Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Eksplorasi Geliat Tubuh

Koreografer Yogyakarta, Sutopo dan Bimo, mementaskan karyanya di Teater Utan Kayu. Maria Sachiko Ito, wanita Jepang, menjadi bintang.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RITUAL TUBUH
Koreografer:Sutopo Tejabaskoro & Bimo Wiwohatmo
Tempat:Teater Utan Kayu
DALAM keremangan, tiga orang pria meliuk-liukkan tubuhnya. Mereka megap-megap menggapai udara seperti ada sesuatu yang tengah dicari dengan gerak yang lamban. Terasa monoton. Namun, tiba-tiba, dari arah penonton, sesosok tubuh kuning bersih menyeruak dan berjalan lamban menerjang tiga orang pria itu. Dengan bertelanjang dada, ia menarikan sebuah gerak yang luwes. Rok putih yang sangat panjang dan lebar membalut tubuhnya yang mungil itu, yang bergerak, berputar, dan menggeliat. Ia tengah menebarkan sebuah pesona. Geraknya begitu indah. Saat wanita itu diangkat tiga penari yang tersembunyi di dalam roknya, yang terjadi adalah sebuah transformasi penuh keanggunan dari segala keindahan yang tertebar.

Plastik karya Bimo ini adalah komposisi paling memikat dibandingkan dengan lima komposisi lainnya—Sutopo dengan dua komposisi dan Bimo empat komposisi. Komposisi yang berkisah tentang hilangnya sifat alami setangkai bunga yang kemudian berubah menjadi alat penyegar itu dipentaskan dengan menakjubkan. Keistimewaannya terletak pada penampilan wanita yang berhasil menyuguhkan sebuah gerak yang elok. Tubuhnya mampu berbicara. Dia menjulur melayang dengan tangannya yang gemulai menyapa. Komposisi dan desain gerak ini tampaknya diciptakan khusus untuk wanita itu.

Sang "penari" ternyata bukanlah seorang penari. Dia hanya seorang pekerja lepas di Chiba, Jepang, yang sesungguhnya tidak terbiasa berlenggak-lenggok. Namun, kemunculan Maria Sachiko Ito, nama sang penari, di panggung mampu mengalahkan semua penari pria. Menurut pengamat tari dan perupa Danarto, Maria Sachiko memiliki aura seorang penari. Merupakan karunia yang dibekalkan sejak lahir, aura penari itu tidak bakal hilang kecuali pemiliknya meninggal. Malam itu, Maria menjadi Dewi Amaterasu yang sedang melanglang buana.

Komposisi ini, bagi Danarto, memberikan sebuah pemahaman baru tentang sebuah tarian bagi khazanah seni tari yang selama ini menabukan dada yang terbuka. Suatu pembaruan telah terjadi. Dan Maria yang datang nun jauh dari utara itu telah melakukannya.

Secara umum, keseluruhan komposisi yang ditampilkan menyajikan sebuah perenungan persoalan kehidupan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Tarian pertama, diberi tajuk Kemelut, karya Sutopo Tejabaskoro, misalnya, menyajikan sebuah lingkaran kemelut yang membelit manusia sehingga mereka terbiasa dengan keadaan itu dan melenyapkan kemanusiaan di antara mereka.

Komposisi ini dipentaskan empat penari pria yang menari dengan gerak yang lamban. Ayunan langkahnya serempak. Keempatnya saling tempel di bawah siraman cahaya temaram. Dengan berkostum cawat yang tertimpa sinar tata lampu yang memberat, seluruhnya menggambarkan ketidakpastian.

Komposisi lainnya, Reaksi, yang dipentaskan dua pria dengan garis-garis yang energetik, tak mampu mengangkat pertunjukan. Padahal, mereka meliuk dan menggebrak dengan semangat melipat tubuh dalam desain yang menarik. Demikian pula dengan Ah, yang dipertunjukkan oleh empat penari pria.

Pada komposisi terakhir, Layar Tancap, Bimo menghadirkan tujuh penari pria yang diikuti pemutaran piringan laser Baraka yang kontemplatif di layar yang terletak di belakang para penarinya. Laser ini kumpulan dari mutiara budaya sejagat: kera Nepal yang mandi di kolam air panas, tari cak Bali, Grand Canyon, relief Borobudur, upacara tarian sebuah suku di Afrika, dan masih banyak lagi. Agaknya, gambar hidup di layar lebih menarik karena gerak para penari itu tak terasa elok. Komposisi yang merupakan renungan terhadap alam dan lingkungan ditampilkan dengan gerak yang hampir tak menampakkan perubahan. Namun, dalam kostum sarung batik bertelanjang dada, agaknya, oleh koreografer, mereka dibiarkan bergerak bebas.

Lima di antara enam komposisi tari itu tampak kurang gereget. Agaknya, jeda waktu yang pendek membuat para penari kehabisan napas. Stamina terasa menurun—atau barangkali semua tercerap pesona yang ditampilkan Maria, sripanggung malam itu, yang tampil hanya sesaat.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus