30 buah lukisan Angkama dan 30 lagi dari isterinya, Sulaeha,
yang dipamerkan di Balai Budaya (23 - 30 Desember) berbicara
tentang pengaruh dan kemurnian. Angkama yang 62 tahun, dengan
jujur mengatakan tertarik pada karya van Gogh, Gauguin, Cezanne,
Hsia Kuei, Tai Chiu, Hokusai, Hiroshige - benar-benar meraba
kanvas dengan teknik pengungkapan yang dibebani oleh berbagai
pengaruh. Dalam lukisan Pemandangan 16 dan 7 misalnya, yang
memperlihatkan bukit, tegalan dan langit, jelas sekah irama
sapuan kwas van Gogh yang menjiwainya. Ini berbeda dengan
isterinya yang baru 3, tahun belajar melukis. Masih
tersaruk-saruk dalam memahirkan teknik, tanpa
pengertian-pengertian dasar tentang komposisi, toh memamerkan
lukisan sepeiti Wayang, Bunga, Potret, Perpandangan yang kalau
boleh dikalahkan menyarankan keluguan "isi" seperti. Yang Mau
digapai oleh seorang Suparto, misalnya.
Memberontak Identitas Sendiri
Sebagai akibatnya, lukisan Angkama terasa lebih manis. Karena
kemahirannya kadangkala menjadi keasyikan. Lukisan Pemandangan
2, S dan 9 misalnya, yang mengambil objek Bali, lebih bersifat
sentuhan sekilas terhadap objek. Ilariya menangkap hal-hal baik
saja tidak menangkap ciri khusus objek, tetapi juga tidak
menampilkan dialog apa-apa dari subjek pelukis. Yang jelas
adalah usaha merekam sesuatu dari sudut pandangan yang menurut
format kanvas paling menguntungkan, ditambah sapuan kuas yang
sedikit memberi gaya tetapi bukan ekspresi.
Sementara itu Sulaeha dengan kejujurannya memang tak sempat
menampilkan keindahan-keindahan yang bisa dipajang, meskipun ia
bertolak dari alam sekitarnya - artinya mencoba menangkap sosok
kehidupan nyata. Tetapi di balik kekurang trampilannya,
terbersit suara hati seorang wanita yang mencoba memahami
sekitarnya dengan sangat sederhana. Tidak untuk mengatakan bahwa
Sulaeha lebih baik dari Angkama. Tetapi sekedar menggambarkan
bahwa ketertarikan Angkama pada van Gogh misalnya, hanya
berakhir pada teknik. Sementara Sulaeha yang, tak mengandalkan
apa-apa kecuali perasaan-perasaannya sendiri, dengan tak sengaja
sudah mengucapkan keluguan yang oleh beberapa seniman dikejar
dengan getol. Hanya unsur ketidak-sengajaan pada Sulaeha memang
membuat lukisannya sekedar menyentuh dan mengingatkan tanpa
dibarengi penekanan yang gempal. Lukisan tersebut, "tekniknya
yang tanpa teknik" itu yang menarik sementara isinya hanya
kebetulan-kebetulan. Kebetulan itu bisa jadi masaalah besar
kalau ketemu dengan jiwa "penonton" yang memang ngebet sedang
mencari keluguan, atau yang haus pada kemurnian sebagai
protesnya terhadap. amukan pengaruh. Biasanya pelukis yang
begini, segera- sesudah bertambah trampil dan lincah menguasai
teknik, mulai kehilangan kebetulan. Lalu muncul pribadi
sesungguhnya yang justru mulai mereguk pengaruh-pengasuh.
Sementara itu tumpukan pengaruh dalam lukisan Angkama masih
mempunyai kemungkinan kejenuhan, pribadi yang bisa melahirkan
sikap memberontak identitasnya sendiri - sehingga akan lahir
hasil-hasil yang lebih orisinil. Hasil-hasil yang justru akan
membalik membabat teknik, dan mendongakkan pribadi pelukis.
Tidak lagi untuk menemukan kebetulan-kebetulan seperti Sulaeha,
tetapi menampilkan kemurnian yang diyakini dan ditangkap jiwa
dengan sengaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini