Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kwik Melawan Koneksi Washington

Di tengah tekanan Amerika Serikat, pemerintah mengambil alih penyelesaian kontrak listrik swasta dari PLN. Menteri Kwik Kian Gie masih punya aji-aji pamungkas?

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT penting itu bukan ancaman, bukan pula tagihan. Kendati dikirim oleh lima kreditur kelas dunia seperti Bank Exim Amerika Serikat dan Hermes Jerman, surat itu mestinya tak perlu membuat keder. Isinya biasa saja: cuma minta agar pemerintah memprioritaskan penyelesaian listrik swasta. Jika keliru menanganinya, kata surat itu, Indonesia bisa kehilangan kepercayaan investor asing. Lumrah, kan? Tapi, rupanya, surat yang dikirimkan kepada lima menteri (Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi, Bambang Sudibyo, Susilo Yudhoyono, dan Alwi Shihab) itu membuat Bina Graha seperti kebakaran jenggot. Tak sampai sepuluh hari kemudian, 18 Desember, Presiden Gus Dur langsung menerbitkan Keputusan Presiden tentang Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PT (Persero) PLN, yang prinsipnya sama persis dengan isi lampiran surat sakti itu. Keppres inilah yang kemudian menggusur Adhi Satriya dan Hardiv Situmeang dari jajaran direksi PLN. Mereka mundur karena tak setuju dengan langkah pemerintah. Sedikitnya ada dua hal yang membuat orang-orang terdepan PLN ini marah. Pertama, keputusan bahwa PLN harus membatalkan gugatan perdata kontrak listrik Paiton I dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut Adhi, gugatan ini penting untuk membuktikan adanya unsur korupsi di Paiton I. Dengan bukti ini, perjanjian pembelian listrik antara PLN dan Paiton I yang harganya berkali lipat di atas wajar itu bisa dibatalkan. Yang kedua, pemerintah mengambil oper penyelesaian listrik swasta. Ketua tim renegosiasi listrik swata diambil alih dari tangan Direktur Utama PLN untuk diserahkan kepada Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Kwik Kian Gie. PLN sendiri tidak dilibatkan dalam proses perundingan itu. Dengan keputusan ini, pemerintah mencabut gugatan perdata dan memutuskan untuk kembali ke meja perundingan—jalan yang sudah ditempuh PLN dalam setahun terakhir tanpa membuahkan hasil. Selain dongkol dengan "langkah mundur" Gus Dur, Adhi agaknya juga tersinggung karena merasa dikerjai Kwik. Jumat, sehari sebelum keppres sakti tadi diteken, Kwik menelepon Adhi agar menyiapkan perkembangan terakhir listrik swasta dan membawanya dalam rapat di Bappenas pada Senin. Adhi, Hardiv, dan timnya lalu melembur untuk memenuhi permintaan Kwik. Sabtu dan Ahad, yang mestinya libur, mereka tabrak saja. Baru pada Ahad malam laporan itu kelar. Esoknya, Adhi datang ke Bappenas bersama Hardiv. Eh, baru saja menjejakkan sepatunya di halaman Bappenas, mereka sudah diserbu mike dan kamera wartawan. Adhi ditanya rencana penggantian mereka berdua. Keruan saja, keduanya bengong tak bisa menjawab. Satu setengah jam kemudian, setelah bertemu Kwik, Laksamana, dan Susilo Bambang Yudhoyono, barulah Adhi menyadari bahwa Gus Dur sudah mengambil keputusan. Bagi PLN, keputusan itu memang seperti palu godam. Selama ini, PLN sudah mati-matian menjauhkan pemerintah dari meja perundingan. Alasannya, jika terlibat, pemerintah harus menanggung semua risiko perundingan atas nama negara. Kalau perundingan gagal dan akhirnya masuk ke pengadilan, misalnya, pemerintah bisa-bisa diharuskan menyerahkan aset-aset negara. Lain jika persoalan ini ditangani PLN. Penyitaan dan sebagainya terbatas pada aset yang dimiliki perusahaan negara itu. Selain itu, Dana Moneter Internasional (IMF) sudah menyetujui keputusan, soal listrik swasta akan ditangani sendiri oleh PLN, tanpa melibatkan pemerintah. Pemerintah sendiri semula mendukung upaya hukum PLN untuk membongkar jalinan korupsi di Paiton I. "Proyek ini bau KKN sehingga pemerintah mendukung upaya PLN menggugatnya," kata Menteri Pertambangan dan Energi (kala itu) Kuntoro Mangkusubroto, awal Oktober lalu. DPR juga sudah seia sekata. "Jalan pengadilan satu-satunya yang paling adil," kata anggota DPR, Priyo Budi Santoso. Pendek kata, Adhi Satriya tidak melangkah sendirian. Wajar jika Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tandjung terkejut mendengar keputusan menarik gugatan pengadilan itu. Mereka menengarai adanya, "Kepentingan asing di balik keputusan pemerintah." Tapi, presiden membantah tudingan itu. "Tak ada kepentingan asing," katanya tegas. Menurut Gus Dur, keputusan itu dibuat karena pemerintah ingin mempertahankan kontrak. Jika kontrak dilanggar, katanya, segala macam urusan akan kena. Kalau kita menyelesaikannya lewat pengadilan, dunia internasional tak akan percaya lagi. "Mereka tak mau berinvestasi lagi jika penyelesaian kontrak tak dilakukan dengan baik," katanya. Ucapan Gus Dur ini persis seperti isi draft yang dilampirkan dalam surat sakti di atas. Gus Dur boleh membantah. Tapi, kenyataannya, campur tangan pemerintah AS memang tampak kental dalam melindungi investor Paiton I, yang terdiri dari Edison Mission dan General Electric (AS), Mitsui (Jepang), dan PT Batu Hitam Perkasa (kongsi antara Hashim Djojohadikusumo dan Agus Kartasasmita, adik Ginandjar). Berkali-kali surat dan utusan datang dari Washington menemui bekas presiden Soeharto, bekas presiden Habibie, dan belakangan juga Presiden Dur. Februari lalu, misalnya, enam senator, yakni Dianne Feinstein, Chuck Hagel, Paul Coverdell, Chuck Robb, Daniel Inouye, dan John Breaux menyurati Presiden B.J. Habibie dan Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan, Hartarto. Mereka minta Indonesia memperhatikan persoalan listrik swasta, terutama Paiton I. Tekanan dari Pemerintah AS juga tampak ketika mereka meminta Bank Pembangunan Asia (ADB) menyetop bantuan untuk program restrukturisasi PLN senilai US$ 400 juta. Permintaan serupa juga diajukan kepada USAID. Bukan itu saja. Dalam kunjungannya ke Jakarta, tahun lalu, George Munoz, Presiden OPIC (Overseas Private Investment Corp) juga minta agar Indonesia menghormati kontrak. OPIC merupakan organ pemerintah AS yang menjamin seluruh investasi perusahaan AS di seluruh dunia dari risiko politik. Robert S. Gelbard, yang belum lama ini ditugasi sebagai Dubes AS di Jakarta, pun tak ketinggalan. Ia aktif melakukan lobi untuk melancarkan urat Paiton I. Bahkan, menurut tabloid Kontan, Sekretaris I Kedubes AS di Jakarta, Patricia Haslach, pernah mengirim surat kepada pemerintah Indonesia, minta agar PLN mencabut gugatannya. Jika tidak, demikian Haslach seperti menggertak, AS akan memberlakukan "Helm Amendment", yang berisi perintah kepada semua warga negara AS yang ada di lembaga internasional untuk menentang Indonesia. Kalau ancaman ini terlaksana, Indonesia betul-betul bakal tak berkutik. Bantuan internasional, yang menjadi tulang punggung keuangan negara saat ini, bisa saja dibekukan atas permintaan warga negara AS yang menjadi pucuk pimpinan di lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia dan IMF. Apalagi, di IMF, para pembayar pajak AS merupakan pemegang saham terbesar yang suaranya harus didengar. Pemerintah AS memang punya kepentingan menyangkut masa depan Paiton. Kepada TEMPO, seorang diplomat Amerika mengakui pemerintah AS punya risiko finansial atas sukses-tidaknya proyek Paiton I. Soalnya, melalui OPIC, pemerintah AS telah ikut menggaransi investasi ini. Jika Paiton I dibatalkan, Washington harus membayar ganti rugi kepada para investor Paiton. Berapa besarnya? Diplomat ini tak mau menjawab terus terang. Ia memberi gambaran, ketika kontrak listrik swasta CalEnergy dibatalkan Indonesia, pemerintahan Clinton harus membayar US$ 217 juta kepada para investor. Selain itu, lebih dari sepertiga pinjaman untuk membiayai Paiton I berasal dari Amerika. US Exim Bank, misalnya, mengucurkan pinjaman US$ 540 juta, sedangkan OPIC juga memberikan US$ 200 juta. Posisi mereka terjepit jika PLN meneruskan gugatan. Soalnya, PLN yakin bisa membuktikan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme di balik pengucuran kredit itu. "Tinggal selangkah lagi," kata Adhi. Jika korupsi dan kolusi di Paiton I bisa dibuktikan, Edison Mission dan General Electric pasti juga terjerat undang-undang antikorupsi di negaranya sendiri. Apalagi, US Exim Bank dan OPIC terlibat sebagai penyandang dananya. Anehnya, dua lembaga keuangan ini seperti sama-sama tak mencium adanya ketidakberesan di balik Paiton I. Padahal, investasi US$ 2,5 miliar jelas tak masuk akal karena pembangkit yang lain cuma menghabiskan US$ 1 miliar, bahkan cuma US$ 752 di Taiwan (lihat: Mahalnya Paiton, Nakalnya Hashim). Tapi, agaknya mereka tak mau mundur. Lobi terus ditempuh. Hasilnya, ya, surat sakti para kreditur tadi. Tampaknya, di Indonesia, jalan lobi dan perkoneksian memang jauh lebih cespleng. Untunglah, jalan koneksi ini tak membuat kita bertekuk lutut total. Menteri Kwik masih menyimpan aji-aji pamungkas. Ia tetap berniat mengajukan Paiton I ke pengadilan, tapi kali ini dengan gugatan pidana. Kwik melihat adanya indikasi korupsi yang kuat. Untuk itu, Kwik sudah punya bekal. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah menyelesaikan laporan hasil pemeriksaan khusus terhadap proyek listrik Paiton I, Agustus lalu. Hasilnya, BPKP yakin, Paiton I sarat korupsi. Bagaimana pertarungan di pengadilan pidana kelak memang masih belum jelas. Reaksi Paiton dan pemerintahan Clinton juga belum terdengar. Mungkin saja, kombinasi antara lobi dan ancaman masih akan dilancarkan. Tapi, yang pasti, posisi Washington juga belum 100 persen aman. Tuduhan korupsi dan kolusi bisa menjerumuskan para investor Paiton ke jurang kerugian yang besar. Repotnya, kredibilitas pengadilan Indonesia masih dipertanyakan. Ini yang bisa membuat segala kongkalikong di Paiton akan tertutup rapat, dan biayanya harus kita bayar dengan sangat mahal…. M. Taufiqurohman, Dewi Rina, Iwan Setiawan, dan Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus