyak yang patuh karena sudah 10 sampai 20 tahun jadi umatnya -- berhasil mengontak wartawan di Los Angeles dan membongkar kebejatan Jones. Pada 14 November 1978, anggota parlemen dari California, Leo Ryan, tiba di Guyana bersama rombongan yang terdiri dari wartawan dan keluarga pengikut Jones. Mereka berniat melakukan penyidikan tak resmi atas laporan itu. Namun, empat hari kemudian, ketika rombongan hendak pulang sembari membawa 14 pembelot, Jones memerintahkan anak buahnya menghabisi tamu dan ''pengkhianat-pengkhianat'' itu. Ryan, tiga wartawan, dan seorang pembelot tewas di sekitar lapangan terbang darurat Kaituma, sekitar 10 km dari perkampungan Jonestown. Sisanya berhasil lari. Jauh dari tempat penembakan, Jones mulai sinting. Ia gelisah karena rahasia di Jonestown diketahui oleh orang-orang yang selamat itu. Orang-orang dekatnya, termasuk anaknya sendiri, Stephan Jones, mengatakan ayahnya mengidap paranoia bahwa CIA, agen rahasia Departemen Keuangan, dan tentara Guyana berkomplot untuk menghancurkan ''taman firdaus''-nya. Ia, seperti yang dituturkan oleh mereka yang selamat pada New York Times Magazine, langsung mengumpulkan umatnya ke balai utama. ''Saya telah memberi kalian suatu kehidupan yang baik. Tapi ada segelintir orang kita yang membuat kehidupan kita ini mustahil,'' katanya, seperti ditirukan oleh mereka yang berhasil lari dari tragedi 18 November itu. ''Tidak ada cara untuk lari dari kenyataan hari ini. Kalau kita tidak dapat hidup damai, marilah kita mati dalam kedamaian,'' katanya. Kalau tidak, katanya, tentara akan datang, ''dan memasukkan kita dalam kamp konsentrasi.'' Seorang anggota Kenisah berumur menawar, '' Mengapa kita tidak lari ke Rusia?'' Jawab Jones dengan kalem, ''Orang Rusia tidak akan menerima kita karena kita telah tercemar oleh pembunuhan di Kaituma itu.'' Jones kemudian melanjutkan, ''Saya ingin bayi-bayi kita lebih dulu.'' Menurut Stanley Clayton, saksi mata lain dalam peristiwa itu, kebanyakan pengikut Jones mengira ini sebuah ujian saja. Jones, sejak 1983, setelah ditinggalkan 8 anggotanya waktu di California, sering melakukan ujian kesetiaan, yaitu mengajak umatnya minum air beracun bersama- sama, dan ternyata air tidak beracun sama sekali. Tapi kali itu bukan sekadar ujian kesetiaan. Beberapa perawat langsung merebut bayi dari gendongan ibunya. ''Algojo-algojo'' itu kemudian mencekoki racun ke tenggorokan anak-anak itu. Ibu- ibu mereka langsung kaget, terpukul, takut, dan kehilangan akal. Namun Jones dengan tenangnya berkhotbah, ''Aku mencintai kalian, aku mencintai kalian. Ini hanya tidur nyenyak. Ini tidak akan menyakitimu. Hanya seperti menutup mata dan tidur nyenyak.'' Kemudian Jones menerobos massa dan membawa umatnya ke depan sebuah tong minuman buah yang telah dicampur dengan sianida. Di antara mereka yang menurut bagai orang buta yang dipapah adalah istri Jones, Marceline. Merceline memeluk rekan-rekannya dan berkata, ''Sampai berjumpa di kehidupan berikut.'' Lalu kata yang lain, sambil meneguk isi cangkirnya, ''Kita roboh hari ini tapi Jones akan membangunkan kita esok.'' ''Yang tidak mau minum akan dianiaya dan dikebiri oleh tentara Guyana. Mereka sedang menuju kemari,'' teriak Jones dalam suasana yang panik. ''Kita mati dengan terhormat,'' serunya berkali-kali di hadapan ''tawanan-tawanan'' di sebuah pelosok hutan, 150 mil dari lapangan terbang, tak punya duit, paspor, atau surat apa pun. Terlalu jauh, terlalu kecil kemungkinan untuk selamat. ''Kebanyakan orang,'' kata seorang saksi, ''tak punya apa-apa lagi selain Kuil Rakyat dan Jonestown.'' Salah satu yang berhasil kabur dari Jonestone adalah Michael Carter. Menurut Michael, hanya 30 sampai 40 pemberontak di perkampungan itu, yang -- seperti dia -- membawa kabur uang Kuil Rakyat setengah juta dolar. Para pembangkang itu mengajak sejumlah orang lainnya bersembunyi, di WC dan selokan. Tapi sebagian ditemukan lagi oleh Jones dan pengawalnya. Mereka didorong ke depan tong racun. Akhirnya memang sebuah pemandangan yang mengerikan. ''Taman firdaus'' itu berubah menjadi neraka. Sebanyak 913 orang tutup usia, termasuk Jones, dengan luka tembak di kepala. Di tubuh sekurangnya 70 korban, polisi dan ahli medis menemukan bekas suntikan. Menurut saksi mata, mereka melihat orang-orang disuntik setelah racun yang diminum tak bereaksi. Lalu, sekitar 70 orang lagi dibunuh karena memberontak. Sebanyak 260 anak- anak dan lima wanita tua mati karena racun kumulatif, yang diberikan dengan dalih pengobatan rutin. Diperkirakan sepertiga dari mereka yang meninggal di Jonestown bukan karena bunuh diri sama sekali. Namun, yang dibunuh dan bunuh diri sudah demikian bercampur baur, mustahil membedakan keduanya secara pasti. Kisah dramatis Jonestown, ditambah konflik terbuka lainnya antara pemerintah Amerika dan sekte semacam itu, tidak menurunkan pasar sekte di Amerika. Direktur Cult Awareness Network, Cynthia Kisser, memperkirakan ada 600 sampai 3.000 sekte di Amerika kini. ''Angka ini berubah terus, '' katanya, karena organisasi baru terus tumbuh, sedangkan yang lama ada yang bubar atau tak pernah mendaftar. Terus terang, jaringan pemantau sekte ini malah tak pernah mendengar ada sekte Branch Davidian yang dipimpin David Koresh itu. Regional Watchman Fellowship, organisasi Kristen yang dibentuk untuk mengamati perkembangan sekte-sekte di AS, menghitung angka 3.000 itu angka minimal, dengan anggota lebih dari 30 juta. Aliran itu sendiri, kata Craig Branch, direktur organisasi itu, ada dua macam. Yaitu kelompok yang sekadar menyimpang dari doktrin formal agama induknya (contohnya Baha'i dalam Islam dan Mormon dalam agama Kristen). Kelompok kedua adalah sekte yang destruktif, yang merekrut umat dan menjadikannya sangat setia dengan cara ''cuci otak''. Lalu apa menariknya agama ''cuci otak'' itu? ''Untuk menjawab pencarian arti hidup, untuk memahami hal-hal yang transendental -- persoalan yang tak terjangkau oleh para psikiater,'' kata seorang guru besar filsafat Universitas San Francisco. ''Banyak orang terbangun pukul 3 malam dan tak tahu mengapa.'' Orang, katanya, selalu haus akan hal-hal yang spiritual, suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan makanan pokok. Dalam kasus Kuil Rakyat, umpamanya, pencarian makna hidup itu merupakan motivasi yang terbanyak di antara pengikutnya. Mereka umumnya orang yang merasa tak berguna dan bersalah. ''Dulu, saya orang yang sangat gelisah,'' kata Tom Grubbs, bekas kepala SMA di Jonestown. ''Sepanjang hidup saya mengidap kompleks rendah diri yang sangat, merasa kekurangan saya amat menakutkan ... saya ingin bekerja, dan bekerja setiap waktu. Dengan begitu, saya tak harus menghadapi perasaan tak berguna, serbakurang, dan tidak aman.'' Dan jangan menduga bahwa para pengikut sekte seperti itu adalah orang-orang biasa yang tak punya nama. Bulan Mei dua tahun lalu, ketika membongkar kasus sekte Gereja Scientology, majalah Time menemukan nama-nama artis kondang sebagai pengikutnya, antara lain Tom Cruise, John Travolta, Mimi Rogers, dan Anne Archer. Juga bekas wali kota Sonny Bono, dan pemusik jazz Chick Corea. Scientology rupanya merekrut artis-artis itu secara gencar, untuk dijadikan daya tarik. Mereka diperlakukan sebagai raja di ''pusat-pusat selebriti'' milik gereja, yaitu sejumlah klub, antara lain di Hollywood, yang memberi layanan konseling dan petunjuk mengenai karier, dengan ongkos yang sangat mahal. Pendiri Gereja Scientology adalah bekas penulis fiksi ilmiah, L. Ron Hubbard. Tujuannya mendirikan sekte itu, untuk ''menjernihkan'' orang-orang yang kurang bahagia. Gereja ini menyelenggarakan berbagai seminar, kursus, bahkan mendirikan universitas di Sussex, Inggris. Bidang kursusnya antara lain yang dinamakan New Era Dianetic, yaitu mempelajari cara melokalisasi nafsu setan dan pengalaman traumatis yang menyebabkan seseorang sakit psikosomatis. Ongkos kursus US$ 500 per jam, dan waktunya tidak terbatas. Guru-guru di sana yang akan menentukan apakah seseorang sudah lulus sebagai orang yang ''jernih''. Inilah contoh penipuan besar-besaran dengan mengatasnamakan agama. Para pengurusnya bisa bertahan dan mencapai tujuannya dengan mengintimidasi pengikut dan pengritiknya dengan cara- cara mafia. Bagaimanapun, kesesatan punya waktunya untuk runtuh. Di awal tahun 1980-an, sebelas pemimpin Gereja Scientology ditahan, diadili, dan dinyatakan bersalah. Mereka dipenjarakan, termasuk istri si pendiri, Nyonya Hubbard. Tahun belakangan, ratusan bekas pengikut lamanya, yang mengaku mendapat siksaan fisik dan mental, keluar dari kelompok itu. Mereka balik menuntut Gereja Scientology, dan menang. Dalam banyak kasus, hakim mengecap pengurus Gereja Scientology menderita ''sisoperenia dan paranoid'', atau ''korup, mengancam, dan berbahaya''. Anehnya, upaya hukum dan kemarahan rakyat tidak mematikannya. Kabarnya Gereja Scientology masih mengaku punya 700 pusat pelayanan di 65 negara. Apa pun alasan warga Amerika memeasuki sebuah sekte, mereka punya begitu banyak pilihan. Ada Gabungan Gereja Moon pimpinan Sun Myung Moon, orang Korea Utara, yang berkembang di AS sejak tahun 1972. Di New York, dalam pidato pertamanya, Moon mengajak orang Amerika meninggalkan agamanya dan membina hubungan sejati dengan Tuhan untuk kedatangan Kristus yang kedua. Waktu itu ia menyebut tahun 1981 sebagai tahun datangnya Kerajaan Surga Baru di dunia, dan dunia akan mengakui Moon sebagai Tuhan Advent Kedua. Dan mereka yang menjadi pengikutnya menjadi anggota Keluarga Surga dan langsung menjadi milik Orang Tua Sejati yaitu Moon dan istrinya, keluarga Tuhan langsung. Tahun 1981 lewat, dan kerajaan baru belum tampak. Kata Moon, ''Alasan penundaan itu karena dunia belum siap memasuki abad baru, karena orang-orang di luar tak percaya dan karena Gereja kita gagal membawa mualaf.'' Moon memberi ancer-ancer baru: tahun 2001. Lalu ada lagi, untuk menyebutkan sekte yang laris, Hare Khrisna yang pengikutnya terlihat di pinggir-pinggir jalan kota besar di AS. Daya tariknya, menurut penulis Isamu Yamamoto, karena pendirinya, Abhay Charan Swami Prabhupada (meninggal tahun 1977), membawa eksotisme agama India ke Barat (misalnya dalam hal meditasinya, upacara keagamaannya yang disertai bunga, dupa, dan kipas). Namun, dari ribuan sekte yang berkembang di AS itu, yang potensial menimbulkan konflik adalah kelompok yang, seperti sudah disebutkan, melakukan cuci otak. Kelompok yang ''Keyakinan, praktek-praktek, dan nilai yang dianut bertentangan dengan kebudayaan umum,'' begitu ditulis dalam buku A Guide to Cults and New Religions (Ronald Enroth dan kawan-kawan, Inter-Varsity Press, 1983). Dalam ajaran kelompok Bhagwan Shree Rajneesh -- diambil dari nama pemimpinnya -- sang guru dari India itu meyakinkan murid- muridnya untuk siap meninggalkan keluarga, pekerjaan, bahkan pikiran-pikiran dan kepribadiannya untuk memenjadi seorang yang pasif dan tak berakal budi. ''Pikiran adalah sebuah penjara,'' kata pemimpin berjenggot lebat itu. Maka, untuk mencapai kebenaran sejati, pengikut harus membuang Tuhan lamanya. ''Kamu tidak tahu di mana Tuhan berada. Ia tidak pernah memberikan alamatnya pada siapa pun.'' Dengan ajarannya itu, Rajneesh muncul sebagai organisasi yang makmur dan banyak pengikut. Markasnya di sebuah ranch Big Muddy seluas 30 km2 di dataran tinggi Oregon, 320 km dari Portland. Dari tanah seluas itu 900 hektare dijadikan kota mandiri, tempat para pengikut Bhagwan mencukupi kebutuhan hidup sendiri. Ada tempat belanja, kebun, hotel, restoran, dan hiburan malam, termasuk kasino. Di situ ada juga pemerintahan dan agen keamanan. Di situ menggelinding 84 sedan Rolls Royce, mobil kesukaan Rajnees. Lokasi itu disebut Rajneeshpuram oleh anggotanya. Di situ tempat Rajneesh mewujudkan utopia pencerahan hidup manusia -- tugas yang, kata guru di depan pengikutnya, telah diemban sejak 6 abad lalu. Tiap pukul 2 siang, umatnya, yang sekaligus menjadi karyawan di komunitas itu, menghentikan pekerjaannya. Mereka berbaris membentuk Jalan Nirwana, karena itulah saatnya sang pemimpin berjubah warna matahari terbit akan lewat dengan Roll Roycenya. Mereka menangkupkan kedua tangannya seraya bernyanyi ''Tuanku Bhagwan, kami menyukai kegembiraan hidup.'' Sementara itu, di ketinggian sebuah helikopter bertengger, dijaga petugas keamanan bersenjata semiotomatis siap menerbangkan sang Bhagwan Shree Rajneesh ke mana perlu. Setelah lewat, umatnya -- yang disebut Sannyasin kembali bekerja, di ladang, di restoran, tujuh hari dalam seminggu dengan gaji sepuluh dolar (di tahun 1984) untuk melayani guru yang paling kontroversial di Amerika ini. Rajneesh datang dari India tahun 1981. Di tanah kelahirannya ia pernah belajar filsafat dan psikologi di berbagai universitas sampai akhirnya mendapat gelar master bidang filsafat, tahun 1957. Ia mendirikan Rajneespuram sekitar tahun 1981. Tanah tempat kota itu berdiri dibeli oleh para pengikutnya. Kebanyakan pengikut Rajneesh mengenalnya ketika anak dari keluarga makmur itu mendirikan tempat retret, yang disebut ashram, di Poona, India, tahun 1974. Dalam setahun tercatat 50.000 orang Eropa dan Amerika datang ke Poona untuk mendapatkan terapi. Tentu, mereka umumnya orang kaya. Ini sejalan dengan kayakinan Rajneesh bahwa ''hanya orang kaya yang bisa menjadi spiritualis''. Di Poona, Rajneesh menerapkan teori pencerahannya, yaitu memberikan terapi kekerasan dan seks. Alasan terapi seks adalah keyakinan bahwa keindahan, keunikan, dan sifat alamiah seorang manusia bisa muncul bila pola-pola emosi dan hawa nafsu yang terpendam dikeluarkan. Terapi kekerasannya menyuruh berkelahi antarpengikut itu, untuk melepaskan timbunan kemarahan. ''Boleh juga minta terapi obat bius,'' kata alumnus Poona. ''Pokoknya, ia menawarkan kemerdekaan total pada kami,'' katanya. Dalam beberapa tahun, laporan adanya kekerasan, pelacuran, dan perdagangan obat bius di tempat meditasi itu membuat tetangga- tetangganya yang beragama Hindu naik pitam. Tahun 1981, Pemerintah India menuntut Rajneesh untuk urusan pajak. Bhagwan Shree Rajneesh lari ke AS hanya dengan 10 pengikut, membuat sebagian besar umatnya telantar, dan mereka pun kabarnya lalu menjadi pengemis. Di kerajaan barunya di dekat Antelope, Oregon, Rajneesh mengulang sejarah ashram. Pengelola Rajneeshpuram mengajukan permohonan untuk menjadikan daerah itu sebagai kota yang sah. Sambil menunggu izin, mereka membeli properti di Antelope, kota terdekat. Hal itu dimungkinkan karena dua pengikutnya memegang jabatan di pemerintah daerah Antelope. Kota Antelope pun berubah nama menjadi Rajneesh. ''Pemerintah'' baru pun mengizinkan nudis di taman-taman umum. Tiga tahun setelah kerajaan Rajneehpuram berdiri, Jaksa Agung Oregon David Frohnmayer mengajukan gugatan terhadap kota spiritual dadakan itu. Tak lain karena penduduk asli merasa terganggu. ''Selama tiga tahun itu nilai-nilai kami dicemooh,'' ujar bekas penduduk Antelope yang telah pindah ke kota. Memang, sebagian besar penduduk lama tak tahan, lalu minggat. Menghadapi sekte gila semacam ini Pemerintah AS punya senjata First Amendment, yang intinya menghendaki adanya pemisahan antara gereja (baca agama) dan negara. Namun pemerintah baru bisa mengambil tindakan tegas pada organisasi agama kalau ada indikasi agama itu melanggar hukum. Branch Davidian itu, misalnya, dikepung FBI karena dituduh menghimpun senjata dan amunisi ilegal. Hal melanggar hukum itu pula yang menyebabkan Jaringan Intervensi Krisis menggempur sebuah komunal di Osage Avenue, kampung Powelton, Philadelphia Barat, setelah mengevakuasi 500 penduduk di sekitarnya. Di Mei 1985 itu, pasukan SWAT, yang kata Wali Kota Philadelphia mengingatkan pada masa perang Vietnam, diturunkan untuk menghadapi sekte MOVE, kelompok yang umatnya kebanyakan kulit hitam dan orang-orang Puerto Rico. Pemimpinnya, Conrad Afrika, mengajarkan primitivisme dan anarki. Tujuh tahun sebelum penyerangan ini, 9 anggota MOVE ditahan karena membunuh polisi. Tatangga sering terganggu karena anggota sekte suka berteriak-teriak dari jendela: ''Kirimkan CIA kemari! Panggil FBI! Suruh tim SWAT kemari! Kami punya sesuatu untuk kalian semua!'' Seperti juga David Koresh, ketika itu Conrad tak mau menyerah dan mempertahankan pengikut-pengikutnya. Ia malah mengucapkan good bye lewat pengeras suara. ''Ini kehendak Tuhan, dan memang itu yang akan terjadi.'' Setelah terjadi tembak-menembak dengan anggota sekte yang menjebol dinding lantai dasar, sebuah helikopter merendah memuntahkan bom ke atas bungker di perkampungan itu. Api pun membubung. Dua blok hancur, 61 rumah tinggal puing, dan 11 mayat, termasuk 4 anak, menjadi dendeng. Mengingat itu semua, tampaknya kasus Branch Davidian bukan yang terakhir. Di zaman ketika pemeluk agama oleh banyak pengamat dikatakan mengalami krisis, ketika banyak orang mencari kepastian-kepastian yang mudah, sekte-sekte yang menyajikan perlindungan konkret dengan bayaran apa pun memang cepat menarik mereka yang goyah. Bunga Surawijaya dan Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini