BERAPA ribu jumlah orang Madura di kota Surabaya belum
diketahui ceara pasti. Yang jelas, di mana-mana bilangan kota
buaya ini hampir selalu kita temui mereka. Setidaknya
abang-abang becak yang tampaknya keras setengah mendesak
memaksakan kemauannya agar kita menumpangi becak yang
digenjotnya denan gigih bersimbah peluh. Ada semacam
kegamangan pendatang-pendatang awam yang barusan menginjak bumi
Surabaya naik becak dengan bagasi penuh. Takut ditodong atau
disesatkan oleh sementara pembecak Surabaya yang konon ada yang
sampai memaksa membayar di atas tarif yang sesungguhnya. Di
terminal bis Wonokromo ataupun di terminal taksi kota Jembatan
Merah. Bahkan Nyamplungan dan Ampel yang kelihatannya tenang, di
mana juga banyak orang Banjar berhuni, banyak pendatang di sini
yang membisikkan: "daerah ini adalah Texas-nya Surabaya".
Mengapa begitu? "Di sini sering kejadian jambretan dan
koboi-koboian". Tapi jangan kuatir, tidak sembarang orang yang
dijambret, biasanya yang berpakaian mewah", ujar seoran
penhuni kampung Nyamplungan. Entah bagaimana kepastiannya perlu
diteliti.
Orang Madura di kota Surabaya umumnya banyak tinggal di bagian
utara. Bolodewo, Wonokesumo, Sawah Pulo, Ampel atau pun
Nyamplungan. Mereka tidak begitu mementingkan tempat tinggal,
pakaian ataupun kesehatan lingkungan. Kalau perlu tinggal
rerompok ataupun rumah petak, bersesak-sesak beranak pinak.
Tetapi mereka rajin dan gigih. Mereka memanfaatkan etiap waktu
dan barang yang bisa diunakan, betapapun sepelenya. Di Bolo
dewo misalnya, kita lihat tumpukan potongan seng, potonan
limbahan kayu yang lumayan banyak diangkut bergerobak-gerobak
entah ke mana. Sementara lelaki dan wanitanya asyik berketok
keletok entah bertukang apa saja hingga larut malam: membuat
peti. membuat keranjang dan macam-macam.
Udeng
Di Jalan Demak yang bersuasana Madura terdapat pasar baran
ronsokan dari segala macam keperluan hidup. Apa saja keperluan
kecil yang tak ada dijual di toko ada di sini. Tak heran bila
pada hari-hari libur yang santai banyak juga penduduk Surabaya
berbelanja ke sini untuk mencari keperluan lain lagi di Bibis.
Di sini ada tulang-tulang yang bisa memperbaharui kembang
(drat) mobil yang sudah lusuh bisa disulap menjadi baru kembali.
Ada sopir mobil dinas yang tukar tambah ban mobilnya sehingga
mungkin majikannya tak mengira, bahwa ban mobilnya adalah bekas.
Di Eibis ini pula bisa ditemuibarang-barail onderdil kendaraan
kita yang hilang kena copot di jalan. Jika tutup tangki bensin,
lampu merah, dop mobil hilang, coba-coba carilah di Bibis. Tapi
dengan catatan: anda harus beli. Mengapa begitu'? Nah, kalau
kita kebetulan tongpes alias kantong kempes, bungkus saja
pakaian berangkat ke Jalan Gembong, pasti dapat uang dengan
melemparkan bun kusan itu. Makin banyak rombengan makin gembung
saku kita. Ini pasar loak.
Di mana-mana orang Madura umumnya adalah pemburu rezeki yang
ulet. Tidak itu saja. Mereka amat irit mengeluarkannya. "Orang
Madura kalau dapat perolehan Rp 100, ia belanjakan cuma Rp 30,
paling banyak Rp 50. Selebihnya ditabung", ucap seorang Madura
terpelajar dari Bolodewo. Tambahnya: "Anda harap maklum,
tukang-tukang becak yang mangkal di seberang itu kelihatannya
begitu saja. Padahal di Madura sana paling tidak ia punya seekor
sapi dari hasilnya mengumpul uang di Surabaya". Begitulah,
Surabaya merupakan ladangnya orang Madura memaneni rezeki apa
saja yang bisa digarapnya. Dengan pakaian lusuh, di pinggangnya
ada tersimpan sekian gram emas dari hasil tabungan. Lelaki
Madura yang pakai "udeng" alias destar khas Madura yang berharga
antara Rp 35.000-Rp 50.000 konon sudah dianggap sebagai punya
standar sosial sugih. Jalannya berlenggang anggun. Tapi bukan
udeng tujuannya atau ukuran sosialnya. Serban dan kopiah haji,
naik haji ke Mekkah, itulah idam-idaman terakhir orang Madura.
Tak heran, kabarnya penjual rokok dengan gerobak dorong di
Tunjungan Surabaya itu umumnya telah bertitel haji. Dari hasil
menjual rokok macam-macam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini