Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Unjuk Gigi Falun Gong

Pengikut Falun Gong di Indonesia semakin banyak. Gejala kebutuhan kerohanian yang terjadi di kota-kota besar.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH unjuk rasa yang tak lazim terjadi di Ibu Kota. Sebanyak 25 orang, laki-laki dan perempuan, dari remaja hingga orang tua, datang ke kantor Kedutaan Besar Cina di Jakarta. Dengan kaus kuning dan celana panjang berbagai warna, penampilan mereka sepi dari tanda-tanda kegarangan seperti yang biasa dipakai pengunjuk rasa umumnya. Pukul 10 pagi itu, sambil duduk bersila dengan punggung tegak dan mata terpejam, mereka bermeditasi selama enam jam. Salah seorang wanita membentangkan spanduk bertuliskan, "Kehidupan dan dunia memerlukan Zhen-Shan-Ren (Sejati-Baik-Sabar)." Itulah unjuk rasa yang digelar para pengikut Falun Gong, kelompok olah kerohanian yang berasal dari Cina. Mereka memprotes tindakan kekerasan pemerintah Cina terhadap pengikut Falun Gong. Didirikan Li Hongzhi, ahli meditasi, pada 1992, Falun Gong menyedot jutaan pengikut dalam waktu singkat. Kini diperkirakan pengikut Falun Gong sedunia lebih dari 100 juta orang di lebih dari 45 negara. Ketegangan politik antara pemerintah Cina dan pengikut Falun Gong terjadi pada 1999. Banyak pengikut kelompok itu yang ditahan dan disiksa pemerintah Cina. Di Indonesia, Falun Gong belum populer. Pada 1996, ada beberapa orang yang berlatih meditasi tersebut di Jakarta. Kini jumlah pengikutnya diperkirakan ribuan orang, yang tersebar di Jakarta, Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Denpasar, Pontianak, dan Makassar. Mereka membentuk Himpunan Falun Gong Indonesia pada 2000, yang diketuai Joko Buntar. Anggotanya dari berbagai profesi. "Dari petani hingga pejabat," kata Liman Kurniawan, sekretaris himpunan itu. Tahun ini, ketika udara politik Indonesia ramah terhadap masyarakat dan kebudayaan Tionghoa, pengikut Falun Gong unjuk diri. Sabtu dua pekan lalu, mereka menggelar konferensi internasional di Hotel La Meridian, Jakarta, yang dihadiri sekitar 700 orang dari berbagai negara. Sehari kemudian, mereka berencana melakukan pawai dari Bundaran Hotel Indonesia ke Tugu Monas?keduanya di Jakarta Pusat?tapi batal karena acara itu dibubarkan Kepolisian Daerah Metro Jaya lantaran dianggap menyalahi izin yang sudah dikantongi. Falun Gong memang masih asing di Indonesia. Kecurigaan bisa saja muncul dari pihak kepolisian seperti yang terjadi pada peristiwa pawai itu. Namun, apa sebetulnya Falun Gong? Sekte agama atau kelompok olah jiwa? "Ini bukan agama," kata Liman. Ia lebih suka menyebut Falun Gong sebagai kelompok meditasi. Menurut jurnal internasional mereka, Compassion, Falun Gong adalah sebuah metode untuk meningkatkan kualitas tubuh, pikiran, dan jiwa melalui latihan, meditasi, dan ajaran-ajaran yang berakar pada kebudayaan Cina kuno. Latihannya berupa gerakan yang lembut, pelan, dan latihan relaksasi yang disebut qigong. Hanya dengan latihan lima jurus, orang bisa merasakan efek meditasi. Walau sederhana dan lembut, latihan tersebut terbukti berefek positif untuk kesehatan tubuh. Liman, yang pernah belajar di Beijing, memberikan kesaksian. "Wajah saya yang dulu pucat kini tampak bersinar. Saya pun jarang sakit," katanya. Dasar dari Falun Gong adalah ajaran untuk menjadi manusia yang lebih baik. Ajaran ini dikenal di kebudayaan Cina kuno dengan nama Tao atau Hukum. Inti dari ajaran itu adalah kebenaran, kebaikan, dan kesabaran. Pengikut Falun Gong menganggap tiga prinsip itu se-bagai watak alam semesta. Dan dengan mengikuti prinsip hukum alam itu, mereka menyempurnakan diri. Dari sisi organisasi, Falun Gong terbuka bagi semua orang dari berbagai agama dan ras. Dan latihannya gratis. Berdasarkan ciri-ciri itu, Falun Gong, menurut Budhy Munawar-Rachman, dosen filsafat agama di Universitas Paramadina-Mulya, adalah kelompok kerohanian yang secara sosiologis masuk kategori kelompok New Age (Zaman Baru). Gerakan itu muncul sebagai respons terhadap sekularisme yang menolak kehidupan kerohanian. "Itu gejala kebutuhan kerohanian yang terjadi di kota-kota besar," kata Budhy. Kelik M.N., Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus