UNI Soviet ternyata tidak hanya mengkhawatirkan di arena
perlombaan senjata nuklir. Akhir-akhir ini negeri itu banyak
dirisaukan tetangganya di Eropa sebagai produsen terbesar sulfur
dioksid (SO2). Unsur ini dikenal sebagai penyebab utama acid
rain -- alias hujan asam.
Masalah hujan asam sendiri sebetulnya bukan perkara baru. Paling
tidak ia sudah menjadi bahan perbincangan yang hangat selama
sepuluh tahun terakhir. Terutama di kalangan pencinta
lingkungan, dan terlebih lagi di daratan Eropa.
Tetapi baru-baru ini, dua ilmuwan Inggris yang bekerja di
Lembaga Beijer, bagian dari Akademi Ilmu Kerajaan Swedia,
membuat studi terperinci mengenai penyebab utama hujan asam.
Hasil penelitian mereka, yang diumumkan melalui Ambio, jurnal
akademi tadi, menjadi bahan perhatian dan perbandingan yang
menarik. Nicolas Highton dan Michael Chadwick, kedua ilmuwan
itu, seolah-olah ingin membuktikan siapa biang keladi dan siapa
korban utama dalam perkara hujan asam ini.
Secara bersama-sama, 26 negeri di Eropa (termasuk Uni Soviet)
memompakan ke atmosfir lebih dari 65 juta metrik ton SO2 pada
1982. Sepuluh tahun sebelumnya, angka itu hanya 60 juta ton.
Sepuluh di antara 26 negeri itu memproduksikan 85% dari jumlah
buangan. Dalam studi tersebut kesepuluh negeri ini dikelompokkan
ke dalam Pencemar Berat. Mereka dituding paling bertanggung
jawab terhadap polusi udara di Eropa.
Kesepuluh negeri itu adalah Uni Soviet (25,5 juta metrik ton),
Inggris (4,25 juta), Jerman Timur (4 juta), Jerman Barat (3,51
juta), Cekoslowakia (3,37 juta), Italia (3,07 juta), Prancis
(2,89 juta), Polandia (2,5 juta), Spanyol (2,09 juta), dan
Rumania (2 juta).
Akibat apakah yang bisa ditimbulkan sulfur dioksid pada manusia,
hingga para ilmuwan tampaknya begitu sibuk? "Pada konsentrasi
0,19 ppm di udara terbuka, selama 24 jam, SO2 sudah membahayakan
manusia," ujar Dr. R.T.M. Sutamihardja, M.Ag.Chem., kepada
TEMPO, Selasa pekan lalu. Menurut Pembantu asisten I Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup itu, SO2 bisa menyebabkan
"gangguan sistem pernapasan, dapat menimbbulkan kanker, bahkan
kematian pada penderita bronchitis akut."
SO2, yang berasal dari proses pembakaran batu bara dan minyak
bumi itu, tidak berwarna dan tidak dapat terbakar. Pada
konsentrasi 0,3 sampai 1 ppm, ia bisa berbau. Gas ini dapat
berubah menjadi SO3, dan dalam kelembaban yang tinggi serta
kulminasi maksimal dapat membentuk asam (H2SO4).
Untunglah, di Indonesia, "syarat hujan asam belum terpenuhi,"
kata Sutamihardja, 44 tahun. Polusi SO2 belum mencapai batas
kulminasi maksimal. Kita ditolong oleh letak geografis yang
menguntungkan. Yaitu pulau yang bertebaran dengan lautan
perantara, serta perbatasan yang relatif jauh dari
negara-negara industri berat. Namun, kuda-kuda harus dipasang
sejak sekarang. Di beberapa kota besar, angka pencemaran SO2
sudah melebihi batas maksimal kualitas udara yang diperkenankan.
Penelitian kualitas udara sudah dilakukan di Jakarta, Bogor,
Bandung, Denpasar, Medan, Palembang, Semarang, Yogyakarta, dan
Surabaya. Lokasi penelitian terutama dipusatkan di kawasan
pengembangan, yaitu daerah transportasi, perdagangan,
permukiman, industri, dan rekreasi. Undang-undang yang mengatur
kualitas udara secara nasional memang belum ada. Tetapi untuk
Jakarta, ada ketentuan khusus yang diatur Surat Keputusan
Gubernur DKI, 1980.
Dari hasil pelacakan tim interdepartemen (kesehatan,
perindustrian, kependudukan dan lingkungan hidup), tahun lalu,
Jakarta dibagi dalam empat kelompok penelitian. Untuk daerah
perdagangan, Blok M ternyata mencatat angka SO2 paling tinggi,
antara 0,0003 sampai 0,654 ppm. Untuk kelompok transportasi,
Cililitan paling tinggi.
Untuk daerah industri, Pulo Gadung mencatat buangan sulfur
dioksid paling tinggi, sekitar 0,0009-0,5606 ppm. Untuk daerah
rekreasi, Taman Mini Indonesia Indah paling tinggi. Untuk daerah
permukiman, jangan kaget, Menteng (Jakarta Pusat) ternyata
paling berat kadar SO2-nya, sampai 0,731 ppm. Mengapa? "Mungkin
karena arus lalu lintas di kawasan itu lebih padat," sahut
Sutamihardja.
Kualitas udara yang mengandung SO2 cukup tinggi dapat
menimbulkan reaksi fotokimia, menurunkan daya penglihatan. Juga
sangat korosif terhadap logam besi, tembaga, aluminium, seng,
dan mudah melunturkan cat. Pada tanaman ia merusak chlorophyl,
sehingga mengganggu proses fotosintesis. Bahkan dalam
konsentrasi tinggi, ia merusak tulang daun dan menyebabkan
kerontokan.
Dari sembilan kota yang diteliti, baru Jakarta yang bisa
memberikan gambaran agak lengkap dan menyeluruh. Kota lain di
Indonesia umumnya mengisyarakatkan kandungan SO2 lebih rendah.
Untuk Jakarta kualitas udara yang diperkenankan adalah 0,1 ppm.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini