HANYA 4.000 km di barat daya Hawaii, atau 4.900 km sebelah timur
laut Darwin, terhampar pulau-pulau karang Bikini dan Eniwetok,
setengah melingkar, di Kepulauan Marshall, Mikronesia. Marshall
terdiri atas 29 pulau karang dan lima pulau biasa. Dalam
perjalanan sejarah, kepulauan ini lebih banyak terlupakan,
senyap dalam lintasan tahun dan abad, lalu sirna dari ingatan.
Pada hari Minggu 29 Februari 1946, sebuah pesawat terbang
catalina mendarat di salah satu teluk di Kepulauan Marshall,
tepatnya di depan pantai Bikini. Pesawat itu membawa Komodor Ben
Wyatt, gubernur militer Amerika Serikat untuk Kepulauan
Marshall. Ia datang untuk meletakkan tonggak baru dalam sejarah
Kepulauan Marshall.
Kepada pribumi yang baru saja selesai melaksanakan kebaktian di
gereja, komodor itu mengajukan tawaran yang luar biasa. Ia
meminta mereka meninggalkan kampung halaman, karena Amerika
Serikat akan melakukan percobaan bom nuklir di situ. Kepada
penduduk yang taat beragama itu Wyatt mengutipkan bagian dari
Kitab Exodus, Perjanjian Lama: " . . . bahwa anak-anak Israel
telah diselamatkan Tuhan, dan dipimpin menuju tanah yang
dijanjikan." Wyatt menambahkan, "bom ini telah menumpas musuh
kita, dan para ilmuwan Amerika kini mencoba menggunakannya untuk
hajat kemanusiaan, seraya mengakhiri semua perang."
Mikronesia dikuasai Amerika melalui salah satu pertempuran
paling berdarah dalam Perang Dunia II. Sebelumnya, Jepang
merampas kepulauan itu dari tangan Jerman.
Setelah perang usai PBB membentuk sebelas perwalian di seluruh
dunia. Dan Mikronesia, yang dipercayakan kepada Amerika Serikat,
merupakan satu-satunya 'perwalian strategis'.
Amerika diberi kesempatan menguasai kepulauan itu untuk 34
tahun. Perubahan-perubahan di dalam perjanjian ini hanya bisa
dicapai melalui Dewan Keamanan PBB, dan Arnerika Serikat
memiliki hak veto. Majelis Umum PBB, yang dalam perkembangannya
semakin antikolonial, tidak banyak menentukan dalam hal ini.
Dewan Perwalian PBB secara teoritis mengawasi Kepulauan
Mikronesia. Tetapi, dalam kenyataannya, mereka tidak memiliki
otoritas yang berarti. Tatkala Perwalian diserahkan kepada
Amerika Serikat, 1947, Washington setuju untuk "memajukan
pertumbuhan ekonomi dan kecukupan penduduk asli, mengatur
penggunaan sumber alam, memajukan usaha perikanan, pertanian,
dan industri."
Amerika Serikat juga berjanji "melindungi penduduk dari
kehilangan sumber alam mereka, mempertumbuhkan transportasi dan
komunikasi, memajukan kehidupan sosial, melindungi kemerdekaan
asasi dan hak penduduk tanpa perbedaan serta melindungi
kesehatan mereka." Kelak, persetujuan dan janji ini patut
dipertanyakan pelaksanaannya.
Dengan hak perwaliannya itulah Amerika Serikat dibenarkan
menempatkan pangkalan militernya di seluruh Mikronesia. Dari
pangkalan-pangkalan ini Amerika mengawasi Cina dan Rusia, dan
secara elektronis memonitor pangkalan-pangkalan Soviet di Asia.
Mikronesia mempunyai jumlah keluasan delapan juta km2, sebagaian
besar samudra. Banyak di antara 2.140 pulau yang membentuk
kepulauan ini tidak lebih besardari lapangan cricket. Di
kepulauan ini tinggal 116.662 orang Mikronesia, beberapa ribu
orang Amerika, dan sebuah birokrasi yang mempergunakan 60% dana
untuk mengurus 40% sisanya.
Syahdan pada 16 Juli 1945, Amerika Serikat meledakkan bom atom
yang pertama di dunia, di Alamogordo, New Mexico. Pada 6 dan 9
Agustus 1945 dua pesawat bomber B-29 tinggal landas dari Tinian,
Mikronesia. Kedua pesawat ini bertolak menuju bencana yang tiada
taranya. Di dalam perut pesawat tergolek bom atom yang akan
dilemparkan di Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Bom pertama jatuh di Hiroshima, dan dalam dua menit membunuh 60
ribu manusia. Bom kedua menghajar Nagasaki dan menamatkan 40
ribu jiwa. Jepang bertekuk lutut, Perang Dunia II menutup
layarnya, dan sebuah senjata pembunuh baru diperkenalkan di
pentas adu kekuatan dunia.
Sejak bertahun-tahun Amerika Serikat mencari tempat yang cocok
untuk percobaan lanjutan senjata dahsyat ini. Akhirnya pilihan
jatuh pada Bikini. Kepulauan ini tampaknya memenuhi syarat. Arah
angin berembus menuju Pasifik yang langka dari permukiman,
terdapat pelabuhan berair dalam yang bagus untuk kapal perang
dan riset, jauh dari jalur pelayaran dan penerbangan, jauh dari
pusat permukiman warga negara Amerika Serikat. Dan yang termasuk
penting, pribuminya sedikit, dan lemah secara politis. Kepada
penduduk semacam itulah Komodor Ben Wyatt mengajukan pertanyaan,
"Sudikah kalian meninggalkan pulau ini demi kesejahteraan umat
manusia?"
Penduduk meminta waktu untuk berunding. Kemudian mereka
menyampaikan keputusan melalui ketuanya, Juda Kessibuki. "Jika
pemerintah Amerika Serikat dan para ilmuwan dari seluruh dunia
ingin menggunakan kediaman kami ini demi kemajuan pembangunan,
demi kemaslahatan dan keuntungan umat manusia, kami secara suka
rela akan pindah ke tempat lain," ujar Juda. Hanya beberapa
penduduk yang merasa tidak senang akan keputusan itu.
Penduduk Bikini kemudian dipersilakan memilih tiga pulau. Dua di
antaranya sudah berpenghuni. Karena itu mereka memilih Pulau
Rongerik yang kosong, 225 km dari Bikini arah ke timur, dan
berdekatan dengan Pulau Rongelap, yang mempunyai ikatan
tradisional dengan Bikini.
Setelah menjatuhkan pilihan, mereka melakukan kebaktian terakhir
di gereja dusun, kemudian menyelenggarakan upacara perpisahan
dengan arwah nenek moyang. Wartawan dari seluruh penjuru dunia
datang meliput upacara yang luar biasa itu. Kemudian penduduk
mulai dipindahkan. Operasi Crossroads pun mulai ....
Kesatuan-kesatuan militer segera bergerak secepat kilat.
Meliputi 250 kapal, 150 pesawat terbang, dan 42 ribu personil
tentara, ilmuwan, dan tenaga teknis. Mereka semua dikerahkan
untuk peledakan bom atom 'perdamaian' yang pertama, yang diberi
nama sandi Able dan Baker.
Masing-masing bom itu diledakkan pada Juni dan Juli 1946. Able
dijatuhkan dari pesawat B-29, dan melenceng 304 meter dari
sasaran. Baker lebih jitu, dan meninggalkan 500 ribu ton lumpur
beradio aktif. "Sementara itu di Rongerik, para pengungsi dari
Bikini hidup dalam kesengsaraan," kata Ingrid Strewe dalam
laporannya di majalah Geo, Mei 1982.
Sebagian besar ikan yang terdapat di dalam danau asin Rongerik
keracunan. Mitologi Bikini membandingkan kelakuan Amerika ini
sebagai tindakan setan. Mereka tadinya menyangka, pulau kampung
halaman mereka itu sekadar digunakan untuk waktu singkat.
Setelah dua bulan berlalu mereka meminta izin kembali ke Bikini.
Sudah tentu permohonan itu ditolak.
Pada musim dingin tahun itu mereka mulai kelaparan, sementara
Angkatan Laut Amerika Serikat meyakinkan dunia bahwa penduduk
Bikini sehat wal afiat adanya. Untunglah, penduduk Pulau
Rongelap baik hati mengantarkan makanan kepada saudara-saudara
mereka di Rongerik itu. Kalau tidak, ini mati tak makan.
Beberapa bulan sekali, konvoi kano dari Rongelap
beriring-iringan ke Rongerik, mengantarkan bantuan makanan apa
adanya.
Pada bulan Maret 1948, mereka kadang-kadang pergi ke kota tenda
di Pulau Kwajalein. Di sini terdapat pangkalan militer Amerika
Serikat. Para pemimpin Rongerik mencoba mencari permukiman yang
lebih baik.
Akhirnya orang-orang eks Bikini itu mulai mendirikan bangunan di
Pulau Karang Ujelang. Ketika Eniwetok dibutuhkan untuk percobaan
bom atom, 1948, Amerika memindahkan penduduk pulau ini ke
Ujelang. Orang-orang eks Bikini itu pindah lagi ke Kili, 643 km
lebih ke selatan.
Kili merupakan pulau kedua terakhir yang diduduki manusia dalam
lingkungan Kepulauan Marshall. Sejak Perang Dunia II pulau ini
berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, sehingga luput dari
pengawasan Iroij -- pemimpin tertinggi Bikini. Dengan pindah ke
Kili, penduduk eks Bikini itu secara tidak langsung menyatakan
ingkar terhadap pemimpin suku mereka, yang mereka nilai gagal
memberikan perlindungan dan petunjuk kepada kawulanya. "Hingga
sekarang mereka tidak menghormati kepala suku itu," tulis Ingrid
Strewe.
Di Pulau Kili terdapat bekas perkebunan kelapa. Pulau ini subur,
tetapi luasnya tak seberapa. Kili hanya seperenam Bikini dan
tidak punya danau asin tempat orang bisa mencari ikan. Enam
bulan dalam setahun orang terkurung di pulau ini. Tidak bisa
berlayar ke luar, karena ombak dan badai yang menghempas dari
laut terbuka.
Dalam waktu singkat sudah susah mencari makanan di Kili. Menjadi
petani tidaklah semudah yang dibayangkan orang-orang Bikini itu.
Mereka segera digoda rasa rindu pada kampung halaman. Di dinding
Yacht Club Maluro, tempat yang lebih banyak digunakan untuk
minum-minum ketimbang membicarakan olah raga layar, terdapat
sebuah lukisan Kili. Di atasnya tercantum katakata: "Penderitaan
kami bisa disamakan dengan anak-anak Israel. Mereka keluar dari
Mesir dan mengembara di padang gurun selama 40 tahun. Kami
keluar dari Bikini dan mengembara di lautan selama 32 tahun,
tanpa pernah mencapai negeri yang dijanjikan." Kata-kata ini
dikutip dari ucapan Tomaki Juda, salah seorang pemuka Bikini, di
depan suatu perutusan Kongres AS.
Perpindahan penduduk Eniwetok ke Ujelang mempunyai riwayat
tersendiri. Pada 1944, tentara Amerika mengusir serdadu Jepang
dari pulau itu. Orang-orang Amerika yang kemudian bermarkas di
situ menganugerahkan kepada penduduk pakaian, makanan, dan
permen karet. Semuanya gratis.
Tetapi dua tahun kemudian bulan madu itu usai. Pejabat-pejabat
Washington mengumumkan, Eniwetok akan digunakan untuk
serangkaian percobaan bom nuklir. Penduduk asli harus
menyingkir.
Orang-orang Amerika itu menawarkan sebuah pulau lain kepada
pribumi Eniwetok, "demi tujuan yang sangat penting." Tidak lama
kemudian datanglah kapal-kapal pendarat untuk mengangkut
penduduk, sekalian membawa bulldozer. Sebelum meninggalkan
Eniwetok, para pribumi itu sempat menyaksikan rumah mereka
digusur rata dengan tanah.
Johannej, salah seorang pemuka Eniwetok, diajak untuk
melihat-lihat pulau baru, tempat mereka akan dimukimkan kembali.
"Jahanam, ini bukan pulau baru sama sekali," kata Johannej
bersungut. "Ini adalah Ujelang! " Ujelang hanya seperempat luas
Eniwetok. Danau asinnya cuma 65 km2, dibandingkan dengan
Eniwetok yang punya 1.010 km2 danau asin.
Keheranan Johannej, tak habis-habisnya. "Kami tidak tahu apa
sesungguhnya yang terjadi," katanya kelak. "Kami tidak mengerti
mengapa mereka meminta Eniwetok. Bahkan kami tidak tahu apa-apa
tentang yang dinamakan percobaan itu."
Namun rencana yang sudah disusun berjalan terus. "Amerika
Serikat meledakkan tidak kurang dari 43 bom nuklir di Eniwetok
dan sekitarnya," tulis Ingrid Strewe. Pada April 1948,
dimulailah Operasi Sandstone. Dalam "serial" percobaan ini
Amerika meledakkan X-Ray (14 April), Yoke (30 April), dan Zebra
(14 Mei). Pada 1950 mereka meledakkan Dog (7 April), Easy (20
April), George (8 Mei), dan Item (24 Mei).
Pada 1952, Amerika Serikat melancarkan Operasi Ivy. Dalam
operasi ini mereka untuk pertama kalinya meledakkan bom
termonuklir, dengan nama sandi Mike. Dengan kekuatan yang
diperkirakan 10,4 megaton, Mike menyapu Pulau Elujelap, dan
meninggalkan kepundan dengan diameter 1,6 km. Awan cendawan
menjulang 39.624 meter ke angkasa, hanya dalam 15 menit.
Berturut-turut pelbagai bom dicoba dan diledakkan di kawasan
ini. Pulau Lidilbut, yang oleh orang-orang Amerika dinamakan
Gene, hancur menjadi debu oleh bom Koa. Pada 1958 di Pulau
Runit, masih kawasan Eniwetok, diledakkan Cactus.
Lubang akibat ledakan Cactus, di ujung utara Pulau Runit,
kemudian digunakan untuk memendam buangan radio aktif, yaitu
tanah yang mengandung cesium, strontium, dan plutonium.
Dikumpulkan dari pulau-pulau di sekitarnya, tanah itu kemudian
dicampur dengan semen supaya mudah membeku. Untuk menutupi
lubang dengan kandungan yang sangat berbahaya itu, orang-orang
Amerika membangun kubah raksasa dengan ketebalan setengah meter.
Kubah ini meliputi areal seluas 10.200 m2.
Ratusan ribu karung semen dihabiskan untuk mengamankan buangan
radio aktif ini. Bangunan itu juga diharapkan tahan menghadapi
gempa bumi. Konon dua fisikawan Amerika pernah bertaruh tentang
kekuatan bangunan pelindung sampah radio aktif ini.
Tetapi bukan simpanan ini melulu yang membuat Pulau Runit terasa
menegangkan. Dua bom nuklir, masing-masing dengan nama sandi
Quince dan Fiq, pernah gagal meledak dan menyebarkan Plutonium
237 di sekujur ujung utara pulau itu. Kegagalan ini
diperhitungkan mempunyai akibat sampai 25 ribu tahun, bahkan
mungkin 50 ribu tahun. Dalam ukuran manusia, masa itu berarti
selama-lamanya. Sementara itu orang-orang Eniwetok yang terbuang
ke Ujelang, setelah hanya 29 tahun sudah kembali menetap di
Japtan, 10 km dari Pulau Runit.
Pada 1 Maret 1954, diledakkanlah bom hidrogen kedua di dunia,
dengan nama sandi Bravo. Nah, Bravo ini ternyata membawa
kesulitan dan penderitaan yang bukan alang-kepalang. Seribu kali
lebih kuat dari bom yang menghancurkan Hiroshima (bayangkan).
Bravo juga ternyata 2« kali lebih dahsyat dari perkiraan semula.
Dalam sekali pukul bom ini melenyapkan sekaligus dua pulau kecil
di sekitar Bikini dari peta bumi.
Hasil percobaan itu jauh di luar dugaan. Pada saat Bravo
meledak, mula-mula langit terang benderang luar biasa. Kemudian
tampak sebuah bola api melesat ke udara, dengan kecepatan 483 km
sejam. Dalam tempo sepuluh menit awan nuklir menjulang 34 km di
atas pulau-pulau karanB yang malang itu. Angin menghumbalang di
permukaan laut yang tadinya tenang. Tepat di pusatnya, angin itu
mempunyai kecepatan ratusan kilometer per jam.
Laporan yang diterima dari para prajurit yang bertugas mengamati
cuaca pada hari peledakan itu juga sangat mengejutkan. Menurut
laporan itu, "angin bertiup tepat ke arah kami, selama
berminggu-minggu. Kami memang berkewajiban memberikan keterangan
cuaca. Sebaliknya, kami harap, para komandan hendaknya juga
merasa berkewajiban meyakinkan diri mereka bahwa keadaan
betul-betul aman, sebelum melaksanakan suatu peledakan senjata
atom."
Meski demikian percobaan Bravo tidak dihentikan. Agaknya, para
pengambil keputusan berprinsip "sudah kepalang basah". Tentang
akibat yang di luar dugaan itu, pemerintah Amerika Serikat tidak
kehilangan akal mencari kilah. Arah angin memang bisa berubah
sewaktu-waktu, kata mereka, dan perubahan itu sulit juga
diperhitungkan.
Dari arah barat, angin itu mengantarkan awan radio aktif
setinggi 32 km ke Rongelap, yang terletak sejauh 161 km,
kemudian ke Rongerik dan Utirik, sejauh 434 km. Awan-awan radio
aktif yang berpencaran perlahan-lahan bisa ditemukan ribuan
kilometer dari pusat ledakan. Seperti yang diuraikan oleh Komisi
Energi Atom pada 1955, "terdapat radio aktif yang mengancam
semua kehidupan di wilayah ini, kendati pada saat peledakan itu
tempat percobaan sudah diamankan."
Debu radio aktif itu mengambang bagaikan tepung, melekat ke
segala benda. Debu membedaki manusia, tumbuhan, dan air, bahkan
masuk ke rumah-rumah. Anak-anak, yang tidak tahu akan mara
bahaya debu jahanam itu, membuatnya menjadi mainan. Seperti
dikisahkan Ny. Anjain, seorang penduduk Rongelap, "anak-anak itu
melekatkan debu ajaib tadi di rambut mereka, sama sekali tidak
mengerti akan bahayanya yang dahsyat."
Sejak itu 18 dan 19 anak menderita tumor thyroid atau penyakit
lain. Kalau sebelumnya penduduk asli itu lebih dulu diungsikan
sebelum kawasan permukimannya dijadikan ajang percobaan, kini
mereka bahkan tidak mendapat peringatan sama sekali.
Ketika Bravo diletupkan, anak lelaki Ny. Anjain baru berusia
setahun. Pada usia 19 tahun. anak itu meninggal oleh penyakit
myelogenous leukaemia. Pada usia 13 tahun anak itu pernah
dioperasi di Amerika Serikat. Ia sadar bahwa ia akhirnya akan
meninggal, dan ia mengamuk di rumah sakit.
Kebetulan, beberapa hari sebelum percobaan itu, dua pesawat
terbang Amerika berputar-putar di atas Rongelap. Penduduk
menyangka debu ajaib tadi tidak lain dari sekadar "insektisida"
yang disemprotkan pesawat terbang Amerika itu. Jadi mereka tidak
begitu terkejut, apalagi berjaga-jaga.
Kemudian terjadilah perkembangan yang menyedihkan. Pada mulanya
anak-anak jatuh sakit. Tetapi pada sorenya, hari itu juga, orang
dewasa mulai bertumbangan. Mereka menderita pusing kepala,
kulit, dan mata bagai terbakar, dan muntah-muntah.
Sebuah kapal dikirim untuk mengambil 28 orang tentara yang
ditempatkan sebagai petugas cuaca di Rongerik, sekalian sebagai
pengamat peledakan itu. Ketika debu radio aktif mulai
berjatuhan, jarum-jarum pada alat monitoring kapal bergetar
keras. Para awak segera mengenakan pakaian pelindung dan
menyuruk di lambung kapal. Kini baru diketahui, ke-28 serdadu
itu juga menanggung penyakit seperti yang diderita pribumi
pulau.
Para petugas yang dikirim ke Rongelap untuk memeriksa radiasi
itu segera melarang penduduk meminum air. Tetapi baru dua hari
kemudian kapal-kapal Armada ke-7 Amerika Serikat tiba untuk
mengungsikan penduduk Rongelap ke Kwajalein, pulau karang paling
besar dalam kelompok Kepulauan Marshall.
Para penduduk segera dianjurkan membasuh diri dengan air dan
sabun. Tindakan ini bukan saja ternyata gegabah, tetapi
menimbulkan penderitaan luar biasa. Kulit mereka terkelupas, dan
rambut berontokan dari tempurung kepala. Seminggu kemudian
tibalah rombongan dokter, sekadar untuk melakukan pemeriksaan
rutin.
Mereka menyelidiki keadaan darah dan melakukan tes radio-kimiawi
pada air seni. Hasilnya, penduduk didapati tercemar radiasi
dalam kadar berat. Padahal ketika itu pengetahuan untuk
menanggulangi akibat radiasi pada manusia masih sangat terbatas.
Sebaliknya, penduduk Kepulauan Marshall berpikir bahwa
orang-orang Amerika itu mengerti betul akan akibat perbuatan
mereka. Penduduk juga yakin bahwa tim yang dikirimkan
Laboratorium Nasional Brookhaven segera akan mengatasi segala
kesulitan. Mereka keliru. Tim ini hanya becus melakukan
penyelidikan, tak lebih tak kurang. Dua hingga tiga bulan
kemudian, orang-orang Rongelap pindah ke Pulau Karang Majuro,
dan tinggal di sana selama 3« tahun.
Setelah hujan radio aktif itu, angka keguguran dan kematian bayi
pada saat lahir naik dua kali lipat. Kini angka itu sudah
kembali normal. Selama sembilan tahun penduduk yang malang itu
terus diamati, dan selama itu pula tidak tampak perubahan yang
berarti. Sanak saudara mereka, yang kebetulan tidak berada di
Rongelap ketika ledakan maut itu terjadi, disertakan di
permukiman baru. Laboratorium Nasional Brookhaven memanfaatkan
mereka sebagai semacam bahan perbandingan.
Kini Pulau Rongelap sudah dibersihkan. Rumah-rumah lama
dimusnahkan, dan yang baru mulai dibangun. Hewan peliharaan dari
masa lampau juga sudah disingkirkan, digantikan dengan yang
"bersih". Pulau itu kemudian dinyatakan "sudah aman".
Orang-orang Rongelap dipersilakan menghuninya kembali.
Tetapi betulkah keadaan sudah benar-benar aman? Sebuah survei
medikal Jepang pada 1971 menyesalkan tindakan memukimkan kembali
penduduk di pulau itu, 1957. "Ini suatu kesalahan besar," kata
mereka. Muatan radio aktif pada tubuh sanak saudara, yang dulu
sehat walafiat itu, kini lebih berbahaya ketimbang penduduk lain
yang tidak tercemar. Rupanya, selama berkumpul di kawasan
penyelidikan, sanak saudara yang tadinya sehat itu tercemar oleh
lingkungan.
Ketika Bravo diledakkan, kapal ikan Jepang Lucky Dragon No. 5
sedang berada 129 km dari Bikini. Mereka juga tidak mendapat
peringatan apa-apa. Ketika tiba-tiba mereka melihat cahaya
terang benderang menjelang fajar, mereka menyangka "matahari
akan terbit dari barat". Tujuh menit kemudian, ombak dari
peledakan itu mengguncangkan kapal mereka. Orang-orang Jepang
itu segera bersiap-siap melarikan diri. Perang memang sudah
berakhir sepuluh tahun, tetapi mereka tetap dibayangi ketakutan
terhadap tentara Amerika.
Ternyata mereka kurang cepat. Kabut yang kelabu dalam waktu
singkat menyelimuti mereka. Nelayan-nelayan Jepang itu segera
mengalami terbakar pada kulit dan mata.
Ketika akhirnya mereka tiba di pelabuhan Yaizu, kampung halaman
mereka, rambut mereka mulai rontok. Mereka minta diperiksa di
rumah sakit Yauzu. Ternyata darah mereka tercemar berat. Tetapi,
ketika itu, mereka belum yakin betul sudah terkena radiasi.
Atas desakan pemilik kapal nelayan itu, dokter setempat mengirim
dua orang yang terparah ke klinik radiasi di Tokyo. Tetapi
seminggu sebelum keberangkatan, semua awak kapal nelayan itu
harus masuk rumah sakit. Hasil tangkapan mereka, 1.814 kg ikan
tuna yang sudah dilelang, dikumpulkan kembali untuk dikuburkan.
Namun untuk sejumlah orang tindakan itu sudah terlambat. Mereka
sempat memakan ikan beracun itu.
Peristiwa ini memukul industri perikanan Jepang. Para nelayan
itu menerima transfusi darah dan antibiotika. Kandungan
Strontium 90 di dalam struktur tulang mereka ternyata
menggagalkan pembentukan darah.
"Orang-orang Amerika itu tampaknya jijik memberi informasi
mengenai bom itu kepada para ilmuwan Jepang," tulis Ingrid
Strewe. Karena dokter-dokter Jepang tidak tahu persis sebab
musabab radiasi, mereka sulit memberikan terapi yang tepat.
Tetapi mungkin juga Amerika tidak memberitahu peledakan Bravo
karena masalahnya menyangkut urusan pertahanan -- dan dengan
sendirinya topsecret. Berminggu-minggu tenaga ahli Jepang
menyelidiki debu dan apa saja yang ditemukan pada kapal ikan
yang tercemar itu.
Untunglah usaha mereka berhasil lumayan. Mereka menemukan bahwa
Amerika menggunakan Plutonium 237. Ketika "rahasia" ini
terungkap, para nelayan yang tercemar itu sudah berkembang jauh.
Kuboyama, operator radio dengan dua anak perempuan, meninggal
oleh penyakit radiasi berat, setelah enam bulan sekarat. Dia
tercatat sebagai korban bom hidrogen yang pertama. Pemerintah
Amerika Serikat mengirimkan uang belasungkawa sebesar Rp 2
milyar.
Tiga hari setelah peledakan Bravo, penduduk Utirik, 442 km di
sebelah timur Bikini, diungsikan ke Kwajalein. Mereka
diperkirakan tidak kena radiasi berat, dan tiga bulan kemudian
dipulangkan ke Utirik. Baru pada 1977 diketahui, penduduk Utirik
menderita kanker thyroid sama parah dengan penduduk Rongelap.
Kini banyak di antara mereka yang mengeluh karena kerusakan
mata. Amerika Serikat tampaknya menemukan jalan keluar yang
sangat praktis. Penduduk pulau itu menerima kiriman dua peti
kaca mata. Tanpa pemeriksaan, setiap orang tinggal memilih kaca
mata yang cocok untuk dirinya masing-masing. "Sebuah pemecahan
yang unik untuk wabah katarak yang unik pula," tulis Ingrid
Strewe.
Percobaan bom di Bikini dan Eniwetok berhenti pada 1958. Pribumi
Bikini segera menyatakan keinginan untuk kembali ke kampung
halaman mereka. Sebuah survei radiologis dilancarkan, dan
sepuluh tahun kemudian beberapa keluarga mulai pulang. Pada 1970
sebuah keputusan diambil untuk menyerahkan Eniwetok kembali
kepada pribuminya. Survei radiologis yang lebih luas segera
dilancarkan.
Survei ini membuktikan, sisa radio aktif di Bikini masih cukup
tinggi untuk dapat dimonitor. Tingkat radio aktif yang bisa
ditenggang tubuh manusia, menurut para ilmuwan yang terlibat
survei tersebut, menurun dari hari ke hari. Tetapi, demi
keselamatan, mereka memutuskan untuk sekali lagi mengungsikan
penduduk Bikini.
Namun demikian hingga enam tahun masalah ini tetap menggantung.
Departemen Pertahanan dan Komisi Energi Atom Amerika Serikat
saling mempertanyakan siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab.
Mereka mempersoalkan biaya pengungsian penduduk. Akhirnya,
penduduk Bikini jadi juga pindah, kali ini ke Pulau Ejit.
Kwajalein lalu digunakan untuk tempat latihan dan sasaran. Dari
California, AS, rudal antarbenua (ICBM) ditembakkan ke pulau
ini. Amerika Serikat mendapatkan Kwajalein pada 1944. Setelah
Jepang kalah, para penduduk Kepulauan Marshall yang tadinya
berada di pulau ini dan mengabdi Jepang, tetap bertahan di sana
dan berganti tuan.
Kamp para pekerja ini kemudian dipindahkan dari Kwajalein ke
sebuah pulau kecil sejauh 5 kilometer. Dalam waktu sepuluh tahun
angka populasi di pulau seluas 27 hektar itu melesat dari 220
menjadi 1.000.
Sejak 1960 Kwajalein menjadi bagian sasaran Rudal Angkatan
Bersenjata AS. Di Ebeye, para penduduk sekitarnya berdatangan ke
Kwajalein untuk mencari pekerjaan. Peluru kendali pun mulai
berdatangan ke pulau iti. Komando Angkatan Bersenjata AS menyewa
Kwajalein untuk masa 99 tahun, dengan harga Rp. 500 ribu
pertahun untuk 0,4 hektar. Entah bagaimana kriteria sewa-menyewa
dengan ukuran luas seperti itu.
Perjanjian sewa ini surut, dihitung dari masa perang. Pemerintah
Amerika Serikat kemudian menambahkan Rp 40 ribu setiap bulan
untuk pribumi Mid Corridor, yang diungsikan ke Pulau Ebeye. Mid
Corridor adalah nama yang diberikan para serdadu Amerika itu
kepada dua pertiga kawasan Kwajalein, dan berhubungan dengan
pulau-pulau kecil yang digunakan dalam percobaan rudal.
Kini Ebeye berpenduduk 8.000 jiwa, terpencar di Areal seluas 21
hektar. Hingga 40 hidup bersama berdesakan di sebuah teratak
kumal berkamar satu. Banyak diantara penduduk yang tidak
mempunyai mata pencaharian. Mereka yang beruntung memperoleh
pekerjaan memakai sekeping kartu kuning berfoto, sekaligus
sebagai tanda pengenal untuk menumpang perahu bermotor yang
berangkat setiap pagi ke Kwajalein. Di sana mereka menyapu
jalan, membersihkan rumah dan membuangi sampah. Mereka belum
diizinkan minum-minum di club bahkan tidak dibenarkan berobat di
rumah sakit.
Kami sedang mengalami wabah gastroenteritis di Ebeye. Di sana
saya sedang bekerja waktu itu," kata William Vitarelli, Ph.D.,
dalam sebuah laporannya. Rumah sakit Ebeye kehabisan cairan
infus yang diperlukan untuk menyelamatkan
jiwa anak-anak Kepulauan Marshall. Vitarelli mengambil seoarang
anak perempuan yang keadaannya sangat parah, dan dengan sebuah
perahu kecil bermotor melarikannya ke Kwajalein.
Tetapi di lepas pantai Kwajalein, rombongan itu dihadang
prajurit Amerika. Dengan alasan apapun, mereka tidak
diperkenankan mendarat di pulau. "Anak itu meninggal dalam
perjalanan pulang ke Ebeye," tutur William Vitarelli. Empat anak
lainnya tewas dalam amukan wabah ini.
Kini, tampaknya keadaan sudah berubah banyak. Para penduduk
Kepualuan Marshall secara diam-diam sudah kembali ke pulaunya
masing-masing. Tidak kurang dari 12 tahun Amerika Serikat
menggunakan pulau-pulau itu untuk kepentingan percobaan senjata
mautnya. Sebagian besar penduduk pulau mengaku, mereka tidak
memperoleh duit segobang pun dari azab dan siksa yang mereka
tanggungkan.
Pada masa-masa ini Pemerintah Amerika Serikat memasuki negosiasi
baru untuk membicarakan perpanjangan penyewaan. Dalam hal
tertentu memang ada kenikmatan yang bisa dicicipi warga pulau.
Mereka kini boleh minum bir atau limun di club, dan tidak lagi
dicari bagai orang buruan bila ketahuan pergi meninggalkan
pulau.
Untuk warga Amerika yang bertugas di Kwajalein, hidup memang
santai dan penuh leha-leha. Ada kolam-kolam renang khusus untuk
mereka, atau lapangan baseball, tenis, maupun bangsal bowling.
Ada bar dengan pelayanan memuaskan. Ada restoran, bioskop,
berbagai klub, rumah dengan pengatur udara di tengah laut
tropis, taman-taman yang elok dan jenaka, bahkan lapangan golf.
Ada sekolah-sekolah kelas wahid untuk anak-anak mereka, rumah
sakit dengan fasilitas modern, bahkan pesawat terbang militer
yang dua kali seminggu mondar-mandir mengantarkan bahan makanan
prima ke supermarket khusus untuk warga pulau kelas satu itu.
"Sedangkan untuk penduduk Kepulauan Marshall sendiri, hidup di
kampung halaman itu hanyalah berisi kenang-kenangan akan
haru-biru peledakan bom-bom maut yang tidak mereka mengerti
ujung pangkalnya," tulis Ingrid Strewe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini