Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA bingkai sampul majalah terpajang di dinding bercat abu-abu. Derek Trucks pada Blues Revue, Jimi Hendrix memegang gitar pada Guitar Player, dan Stevie Ray Vaughan berpose untuk Guitar. Berjarak setengah meter dari dinding itu, sayup-sayup terdengar percakapan sekumpulan orang. ”Kami sedang mempersiapkan festival,” kata Oding Nasution ketika ditemui Tempo akhir Oktober lalu di Jalan Fatmawati, Jakarta. Kertas tampak berserakan di atas meja kayu bundar.
Oding adalah Ketua Indonesian Blues Association (Ina Blues), organisasi yang menghimpun para penggemar blues. Siang itu pria yang dulu dikenal sebagai gitaris Badai Band ini ditemani Bambang Wuriyanto (Yanto) dan Edwin, masing-masing Sekretaris Jenderal dan pembina Ina Blues.
Oding, yang mengenal blues sejak sekolah menengah pertama, menuturkan Ina Blues didirikan pada 17 Agustus 2005. ”Awalnya senang saja,” katanya. Nama Ina dipilih karena lekat dengan sebutan Indonesia dalam kompetisi olahraga. Penggagas wadah ini adalah musisi blues yang rata-rata sekarang berusia di atas 50-an, termasuk Keenan Nasution dan Tami Daud. ”Anak-anak Menteng dan Kebayoran,” kata Yanto.
Di masa-masa awal, kegiatan rutin asosiasi ini manggung di kafe. Misi mereka: memperkenalkan blues ke masyarakat, termasuk kaum muda. ”Blues adalah akar dari musik pop,” kata Oding. Inilah yang kemudian dijadikan tema Jakarta International Blues Festival 2009, Sabtu dua pekan lalu—yakni ”Back to the Roots of All Music”. Itu festival kedua; yang pertama digelar tahun lalu.
Kini aktivitas rutin mereka tak terbatas pada nge-band. Mereka juga menggandeng grup band blues muda dan memperkenalkannya ke kancah internasional. Dan tentu saja mengamati perkembangan blues di luar negeri. ”Makanya, kita terdiri bukan atas musisi saja, tapi penikmat dan pengamat musik,” kata Oding. Di situs jejaring Facebook, anggota Ina Blues sekitar 1.650 orang. Rencananya mereka ingin membuat klinik musik.
Andre Harihandoyo, gitaris dan vokalis Andre Harihandoyo and Sonic People, mengatakan tertarik pada Ina Blues, yang menjembatani penggemar muda dan tua. ”Kita sama-sama berjuang untuk musik yang memang kita suka, dan ingin memperkenalkan musik blues lebih luas lagi kepada masyarakat,” katanya dalam balasan surat elektronik, Senin pekan lalu. Andre dan band-nya pernah tampil bareng Ina Blues di Mario’s Place, Menteng.
Komunitas blues juga ada di Bandung, walau mengalami pasang-surut. Pelopornya Harry Pochang dan band Time Bomb Blues. Mereka membentuk Blues Jam. Waktu itu 1993, tak berapa lama setelah pertunjukan blues di Laga Pub yang digagas radio Mara. Bergabung di dalamnya belasan band dan penyuka blues. Gairah ini lalu difasilitasi Rumah Nusantara di Jalan Gegerkalong, tempat menggelar pertunjukan rutin mulai November 2000.
Karena peminatnya bertambah, terbentuklah Bandung Blues Community. Hadi Pramono, penyiar Mara, ditunjuk sebagai ketua. Tapi selama setahun tak ada kegiatan. Lalu Richard Klaproth membentuk Indonesian Blues Community dan berkumpul di vila miliknya di Cipayung. Aktivitas blues kembali hidup dan mengisi acara Blues Night di TVRI, September 2001. Tapi terhenti lagi, dan meneruskan jamming di Rumah Nusantara. ”Tak solidnya forum, karena sifat keanggotaan tidak mengikat,” kata Hadi.
Dia menjelaskan, rata-rata anggota komunitas adalah mahasiswa dan pekerja usia 19-30 tahun, dan usia 50-an. Menurut dia, Miko Protonema sempat mengibarkan panji Bandung Blues Society di Bumi Sangkuriang, Ciumbuleuit. Sampai sekarang, setiap Selasa malam pekan kedua, rutin tampil band beraliran blues. ”Rata-rata lima band bagus dari Bandung dan Jakarta yang tampil setiap malam,” kata penggemar Led Zeppelin dan Deep Purple ini. Hadi juga membuka perpustakaan film musik blues di rumahnya di Jalan Kopo.
Di Jatinangor, Sumedang, Galih Su sengaja membuat Ngeumong Cafe and Library, yang dibuka beberapa bulan lalu. Di kawasan pendidikan ini kebanyakan penggemar blues adalah mahasiswa. ”Ada yang baru dan mau kenal blues, sampai ada yang hidup dari blues,” kata gitaris dan vokalis band folk The Galih itu. Mereka bertukar pikiran tentang blues, jamming, dan main bersama, juga bercita-cita menelurkan album.
Martha W. Silaban (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo