SUASANA 17 Agustusan di tepi Sungai Cimanuk, Jawa Barat, riuh
rendah oleh deru buldozer dan hiruk pikuk para pekerja. Traktor
mengaum siang dan malam. Sudah sejak beberapa pekan lokasi di
Desa Rentang, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka itu tak
pernah sepi.
"Kami memang harus berpacu dengan waktu, menyongsong tibanya
musim hujan, Desember mendatang," ujar Ir. Joko Kirmanto, yang
punya "hajat". Kepala Sub Proyek Irigasi International
Development Association (Prosida) Rentang itu sedang dibuat
repot oleh Bendung Rentang Baru -- bendung termodern di Asia
Tenggara. Sejak 7 Mei 1983 bendung ini diketahui mengalami
kerusakan.
Mulai berfungsi sejak 1 Oktober 1981 bendung ini diperkirakan
mampu bertahan 30 sampai 40 tahun. "Bahkan bila tidak ada aral
melintang, bisa sampai 50 tahun," ujar sumber TEMPO di
Direktorat Penyelidikan Masalah Air (DPMA) di Bandung. Itulah
sebabnya kerusakan barusan, meskipun dinilai kecil, cukup
mengejutkan.
Bendung Rentang Baru (BRB) merupakan pengganti Bendung Rentang
Lama -- yang pengoperasiannya dilakukan dengan cara mengangkat
dan menurunkan sepuluh daun pintu. Masing-masing daun pintu itu
berbobot 2 sampai 2,5 ton, dan membutuhkan tenaga 60 orang.
"Kalau tiba-tiba datang banjir, repotnya bukan buatan," tutur
Harun Hindayana, Koordinator Operator Bendung Rentang.
Untuk mengatasi kesulitan itulah pemerintah membangun BRB,
sekitar 500 meter ke udik bendung lama. Mampu mengairi 92 ribu
hektar sawah di tiga kabupaten tadi, BRB dioperasikan melalui
komputer. Biaya pembangunannya Rp 9,37 milyar, diambilkan dari
dana APBN dan Bank Dunia. Pradisain dibuat oleh konsultan
Sinotech dari Taiwan, disain detil oleh PT RBW, Jakarta.
Pelaksanaan pembangunan dikerjakan Hutama Karya-Dumez.
BRB mempunyai 26 pintu. Tepat di bendung terdapat 6 pintu utama
dan 4 pintu penguras. Pintu lainnya terserak di saluran induk
Cipelang dan Sindopraja. Lumpur yang mengendap bisa dikuras
dengan mengangkat pintu penguras yang mencapai dasar sungai.
Sekitar 15 km dari bendung, di Desa Monjot, Kecamatan
Kadipaten, ditempatkan alat pengukur permukaan air telemetri,
radio komunikasi, dan telepon. Bila jarum menunjukkan angka 28
-- tingkat elevasi yang bisa menimbulkan banjir -- telemetri itu
secara otomatis mengirim data ke Controle House yang jaraknya
sekitar 100 m dari bendung. Pada bangunan berlantai dua ini
terdapat radio komunikasi, komputer, meja kontrol, alarem, dan
teleskop.
Data yang masuk dari Monjot langsung diolah komputer. Sementara
itu, tujuh Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang terpencar
di berbagai sudut bendungan, mengirimkan data pula ke ruang
kontrol. Bila permukaan air mencapai titik banjir, pintu-pintu
membuka sendlri.
Meski demikian, 11 operator menangani bendung ini dalam tiga
shift selama 24 jam. "Soalnya, kami sering tertipu juga," kata
Harun Hindayana, 29 tahun. Pernah komputer tidak mengirimkan
isyarat, padahal banjir sudah dekat. Sebab, ternyata, voltase
listrik turun, sehingga komputer tidak bisa berfungsi. Karena
itu, sejak April lalu, di BRB ditempatkan generator yang mampu
mengangkat voltase.
Kerusakan yang terjadi sekarang memang di luar fungsi kontrol
komputer. "Diduga akibat derasnya air Cimanuk pada musim hujan
kemarin," kata Joko Kirmanto, lulusan FT-UGM (1969).
Kini, dinding beton yang membatasi bagian hilir bendung dengan
bibir Sungai Cimanuk terancam ambrol. Tanah bagian bawahnya
habis tergerus air. Sambungan dinding betonnya tampak menganga
40 cm. Dinding beton di bagian kiri bibir sungai retak-retak
pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini