Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengusut hujan asam

Penelitian terhadap penyebab utama polusi udara so2 (hujan asam) di eropa, dan akibat yang ditimbulkan. di Indonesia angka pencemaran so2 belum mengkhawatirkan. (ilt)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNI Soviet ternyata tidak hanya mengkhawatirkan di arena perlombaan senjata nuklir. Akhir-akhir ini negeri itu banyak dirisaukan tetangganya di Eropa sebagai produsen terbesar sulfur dioksid (SO2). Unsur ini dikenal sebagai penyebab utama acid rain -- alias hujan asam. Masalah hujan asam sendiri sebetulnya bukan perkara baru. Paling tidak ia sudah menjadi bahan perbincangan yang hangat selama sepuluh tahun terakhir. Terutama di kalangan pencinta lingkungan, dan terlebih lagi di daratan Eropa. Tetapi baru-baru ini, dua ilmuwan Inggris yang bekerja di Lembaga Beijer, bagian dari Akademi Ilmu Kerajaan Swedia, membuat studi terperinci mengenai penyebab utama hujan asam. Hasil penelitian mereka, yang diumumkan melalui Ambio, jurnal akademi tadi, menjadi bahan perhatian dan perbandingan yang menarik. Nicolas Highton dan Michael Chadwick, kedua ilmuwan itu, seolah-olah ingin membuktikan siapa biang keladi dan siapa korban utama dalam perkara hujan asam ini. Secara bersama-sama, 26 negeri di Eropa (termasuk Uni Soviet) memompakan ke atmosfir lebih dari 65 juta metrik ton SO2 pada 1982. Sepuluh tahun sebelumnya, angka itu hanya 60 juta ton. Sepuluh di antara 26 negeri itu memproduksikan 85% dari jumlah buangan. Dalam studi tersebut kesepuluh negeri ini dikelompokkan ke dalam Pencemar Berat. Mereka dituding paling bertanggung jawab terhadap polusi udara di Eropa. Kesepuluh negeri itu adalah Uni Soviet (25,5 juta metrik ton), Inggris (4,25 juta), Jerman Timur (4 juta), Jerman Barat (3,51 juta), Cekoslowakia (3,37 juta), Italia (3,07 juta), Prancis (2,89 juta), Polandia (2,5 juta), Spanyol (2,09 juta), dan Rumania (2 juta). Akibat apakah yang bisa ditimbulkan sulfur dioksid pada manusia, hingga para ilmuwan tampaknya begitu sibuk? "Pada konsentrasi 0,19 ppm di udara terbuka, selama 24 jam, SO2 sudah membahayakan manusia," ujar Dr. R.T.M. Sutamihardja, M.Ag.Chem., kepada TEMPO, Selasa pekan lalu. Menurut Pembantu asisten I Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup itu, SO2 bisa menyebabkan "gangguan sistem pernapasan, dapat menimbbulkan kanker, bahkan kematian pada penderita bronchitis akut." SO2, yang berasal dari proses pembakaran batu bara dan minyak bumi itu, tidak berwarna dan tidak dapat terbakar. Pada konsentrasi 0,3 sampai 1 ppm, ia bisa berbau. Gas ini dapat berubah menjadi SO3, dan dalam kelembaban yang tinggi serta kulminasi maksimal dapat membentuk asam (H2SO4). Untunglah, di Indonesia, "syarat hujan asam belum terpenuhi," kata Sutamihardja, 44 tahun. Polusi SO2 belum mencapai batas kulminasi maksimal. Kita ditolong oleh letak geografis yang menguntungkan. Yaitu pulau yang bertebaran dengan lautan perantara, serta perbatasan yang relatif jauh dari negara-negara industri berat. Namun, kuda-kuda harus dipasang sejak sekarang. Di beberapa kota besar, angka pencemaran SO2 sudah melebihi batas maksimal kualitas udara yang diperkenankan. Penelitian kualitas udara sudah dilakukan di Jakarta, Bogor, Bandung, Denpasar, Medan, Palembang, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Lokasi penelitian terutama dipusatkan di kawasan pengembangan, yaitu daerah transportasi, perdagangan, permukiman, industri, dan rekreasi. Undang-undang yang mengatur kualitas udara secara nasional memang belum ada. Tetapi untuk Jakarta, ada ketentuan khusus yang diatur Surat Keputusan Gubernur DKI, 1980. Dari hasil pelacakan tim interdepartemen (kesehatan, perindustrian, kependudukan dan lingkungan hidup), tahun lalu, Jakarta dibagi dalam empat kelompok penelitian. Untuk daerah perdagangan, Blok M ternyata mencatat angka SO2 paling tinggi, antara 0,0003 sampai 0,654 ppm. Untuk kelompok transportasi, Cililitan paling tinggi. Untuk daerah industri, Pulo Gadung mencatat buangan sulfur dioksid paling tinggi, sekitar 0,0009-0,5606 ppm. Untuk daerah rekreasi, Taman Mini Indonesia Indah paling tinggi. Untuk daerah permukiman, jangan kaget, Menteng (Jakarta Pusat) ternyata paling berat kadar SO2-nya, sampai 0,731 ppm. Mengapa? "Mungkin karena arus lalu lintas di kawasan itu lebih padat," sahut Sutamihardja. Kualitas udara yang mengandung SO2 cukup tinggi dapat menimbulkan reaksi fotokimia, menurunkan daya penglihatan. Juga sangat korosif terhadap logam besi, tembaga, aluminium, seng, dan mudah melunturkan cat. Pada tanaman ia merusak chlorophyl, sehingga mengganggu proses fotosintesis. Bahkan dalam konsentrasi tinggi, ia merusak tulang daun dan menyebabkan kerontokan. Dari sembilan kota yang diteliti, baru Jakarta yang bisa memberikan gambaran agak lengkap dan menyeluruh. Kota lain di Indonesia umumnya mengisyarakatkan kandungan SO2 lebih rendah. Untuk Jakarta kualitas udara yang diperkenankan adalah 0,1 ppm.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus