SUDAH empat bulan laporan dahsyat itu tenggelam di meja presiden. Pemerintahan Habibie agaknya sungkan memproses hasil pemeriksaan khusus Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas Paiton I itu. Padahal, temuan lembaga pemeriksa keuangan pemerintah ini sungguh mengejutkan. Investigasi terhadap proyek listrik swasta di Situbondo, Jawa Timur, itu mengungkap keterlibatan sejumlah pejabat tinggi, mulai (bekas) Presiden Soeharto sampai para menteri. Kesimpulannya pendek tapi penting: BPKP yakin proyek senilai US$ 2,5 miliar itu sarat korupsi.
Laporan penting itu sedianya dijadikan senjata PLN melawan PT Paiton Energy Corporation, pemilik Paiton I, di pengadilan. Pertengahan Desember lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerbitkan keputusan sela yang menetapkan PN Jakarta Pusat berhak mengadili gugatan PLN terhadap Paiton I. Tapi, belum lagi perkara pokoknya digelar, pemerintahan Gus Dur buru-buru menarik gugatan itu, pekan lalu. "Kita akan menempuh cara-cara di luar pengadilan," kata Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie. Alasannya, pendekatan hukum lebih banyak merugikan, terutama karena akan memadamkan gairah investasi asing di Indonesia. Menurut pemerintah, kasus ini lebih menguntungkan jika diselesaikan dengan jalan damai, lewat meja perundingan.
Tapi keputusan yang membuat mundur Adhi Satriya dan Hardiv Situmeang dari jajaran direksi PLN itu ternyata cuma berumur tiga hari. Tanpa meralat keputusan sebelumnya, Kamis lalu, Menteri Kwik menyatakan, sembari berunding, pemerintah akan menggugat Paiton I ke pengadilan pidana. "Karena proyek ini mengandung korupsi, kolusi, dan nepotisme," katanya.
Benarkah ada korupsi di Paiton I? Disimak dari laporan BPKP, unsur-unsur penyelewengan tampak jelas sejak pemerintah mengizinkan swasta memasuki bisnis listrik. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 37/1992 itu, menurut BPKP, setidaknya melanggar tiga undang-undang serta satu peraturan pemerintah tentang ketenagalistrikan, penanaman modal asing, dan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebelum keppres dahsyat itu terbit, Indonesia mengharamkan perusahaan asing berbisnis listrik besar-besaran (kecuali kalau cuma menyewakan genset untuk tahlilan). Tapi Soeharto kemudian memandulkan larangan empat peraturan yang lebih tinggi itu hanya dengan sebuah keppres.
Dengan start mencong seperti itu, sulit mengharapkan proyek listrik swasta jadi lempeng. Sejarah mencatat, proyek pabrik setrum yang dibangun swasta penuh dengan intervensi, lobi-lobi, bagi-bagi saham kosong, budaya minta petunjuk, dan sejenisnya. Dalam kasus Paiton, campur tangan tidak cuma datang dari Soeharto, tapi juga dari para pejabat di bawahnya.
Dalam penentuan harga jual, misalnya. Pada awalnya, perundingan berjalan alot. Pemerintah ogah dengan penawaran harga Paiton yang US$ 0,0998 per kilowatt jam (kWh). Tapi tiba-tiba muncul surat sakti dari Menteri Pertambangan dan Energi (ketika itu) Ginandjar Kartasasmita pada 18 Februari 1993. Intinya, pemerintah setuju dengan kesepakatan kedua pihak (PLN dan Paiton). Padahal, tim negosiasi masih ngotot-ngototan soal harga jual listrik, dasar penentuan harga jual, serta biaya operasi dan pemeliharaan.
Tim negosiasi PLN yang dipimpin Ermansyah Jamin mau tak mau harus menerima keputusan pemerintah. Apalagi, tak lama kemudian, Hashim Djojohadikusumo, pemilik PT Batu Hitam Perkasa, pemegang saham Paiton I, mengirimkan surat kepada mertua-kakaknya, Presiden Soeharto, untuk melaporkan perkembangan proyek sekaligus mengajukan harga baru. Eh, tak lama kemudian, tim negosiasi mengajukan usulan harga yang ternyata sama persis dengan yang diusulkan Hashim.
Negosiasi yang semula alot langsung meluncur mulus. Jatuhlah putusan harga jual listrik Paiton I sebesar US$ 0,0856 per kWh. Patokan harga ini berlaku untuk enam tahun pertama, dan selanjutnya secara bertahap terus menurun pada tahun-tahun berikutnya. Bagaimana angka-angka ini ditetapkan? Tampaknya, perhitungan harga ini didasarkan atas perhitungan nilai investasi proyek listrik bertenaga batu bara itu, US$ 2,5 miliar.
Tak jelas betul bagaimana proyek listrik 1.230 MW itu nilainya sedemikian tinggi. Soalnya, di Taiwan, nilai proyek sebuah pembangkit batu bara yang sama, dengan kapasitas 1.320 MW (lebih tinggi dari Paiton), cuma US$ 752 juta, tak sampai sepertiga dari nilai Paiton. Proyek yang dinamai pembangkit Ho-Ping itu dibangun oleh Alstom Energy sejak tiga tahun lalu.
Lalu, mengapa Paiton luar biasa mahal? Jika ditelusuri, jawabannya ternyata gampang: proyek ini mengandung korupsi sepanjang hayatnya. Laporan BPKP antara lain menyebutkan ada sejumlah pengeluaran "aneh" yang semestinya tidak dibebankan pada rekening Paiton I. Misalnya, ada pos development cost yang nilainya US$ 22 juta. "Kami menduga PT Paiton Energy Corp. melakukan penggelapan informasi atas biaya yang berkaitan dengan suap," demikian menurut BPKP.
Paiton Energy juga dinilai mencoba mengaburkan biaya proyek yang sebenarnya. Caranya? Paiton memindahkan lokasi proyek sehingga, untuk keperluan itu, harus membangun pipa sambungan untuk mencapai sea water scrubber (pencegah pencemaran) yang biayanya sekitar US$ 150 juta. Tapi, setelah itu, Paiton I kembali ke lokasi semula, dengan catatan: ongkos pipa itu tetap dihitung. Bukan cuma itu. Berdasarkan penelitian konsultan independen, Lahmeyer International, Paiton I melakukan pelbagai kecurangan dengan membuat pembukuan ganda senilai US$ 157 juta lebih. Selain itu, ada juga biaya di atas harga normal sampai US$ 142 juta lebih.
Ongkos lain yang membuat investasi Paiton menjulang adalah biaya pembangunan fasilitas pencegah pencemaran dan pelabuhan. Kepada TEMPO, sumber yang dekat dengan Paiton Energy mengatakan nilai pembangunan fasilitas itu US$ 400 juta. Dalam suratnya kepada Soeharto, Juli 1993, Hashim antara lain menulis, biaya untuk membangun dua sarana umum itu cuma US$ 127 juta. Tapi, dalam perjanjian dengan PLN, disebutkan bahwa biaya pemeliharaan fasilitas itu mencapai US$ 64 juta setahun, padahal kesepakatan sebelumnya cuma US$ 47 juta. Artinya, Paiton "mencatut" US$ 17 juta (Rp 100 miliar lebih) setiap tahun.
Yang paling parah adalah harga batu bara, bahan baku utama pembangkit listrik tenaga uap seperti Paiton. Dalam Proyek Paiton, kebutuhan batu bara dipasok dari PT Adaro, yang sekitar 40 persen sahamnya dimiliki Hashim. Nah, dalam perjanjian, harga batu bara ditetapkan US$ 39,72 per ton. Padahal, di pasar internasional, harganya cuma US$ 22-24 per ton. Lucunya, pembangkit listrik milik PLN yang juga membeli batu bara dari PT Adaro cuma membayar Rp 173.800 atau sekitar US$ 23 per ton, hampir separuh lebih murah dari yang dibeli Paiton.
Hashim mengisap Paiton lewat batu bara? Boleh jadi. Menurut laporan BPKP, kerugian akibat "mark-up" harga batu bara ini mencapai Rp 40,5 miliar setiap tahun. Tapi, menurut Jannus Hutapea, juru bicara Hashim dan kelompok usaha Tirtamas, pembelian batu bara dari Adaro itu dilakukan karena, "Hanya Adaro perusahaan yang mampu menyediakan batu bara 4,3 juta ton setahun."
Benar atau tidak, yang pasti, dengan pelbagai trik itu, biaya investasi Paiton I membengkak dahsyat, sampai tiga kali lipat investasi yang wajar. Karena itu, wajar pula jika PLN tak mau mundur dari tuntutan agar Paiton I mengoreksi biaya investasinya supaya harga jual listriknya juga turun. Tapi rupanya pemerintah bersikap lain—sehingga gugatan PLN yang sudah berjalan malah distop.
Apakah dengan demikian bau korupsi di Paiton akan dipetieskan? Mudah-mudahan saja tidak. Harapan agar kekusutan kasus ini terbongkar tetap terbuka karena Menteri Kwik berniat membawanya ke pengadilan pidana. Tapi, celakanya, Jaksa Agung Marzuki Darusman mengaku sejauh ini belum mendapatkan perintah dari Gus Dur untuk menyidik kasus ini. Untunglah Jaksa Agung punya inisiatif. Dia mengaku, walaupun belum mendapat perintah, Kejaksaan Agung sudah mulai mengumpulkan bahan.
Mudah-mudahan saja Marzuki tidak cuma berhenti sampai mengumpulkan bahan. Ia juga harus segera merespons rekomendasi BPKP. Di akhir laporannya, lembaga pemerintah itu menyarankan agar Soeharto dan sejumlah menterinya, seperti Ginandjar Kartasasmita, Ida Bagus Sujana, J.B. Sumarlin, dan Sanyoto Sastrowardoyo, diperiksa.
Beranikah Marzuki?
M. Taufiqurohman dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini