Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ladang bom di lautan teduh

Percobaan peledakan bom nuklir di pulau bikini dan eniwetok di kepulauan marshall pada tahun 1946 oleh Amerika Serikat. (sel)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA 4.000 km di barat daya Hawaii, atau 4.900 km sebelah timur laut Darwin, terhampar pulau-pulau karang Bikini dan Eniwetok, setengah melingkar, di Kepulauan Marshall, Mikronesia. Marshall terdiri atas 29 pulau karang dan lima pulau biasa. Dalam perjalanan sejarah, kepulauan ini lebih banyak terlupakan, senyap dalam lintasan tahun dan abad, lalu sirna dari ingatan. Pada hari Minggu 29 Februari 1946, sebuah pesawat terbang catalina mendarat di salah satu teluk di Kepulauan Marshall, tepatnya di depan pantai Bikini. Pesawat itu membawa Komodor Ben Wyatt, gubernur militer Amerika Serikat untuk Kepulauan Marshall. Ia datang untuk meletakkan tonggak baru dalam sejarah Kepulauan Marshall. Kepada pribumi yang baru saja selesai melaksanakan kebaktian di gereja, komodor itu mengajukan tawaran yang luar biasa. Ia meminta mereka meninggalkan kampung halaman, karena Amerika Serikat akan melakukan percobaan bom nuklir di situ. Kepada penduduk yang taat beragama itu Wyatt mengutipkan bagian dari Kitab Exodus, Perjanjian Lama: " . . . bahwa anak-anak Israel telah diselamatkan Tuhan, dan dipimpin menuju tanah yang dijanjikan." Wyatt menambahkan, "bom ini telah menumpas musuh kita, dan para ilmuwan Amerika kini mencoba menggunakannya untuk hajat kemanusiaan, seraya mengakhiri semua perang." Mikronesia dikuasai Amerika melalui salah satu pertempuran paling berdarah dalam Perang Dunia II. Sebelumnya, Jepang merampas kepulauan itu dari tangan Jerman. Setelah perang usai PBB membentuk sebelas perwalian di seluruh dunia. Dan Mikronesia, yang dipercayakan kepada Amerika Serikat, merupakan satu-satunya 'perwalian strategis'. Amerika diberi kesempatan menguasai kepulauan itu untuk 34 tahun. Perubahan-perubahan di dalam perjanjian ini hanya bisa dicapai melalui Dewan Keamanan PBB, dan Arnerika Serikat memiliki hak veto. Majelis Umum PBB, yang dalam perkembangannya semakin antikolonial, tidak banyak menentukan dalam hal ini. Dewan Perwalian PBB secara teoritis mengawasi Kepulauan Mikronesia. Tetapi, dalam kenyataannya, mereka tidak memiliki otoritas yang berarti. Tatkala Perwalian diserahkan kepada Amerika Serikat, 1947, Washington setuju untuk "memajukan pertumbuhan ekonomi dan kecukupan penduduk asli, mengatur penggunaan sumber alam, memajukan usaha perikanan, pertanian, dan industri." Amerika Serikat juga berjanji "melindungi penduduk dari kehilangan sumber alam mereka, mempertumbuhkan transportasi dan komunikasi, memajukan kehidupan sosial, melindungi kemerdekaan asasi dan hak penduduk tanpa perbedaan serta melindungi kesehatan mereka." Kelak, persetujuan dan janji ini patut dipertanyakan pelaksanaannya. Dengan hak perwaliannya itulah Amerika Serikat dibenarkan menempatkan pangkalan militernya di seluruh Mikronesia. Dari pangkalan-pangkalan ini Amerika mengawasi Cina dan Rusia, dan secara elektronis memonitor pangkalan-pangkalan Soviet di Asia. Mikronesia mempunyai jumlah keluasan delapan juta km2, sebagaian besar samudra. Banyak di antara 2.140 pulau yang membentuk kepulauan ini tidak lebih besardari lapangan cricket. Di kepulauan ini tinggal 116.662 orang Mikronesia, beberapa ribu orang Amerika, dan sebuah birokrasi yang mempergunakan 60% dana untuk mengurus 40% sisanya. Syahdan pada 16 Juli 1945, Amerika Serikat meledakkan bom atom yang pertama di dunia, di Alamogordo, New Mexico. Pada 6 dan 9 Agustus 1945 dua pesawat bomber B-29 tinggal landas dari Tinian, Mikronesia. Kedua pesawat ini bertolak menuju bencana yang tiada taranya. Di dalam perut pesawat tergolek bom atom yang akan dilemparkan di Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Bom pertama jatuh di Hiroshima, dan dalam dua menit membunuh 60 ribu manusia. Bom kedua menghajar Nagasaki dan menamatkan 40 ribu jiwa. Jepang bertekuk lutut, Perang Dunia II menutup layarnya, dan sebuah senjata pembunuh baru diperkenalkan di pentas adu kekuatan dunia. Sejak bertahun-tahun Amerika Serikat mencari tempat yang cocok untuk percobaan lanjutan senjata dahsyat ini. Akhirnya pilihan jatuh pada Bikini. Kepulauan ini tampaknya memenuhi syarat. Arah angin berembus menuju Pasifik yang langka dari permukiman, terdapat pelabuhan berair dalam yang bagus untuk kapal perang dan riset, jauh dari jalur pelayaran dan penerbangan, jauh dari pusat permukiman warga negara Amerika Serikat. Dan yang termasuk penting, pribuminya sedikit, dan lemah secara politis. Kepada penduduk semacam itulah Komodor Ben Wyatt mengajukan pertanyaan, "Sudikah kalian meninggalkan pulau ini demi kesejahteraan umat manusia?" Penduduk meminta waktu untuk berunding. Kemudian mereka menyampaikan keputusan melalui ketuanya, Juda Kessibuki. "Jika pemerintah Amerika Serikat dan para ilmuwan dari seluruh dunia ingin menggunakan kediaman kami ini demi kemajuan pembangunan, demi kemaslahatan dan keuntungan umat manusia, kami secara suka rela akan pindah ke tempat lain," ujar Juda. Hanya beberapa penduduk yang merasa tidak senang akan keputusan itu. Penduduk Bikini kemudian dipersilakan memilih tiga pulau. Dua di antaranya sudah berpenghuni. Karena itu mereka memilih Pulau Rongerik yang kosong, 225 km dari Bikini arah ke timur, dan berdekatan dengan Pulau Rongelap, yang mempunyai ikatan tradisional dengan Bikini. Setelah menjatuhkan pilihan, mereka melakukan kebaktian terakhir di gereja dusun, kemudian menyelenggarakan upacara perpisahan dengan arwah nenek moyang. Wartawan dari seluruh penjuru dunia datang meliput upacara yang luar biasa itu. Kemudian penduduk mulai dipindahkan. Operasi Crossroads pun mulai .... Kesatuan-kesatuan militer segera bergerak secepat kilat. Meliputi 250 kapal, 150 pesawat terbang, dan 42 ribu personil tentara, ilmuwan, dan tenaga teknis. Mereka semua dikerahkan untuk peledakan bom atom 'perdamaian' yang pertama, yang diberi nama sandi Able dan Baker. Masing-masing bom itu diledakkan pada Juni dan Juli 1946. Able dijatuhkan dari pesawat B-29, dan melenceng 304 meter dari sasaran. Baker lebih jitu, dan meninggalkan 500 ribu ton lumpur beradio aktif. "Sementara itu di Rongerik, para pengungsi dari Bikini hidup dalam kesengsaraan," kata Ingrid Strewe dalam laporannya di majalah Geo, Mei 1982. Sebagian besar ikan yang terdapat di dalam danau asin Rongerik keracunan. Mitologi Bikini membandingkan kelakuan Amerika ini sebagai tindakan setan. Mereka tadinya menyangka, pulau kampung halaman mereka itu sekadar digunakan untuk waktu singkat. Setelah dua bulan berlalu mereka meminta izin kembali ke Bikini. Sudah tentu permohonan itu ditolak. Pada musim dingin tahun itu mereka mulai kelaparan, sementara Angkatan Laut Amerika Serikat meyakinkan dunia bahwa penduduk Bikini sehat wal afiat adanya. Untunglah, penduduk Pulau Rongelap baik hati mengantarkan makanan kepada saudara-saudara mereka di Rongerik itu. Kalau tidak, ini mati tak makan. Beberapa bulan sekali, konvoi kano dari Rongelap beriring-iringan ke Rongerik, mengantarkan bantuan makanan apa adanya. Pada bulan Maret 1948, mereka kadang-kadang pergi ke kota tenda di Pulau Kwajalein. Di sini terdapat pangkalan militer Amerika Serikat. Para pemimpin Rongerik mencoba mencari permukiman yang lebih baik. Akhirnya orang-orang eks Bikini itu mulai mendirikan bangunan di Pulau Karang Ujelang. Ketika Eniwetok dibutuhkan untuk percobaan bom atom, 1948, Amerika memindahkan penduduk pulau ini ke Ujelang. Orang-orang eks Bikini itu pindah lagi ke Kili, 643 km lebih ke selatan. Kili merupakan pulau kedua terakhir yang diduduki manusia dalam lingkungan Kepulauan Marshall. Sejak Perang Dunia II pulau ini berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, sehingga luput dari pengawasan Iroij -- pemimpin tertinggi Bikini. Dengan pindah ke Kili, penduduk eks Bikini itu secara tidak langsung menyatakan ingkar terhadap pemimpin suku mereka, yang mereka nilai gagal memberikan perlindungan dan petunjuk kepada kawulanya. "Hingga sekarang mereka tidak menghormati kepala suku itu," tulis Ingrid Strewe. Di Pulau Kili terdapat bekas perkebunan kelapa. Pulau ini subur, tetapi luasnya tak seberapa. Kili hanya seperenam Bikini dan tidak punya danau asin tempat orang bisa mencari ikan. Enam bulan dalam setahun orang terkurung di pulau ini. Tidak bisa berlayar ke luar, karena ombak dan badai yang menghempas dari laut terbuka. Dalam waktu singkat sudah susah mencari makanan di Kili. Menjadi petani tidaklah semudah yang dibayangkan orang-orang Bikini itu. Mereka segera digoda rasa rindu pada kampung halaman. Di dinding Yacht Club Maluro, tempat yang lebih banyak digunakan untuk minum-minum ketimbang membicarakan olah raga layar, terdapat sebuah lukisan Kili. Di atasnya tercantum katakata: "Penderitaan kami bisa disamakan dengan anak-anak Israel. Mereka keluar dari Mesir dan mengembara di padang gurun selama 40 tahun. Kami keluar dari Bikini dan mengembara di lautan selama 32 tahun, tanpa pernah mencapai negeri yang dijanjikan." Kata-kata ini dikutip dari ucapan Tomaki Juda, salah seorang pemuka Bikini, di depan suatu perutusan Kongres AS. Perpindahan penduduk Eniwetok ke Ujelang mempunyai riwayat tersendiri. Pada 1944, tentara Amerika mengusir serdadu Jepang dari pulau itu. Orang-orang Amerika yang kemudian bermarkas di situ menganugerahkan kepada penduduk pakaian, makanan, dan permen karet. Semuanya gratis. Tetapi dua tahun kemudian bulan madu itu usai. Pejabat-pejabat Washington mengumumkan, Eniwetok akan digunakan untuk serangkaian percobaan bom nuklir. Penduduk asli harus menyingkir. Orang-orang Amerika itu menawarkan sebuah pulau lain kepada pribumi Eniwetok, "demi tujuan yang sangat penting." Tidak lama kemudian datanglah kapal-kapal pendarat untuk mengangkut penduduk, sekalian membawa bulldozer. Sebelum meninggalkan Eniwetok, para pribumi itu sempat menyaksikan rumah mereka digusur rata dengan tanah. Johannej, salah seorang pemuka Eniwetok, diajak untuk melihat-lihat pulau baru, tempat mereka akan dimukimkan kembali. "Jahanam, ini bukan pulau baru sama sekali," kata Johannej bersungut. "Ini adalah Ujelang! " Ujelang hanya seperempat luas Eniwetok. Danau asinnya cuma 65 km2, dibandingkan dengan Eniwetok yang punya 1.010 km2 danau asin. Keheranan Johannej, tak habis-habisnya. "Kami tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi," katanya kelak. "Kami tidak mengerti mengapa mereka meminta Eniwetok. Bahkan kami tidak tahu apa-apa tentang yang dinamakan percobaan itu." Namun rencana yang sudah disusun berjalan terus. "Amerika Serikat meledakkan tidak kurang dari 43 bom nuklir di Eniwetok dan sekitarnya," tulis Ingrid Strewe. Pada April 1948, dimulailah Operasi Sandstone. Dalam "serial" percobaan ini Amerika meledakkan X-Ray (14 April), Yoke (30 April), dan Zebra (14 Mei). Pada 1950 mereka meledakkan Dog (7 April), Easy (20 April), George (8 Mei), dan Item (24 Mei). Pada 1952, Amerika Serikat melancarkan Operasi Ivy. Dalam operasi ini mereka untuk pertama kalinya meledakkan bom termonuklir, dengan nama sandi Mike. Dengan kekuatan yang diperkirakan 10,4 megaton, Mike menyapu Pulau Elujelap, dan meninggalkan kepundan dengan diameter 1,6 km. Awan cendawan menjulang 39.624 meter ke angkasa, hanya dalam 15 menit. Berturut-turut pelbagai bom dicoba dan diledakkan di kawasan ini. Pulau Lidilbut, yang oleh orang-orang Amerika dinamakan Gene, hancur menjadi debu oleh bom Koa. Pada 1958 di Pulau Runit, masih kawasan Eniwetok, diledakkan Cactus. Lubang akibat ledakan Cactus, di ujung utara Pulau Runit, kemudian digunakan untuk memendam buangan radio aktif, yaitu tanah yang mengandung cesium, strontium, dan plutonium. Dikumpulkan dari pulau-pulau di sekitarnya, tanah itu kemudian dicampur dengan semen supaya mudah membeku. Untuk menutupi lubang dengan kandungan yang sangat berbahaya itu, orang-orang Amerika membangun kubah raksasa dengan ketebalan setengah meter. Kubah ini meliputi areal seluas 10.200 m2. Ratusan ribu karung semen dihabiskan untuk mengamankan buangan radio aktif ini. Bangunan itu juga diharapkan tahan menghadapi gempa bumi. Konon dua fisikawan Amerika pernah bertaruh tentang kekuatan bangunan pelindung sampah radio aktif ini. Tetapi bukan simpanan ini melulu yang membuat Pulau Runit terasa menegangkan. Dua bom nuklir, masing-masing dengan nama sandi Quince dan Fiq, pernah gagal meledak dan menyebarkan Plutonium 237 di sekujur ujung utara pulau itu. Kegagalan ini diperhitungkan mempunyai akibat sampai 25 ribu tahun, bahkan mungkin 50 ribu tahun. Dalam ukuran manusia, masa itu berarti selama-lamanya. Sementara itu orang-orang Eniwetok yang terbuang ke Ujelang, setelah hanya 29 tahun sudah kembali menetap di Japtan, 10 km dari Pulau Runit. Pada 1 Maret 1954, diledakkanlah bom hidrogen kedua di dunia, dengan nama sandi Bravo. Nah, Bravo ini ternyata membawa kesulitan dan penderitaan yang bukan alang-kepalang. Seribu kali lebih kuat dari bom yang menghancurkan Hiroshima (bayangkan). Bravo juga ternyata 2« kali lebih dahsyat dari perkiraan semula. Dalam sekali pukul bom ini melenyapkan sekaligus dua pulau kecil di sekitar Bikini dari peta bumi. Hasil percobaan itu jauh di luar dugaan. Pada saat Bravo meledak, mula-mula langit terang benderang luar biasa. Kemudian tampak sebuah bola api melesat ke udara, dengan kecepatan 483 km sejam. Dalam tempo sepuluh menit awan nuklir menjulang 34 km di atas pulau-pulau karanB yang malang itu. Angin menghumbalang di permukaan laut yang tadinya tenang. Tepat di pusatnya, angin itu mempunyai kecepatan ratusan kilometer per jam. Laporan yang diterima dari para prajurit yang bertugas mengamati cuaca pada hari peledakan itu juga sangat mengejutkan. Menurut laporan itu, "angin bertiup tepat ke arah kami, selama berminggu-minggu. Kami memang berkewajiban memberikan keterangan cuaca. Sebaliknya, kami harap, para komandan hendaknya juga merasa berkewajiban meyakinkan diri mereka bahwa keadaan betul-betul aman, sebelum melaksanakan suatu peledakan senjata atom." Meski demikian percobaan Bravo tidak dihentikan. Agaknya, para pengambil keputusan berprinsip "sudah kepalang basah". Tentang akibat yang di luar dugaan itu, pemerintah Amerika Serikat tidak kehilangan akal mencari kilah. Arah angin memang bisa berubah sewaktu-waktu, kata mereka, dan perubahan itu sulit juga diperhitungkan. Dari arah barat, angin itu mengantarkan awan radio aktif setinggi 32 km ke Rongelap, yang terletak sejauh 161 km, kemudian ke Rongerik dan Utirik, sejauh 434 km. Awan-awan radio aktif yang berpencaran perlahan-lahan bisa ditemukan ribuan kilometer dari pusat ledakan. Seperti yang diuraikan oleh Komisi Energi Atom pada 1955, "terdapat radio aktif yang mengancam semua kehidupan di wilayah ini, kendati pada saat peledakan itu tempat percobaan sudah diamankan." Debu radio aktif itu mengambang bagaikan tepung, melekat ke segala benda. Debu membedaki manusia, tumbuhan, dan air, bahkan masuk ke rumah-rumah. Anak-anak, yang tidak tahu akan mara bahaya debu jahanam itu, membuatnya menjadi mainan. Seperti dikisahkan Ny. Anjain, seorang penduduk Rongelap, "anak-anak itu melekatkan debu ajaib tadi di rambut mereka, sama sekali tidak mengerti akan bahayanya yang dahsyat." Sejak itu 18 dan 19 anak menderita tumor thyroid atau penyakit lain. Kalau sebelumnya penduduk asli itu lebih dulu diungsikan sebelum kawasan permukimannya dijadikan ajang percobaan, kini mereka bahkan tidak mendapat peringatan sama sekali. Ketika Bravo diletupkan, anak lelaki Ny. Anjain baru berusia setahun. Pada usia 19 tahun. anak itu meninggal oleh penyakit myelogenous leukaemia. Pada usia 13 tahun anak itu pernah dioperasi di Amerika Serikat. Ia sadar bahwa ia akhirnya akan meninggal, dan ia mengamuk di rumah sakit. Kebetulan, beberapa hari sebelum percobaan itu, dua pesawat terbang Amerika berputar-putar di atas Rongelap. Penduduk menyangka debu ajaib tadi tidak lain dari sekadar "insektisida" yang disemprotkan pesawat terbang Amerika itu. Jadi mereka tidak begitu terkejut, apalagi berjaga-jaga. Kemudian terjadilah perkembangan yang menyedihkan. Pada mulanya anak-anak jatuh sakit. Tetapi pada sorenya, hari itu juga, orang dewasa mulai bertumbangan. Mereka menderita pusing kepala, kulit, dan mata bagai terbakar, dan muntah-muntah. Sebuah kapal dikirim untuk mengambil 28 orang tentara yang ditempatkan sebagai petugas cuaca di Rongerik, sekalian sebagai pengamat peledakan itu. Ketika debu radio aktif mulai berjatuhan, jarum-jarum pada alat monitoring kapal bergetar keras. Para awak segera mengenakan pakaian pelindung dan menyuruk di lambung kapal. Kini baru diketahui, ke-28 serdadu itu juga menanggung penyakit seperti yang diderita pribumi pulau. Para petugas yang dikirim ke Rongelap untuk memeriksa radiasi itu segera melarang penduduk meminum air. Tetapi baru dua hari kemudian kapal-kapal Armada ke-7 Amerika Serikat tiba untuk mengungsikan penduduk Rongelap ke Kwajalein, pulau karang paling besar dalam kelompok Kepulauan Marshall. Para penduduk segera dianjurkan membasuh diri dengan air dan sabun. Tindakan ini bukan saja ternyata gegabah, tetapi menimbulkan penderitaan luar biasa. Kulit mereka terkelupas, dan rambut berontokan dari tempurung kepala. Seminggu kemudian tibalah rombongan dokter, sekadar untuk melakukan pemeriksaan rutin. Mereka menyelidiki keadaan darah dan melakukan tes radio-kimiawi pada air seni. Hasilnya, penduduk didapati tercemar radiasi dalam kadar berat. Padahal ketika itu pengetahuan untuk menanggulangi akibat radiasi pada manusia masih sangat terbatas. Sebaliknya, penduduk Kepulauan Marshall berpikir bahwa orang-orang Amerika itu mengerti betul akan akibat perbuatan mereka. Penduduk juga yakin bahwa tim yang dikirimkan Laboratorium Nasional Brookhaven segera akan mengatasi segala kesulitan. Mereka keliru. Tim ini hanya becus melakukan penyelidikan, tak lebih tak kurang. Dua hingga tiga bulan kemudian, orang-orang Rongelap pindah ke Pulau Karang Majuro, dan tinggal di sana selama 3« tahun. Setelah hujan radio aktif itu, angka keguguran dan kematian bayi pada saat lahir naik dua kali lipat. Kini angka itu sudah kembali normal. Selama sembilan tahun penduduk yang malang itu terus diamati, dan selama itu pula tidak tampak perubahan yang berarti. Sanak saudara mereka, yang kebetulan tidak berada di Rongelap ketika ledakan maut itu terjadi, disertakan di permukiman baru. Laboratorium Nasional Brookhaven memanfaatkan mereka sebagai semacam bahan perbandingan. Kini Pulau Rongelap sudah dibersihkan. Rumah-rumah lama dimusnahkan, dan yang baru mulai dibangun. Hewan peliharaan dari masa lampau juga sudah disingkirkan, digantikan dengan yang "bersih". Pulau itu kemudian dinyatakan "sudah aman". Orang-orang Rongelap dipersilakan menghuninya kembali. Tetapi betulkah keadaan sudah benar-benar aman? Sebuah survei medikal Jepang pada 1971 menyesalkan tindakan memukimkan kembali penduduk di pulau itu, 1957. "Ini suatu kesalahan besar," kata mereka. Muatan radio aktif pada tubuh sanak saudara, yang dulu sehat walafiat itu, kini lebih berbahaya ketimbang penduduk lain yang tidak tercemar. Rupanya, selama berkumpul di kawasan penyelidikan, sanak saudara yang tadinya sehat itu tercemar oleh lingkungan. Ketika Bravo diledakkan, kapal ikan Jepang Lucky Dragon No. 5 sedang berada 129 km dari Bikini. Mereka juga tidak mendapat peringatan apa-apa. Ketika tiba-tiba mereka melihat cahaya terang benderang menjelang fajar, mereka menyangka "matahari akan terbit dari barat". Tujuh menit kemudian, ombak dari peledakan itu mengguncangkan kapal mereka. Orang-orang Jepang itu segera bersiap-siap melarikan diri. Perang memang sudah berakhir sepuluh tahun, tetapi mereka tetap dibayangi ketakutan terhadap tentara Amerika. Ternyata mereka kurang cepat. Kabut yang kelabu dalam waktu singkat menyelimuti mereka. Nelayan-nelayan Jepang itu segera mengalami terbakar pada kulit dan mata. Ketika akhirnya mereka tiba di pelabuhan Yaizu, kampung halaman mereka, rambut mereka mulai rontok. Mereka minta diperiksa di rumah sakit Yauzu. Ternyata darah mereka tercemar berat. Tetapi, ketika itu, mereka belum yakin betul sudah terkena radiasi. Atas desakan pemilik kapal nelayan itu, dokter setempat mengirim dua orang yang terparah ke klinik radiasi di Tokyo. Tetapi seminggu sebelum keberangkatan, semua awak kapal nelayan itu harus masuk rumah sakit. Hasil tangkapan mereka, 1.814 kg ikan tuna yang sudah dilelang, dikumpulkan kembali untuk dikuburkan. Namun untuk sejumlah orang tindakan itu sudah terlambat. Mereka sempat memakan ikan beracun itu. Peristiwa ini memukul industri perikanan Jepang. Para nelayan itu menerima transfusi darah dan antibiotika. Kandungan Strontium 90 di dalam struktur tulang mereka ternyata menggagalkan pembentukan darah. "Orang-orang Amerika itu tampaknya jijik memberi informasi mengenai bom itu kepada para ilmuwan Jepang," tulis Ingrid Strewe. Karena dokter-dokter Jepang tidak tahu persis sebab musabab radiasi, mereka sulit memberikan terapi yang tepat. Tetapi mungkin juga Amerika tidak memberitahu peledakan Bravo karena masalahnya menyangkut urusan pertahanan -- dan dengan sendirinya topsecret. Berminggu-minggu tenaga ahli Jepang menyelidiki debu dan apa saja yang ditemukan pada kapal ikan yang tercemar itu. Untunglah usaha mereka berhasil lumayan. Mereka menemukan bahwa Amerika menggunakan Plutonium 237. Ketika "rahasia" ini terungkap, para nelayan yang tercemar itu sudah berkembang jauh. Kuboyama, operator radio dengan dua anak perempuan, meninggal oleh penyakit radiasi berat, setelah enam bulan sekarat. Dia tercatat sebagai korban bom hidrogen yang pertama. Pemerintah Amerika Serikat mengirimkan uang belasungkawa sebesar Rp 2 milyar. Tiga hari setelah peledakan Bravo, penduduk Utirik, 442 km di sebelah timur Bikini, diungsikan ke Kwajalein. Mereka diperkirakan tidak kena radiasi berat, dan tiga bulan kemudian dipulangkan ke Utirik. Baru pada 1977 diketahui, penduduk Utirik menderita kanker thyroid sama parah dengan penduduk Rongelap. Kini banyak di antara mereka yang mengeluh karena kerusakan mata. Amerika Serikat tampaknya menemukan jalan keluar yang sangat praktis. Penduduk pulau itu menerima kiriman dua peti kaca mata. Tanpa pemeriksaan, setiap orang tinggal memilih kaca mata yang cocok untuk dirinya masing-masing. "Sebuah pemecahan yang unik untuk wabah katarak yang unik pula," tulis Ingrid Strewe. Percobaan bom di Bikini dan Eniwetok berhenti pada 1958. Pribumi Bikini segera menyatakan keinginan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Sebuah survei radiologis dilancarkan, dan sepuluh tahun kemudian beberapa keluarga mulai pulang. Pada 1970 sebuah keputusan diambil untuk menyerahkan Eniwetok kembali kepada pribuminya. Survei radiologis yang lebih luas segera dilancarkan. Survei ini membuktikan, sisa radio aktif di Bikini masih cukup tinggi untuk dapat dimonitor. Tingkat radio aktif yang bisa ditenggang tubuh manusia, menurut para ilmuwan yang terlibat survei tersebut, menurun dari hari ke hari. Tetapi, demi keselamatan, mereka memutuskan untuk sekali lagi mengungsikan penduduk Bikini. Namun demikian hingga enam tahun masalah ini tetap menggantung. Departemen Pertahanan dan Komisi Energi Atom Amerika Serikat saling mempertanyakan siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab. Mereka mempersoalkan biaya pengungsian penduduk. Akhirnya, penduduk Bikini jadi juga pindah, kali ini ke Pulau Ejit. Kwajalein lalu digunakan untuk tempat latihan dan sasaran. Dari California, AS, rudal antarbenua (ICBM) ditembakkan ke pulau ini. Amerika Serikat mendapatkan Kwajalein pada 1944. Setelah Jepang kalah, para penduduk Kepulauan Marshall yang tadinya berada di pulau ini dan mengabdi Jepang, tetap bertahan di sana dan berganti tuan. Kamp para pekerja ini kemudian dipindahkan dari Kwajalein ke sebuah pulau kecil sejauh 5 kilometer. Dalam waktu sepuluh tahun angka populasi di pulau seluas 27 hektar itu melesat dari 220 menjadi 1.000. Sejak 1960 Kwajalein menjadi bagian sasaran Rudal Angkatan Bersenjata AS. Di Ebeye, para penduduk sekitarnya berdatangan ke Kwajalein untuk mencari pekerjaan. Peluru kendali pun mulai berdatangan ke pulau iti. Komando Angkatan Bersenjata AS menyewa Kwajalein untuk masa 99 tahun, dengan harga Rp. 500 ribu pertahun untuk 0,4 hektar. Entah bagaimana kriteria sewa-menyewa dengan ukuran luas seperti itu. Perjanjian sewa ini surut, dihitung dari masa perang. Pemerintah Amerika Serikat kemudian menambahkan Rp 40 ribu setiap bulan untuk pribumi Mid Corridor, yang diungsikan ke Pulau Ebeye. Mid Corridor adalah nama yang diberikan para serdadu Amerika itu kepada dua pertiga kawasan Kwajalein, dan berhubungan dengan pulau-pulau kecil yang digunakan dalam percobaan rudal. Kini Ebeye berpenduduk 8.000 jiwa, terpencar di Areal seluas 21 hektar. Hingga 40 hidup bersama berdesakan di sebuah teratak kumal berkamar satu. Banyak diantara penduduk yang tidak mempunyai mata pencaharian. Mereka yang beruntung memperoleh pekerjaan memakai sekeping kartu kuning berfoto, sekaligus sebagai tanda pengenal untuk menumpang perahu bermotor yang berangkat setiap pagi ke Kwajalein. Di sana mereka menyapu jalan, membersihkan rumah dan membuangi sampah. Mereka belum diizinkan minum-minum di club bahkan tidak dibenarkan berobat di rumah sakit. Kami sedang mengalami wabah gastroenteritis di Ebeye. Di sana saya sedang bekerja waktu itu," kata William Vitarelli, Ph.D., dalam sebuah laporannya. Rumah sakit Ebeye kehabisan cairan infus yang diperlukan untuk menyelamatkan jiwa anak-anak Kepulauan Marshall. Vitarelli mengambil seoarang anak perempuan yang keadaannya sangat parah, dan dengan sebuah perahu kecil bermotor melarikannya ke Kwajalein. Tetapi di lepas pantai Kwajalein, rombongan itu dihadang prajurit Amerika. Dengan alasan apapun, mereka tidak diperkenankan mendarat di pulau. "Anak itu meninggal dalam perjalanan pulang ke Ebeye," tutur William Vitarelli. Empat anak lainnya tewas dalam amukan wabah ini. Kini, tampaknya keadaan sudah berubah banyak. Para penduduk Kepualuan Marshall secara diam-diam sudah kembali ke pulaunya masing-masing. Tidak kurang dari 12 tahun Amerika Serikat menggunakan pulau-pulau itu untuk kepentingan percobaan senjata mautnya. Sebagian besar penduduk pulau mengaku, mereka tidak memperoleh duit segobang pun dari azab dan siksa yang mereka tanggungkan. Pada masa-masa ini Pemerintah Amerika Serikat memasuki negosiasi baru untuk membicarakan perpanjangan penyewaan. Dalam hal tertentu memang ada kenikmatan yang bisa dicicipi warga pulau. Mereka kini boleh minum bir atau limun di club, dan tidak lagi dicari bagai orang buruan bila ketahuan pergi meninggalkan pulau. Untuk warga Amerika yang bertugas di Kwajalein, hidup memang santai dan penuh leha-leha. Ada kolam-kolam renang khusus untuk mereka, atau lapangan baseball, tenis, maupun bangsal bowling. Ada bar dengan pelayanan memuaskan. Ada restoran, bioskop, berbagai klub, rumah dengan pengatur udara di tengah laut tropis, taman-taman yang elok dan jenaka, bahkan lapangan golf. Ada sekolah-sekolah kelas wahid untuk anak-anak mereka, rumah sakit dengan fasilitas modern, bahkan pesawat terbang militer yang dua kali seminggu mondar-mandir mengantarkan bahan makanan prima ke supermarket khusus untuk warga pulau kelas satu itu. "Sedangkan untuk penduduk Kepulauan Marshall sendiri, hidup di kampung halaman itu hanyalah berisi kenang-kenangan akan haru-biru peledakan bom-bom maut yang tidak mereka mengerti ujung pangkalnya," tulis Ingrid Strewe.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus