Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cendana, Itu Soalnya

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA menyelesaikan "sengatan" kontrak listrik swasta yang maha-mahal itu? Pakai cara bekas Dirut PLN Adhi Satriya lewat jalur pengadilan? Atau, pakai gaya Presiden Gus Dur yang mengupayakan "rembukan ulang" antarnegara? Dua-duanya punya untung dan rugi. Dengan gaya Gus Dur, wajah Indonesia bisa terjaga tetap manis sebagai negara yang menghormati kontrak dengan asing. Banyak pihak yang lebih suka jalur ini. "Lebih menguntungkan," kata Rinaldy, pengamat kelistrikan yang Direktur Lembaga Penelitian Energi. Si asing pun tidak kehilangan gengsi—dan [sialnya] tetap menikmati untung besar hasil "main mata" dengan Orde Baru yang korup. Jurus ini bisa mengelakkan Indonesia dari kemungkinan boikot aliran utang dari negara maju lewat IMF, ADB, atau World Bank. Untuk negeri yang hidup dari utang, tentu urusan jadi lebih aman—meskipun utang makin berat. Dan, apa boleh buat, Indonesia harus rela melihat cukong asing—juga mitra Indonesianya yang korup—duduk kipas-kipas menikmati rezeki proyek listrik yang digembungkan. Singkatnya, banyak pihak akan turut kebagian kue. Dan rakyat akan kebagian kue hangus. Masalahnya, masih ada 26 proyek listrik swasta seperti Paiton I. Umumnya mereka punya potensi konflik yang sama dengan Paiton: mematok harga kelewat tinggi, rata-rata 30 persen lebih tinggi ketimbang harga internasional. Bila Paiton terus, tentu 26 lainnya minta terus, dan itu artinya pemerintah harus bayar US$ 4 miliar (setara Rp 28,8 triliun dengan kurs Rp 7.200 per dolar AS) tiap tahun. Artinya, lupakanlah subsidi listrik untuk rakyat, semua dana pemerintah akan habis untuk si asing dan konco Indonesianya. Apa yang tersisa untuk rakyat: ada, ya, itu tadi, kue hangus. Inilah yang membuat Dirut PLN Adhi Satriya dan Direktur Perencanaan PLN Hardiv Situmeang lebih menyukai jalur hukum untuk Paiton. Sebab, sekali pintu perundingan dengan embel-embel untuk beli (buy out) dibuka, 26 proyek listrik swasta lainnya akan minta perlakuan sama. Apalagi, pemerintah sudah menegaskan akan membeli sebagian Paiton I. Endro Utomo Notosoerjo, Komisaris Utama PLN, mengakui bahwa buy out adalah langkah pahit. "Tapi, tolong, dudukkan ini pada kepentingan nasional yang lebih luas," kata Endro. Bisa dibayangkan bila semua proyek dibeli seluruhnya atau sebagian oleh pemerintah. Semua beban utang pemilik proyek secara otomatis akan jadi tanggungan pemerintah. "Ini sama saja dengan membangunkan macan tidur," kata sumber TEMPO. Selain itu, negara dipaksa mengelola listrik dengan kapasitas yang melimpah. Sebab, seluruh proyek listrik swasta dirancang pada saat Indonesia sedang dalam kondisi "segar-bugar". Tingkat pertumbuhan ekonomi waktu itu rata-rata 7 persen per tahun dan ekspansi industri masih bersinar-sinar. Kini, setelah krisis menggebrak, pasti proyeksi kebutuhan listrik jauh merosot. Ketimbang membiarkan 27 macan bangun, PLN lebih memilih jalur hukum. Satu setengah tahun terakhir, PLN tahu persis bagaimana alotnya berunding dengan para juragan setrum. Belasan kali pertemuan selalu mentok. Maklum, secara legal, semua dokumen perjanjian sah. Tak ketinggalan, beking politik selalu turut memeriahkan perundingan. Belakangan tersiar kabar Presiden Bill Clinton menitip pesan khusus, "Supaya proyek Paiton diselesaikan dengan baik." Akibatnya, perundingan jadi berlarut-larut dan menyulut frustrasi. Nah, di tengah rasa frustrasi, PLN akhirnya memilih jalur hukum. Gugatan dilayangkan kepada Paiton melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut Maqdir Ismail, kuasa hukum PLN, yang akan disorot di pengadilan adalah keabsahan perjanjian. Isi perjanjian yang bertentangan dengan moral—seperti membebani rakyat—bisa dibatalkan. Beberapa temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya tekanan Soeharto dalam proyek Paiton. "Ini bisa jadi klausul pembatalan," kata Maqdir, yang sejauh ini belum menerima instruksi pemerintah untuk mencabut gugatan. Namun, menurut pengacara Luhut Pangaribuan, jalur hukum yang telah ditempuh PLN punya celah. Pemerintah, "memilih jalur hukum, tapi tidak konsisten," kata Luhut, yang merasa bau kolusi di balik Paiton sudah tajam. Tetapi, posisi PLN di mata hukum tetap sulit karena pemerintah belum mengadili si koruptor yang bercokol di balik listrik swasta ini. Sepanjang sang koruptor belum divonis bersalah, semua jurus di pengadilan akan sia-sia. Jika urusan pidana korupsi disidangkan, barulah urusan perdata antara pemerintah dan mitra asing listrik swasta mungkin digelindingkan. Adhi Satriya dan Gus Dur sesungguhnya tidak perlu pakai cara berbeda jika pemerintah mau menyidangkan sosok di balik segepok kontrak listrik swasta: Soeharto dan Keluarga Cendana. Mardiyah Chamim, Adi Prasetya, Andari Karina, Dewi Rina, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus