SEJUMLAH lukisan, milik beberapa orang kolektor, telah dianggap
mewakili kehadiran seni lukis Indonesia sejak Raden Saleh.
Sebagian besar lukisan-lukisan ini plus beberapa buah patung
adalah milik Direktorat Pembinaan Kesenian di mana ada seorang
Kusnadi yang kritikus, pelukis dan juga selalu merindukan sebuah
museum seni lukis nasional. Bertempat di Balai Pertemuan Mitra
Budaya di jalan Tanjung. Jakarta, dipamerkanlah karya-karya
tersebut - sebagai permulaan dari niat besar untuk
menyelenggarakan' pameran terus-menerus dari hasil-hash karya
yang bermutu tetapi belum punya kandang tetap itu.
Melihat harta yang masih tersia tersebut, satu hal telah
tersampaikan. Bahwasanya seni .lukis Indonesia modern tetap
berlangsung walaupun tanpa kejutan-kejutan yang jelas. Raden
Saleh memang telah meletakkan batu kepercayaan pada pelukis
pribumi, yang mem. buat mereka menyadari bakat melukis yang
besar pada bangsa ini. Basuki Abdullah meneruskan menggarap
bentuk dengan cara naturalis, tetap mempertahankan kanvas
sebagai pencurahan perasaan romantis yang kadangkala memperkosa
kenyataan untuk keindahan-keindahan yang murni. Realisme bentuk
ini memperkaya seni lukis Indonesia dengan studi terhadap
bidang, garis warm, anatomi serta komposisi yang manis-manis.
Lukisan menjadi madu. tempat berlepas lelah, tempat memandang
dan berpaling dari segala kenyataan yang ruwet.
Diteruskan oleh Sudjojono. Ia menambahkan faktor
"realisme-dalam" kepada kemahiran menangkap bentuk itu.
Watak-watak manusia yang berbeda, konflik sosial,
persoalan-persoalan di sekitar sasaran yang membentuk objek
dalam kehidupan, mulai diperhitungkan. Sehingga kanvas tidak
hanya merupakan barang pajangan tetapi juga suara individu
terhadap kehidupan di sekitarnya. Potret Istriku, Yang-
diikutkan dalam pameran ini, memperlihatkan dengan jelas
persoalan manusia yang konkrit - dibandingkan dengan sosok
seorang gadis cantik dari Basuki Abdullah - yang kendati hanya
memakai dua buah warna toh terasa, melaporkan kecantikan.
Magis
Kemudian kita berhadapan dengan bara emosi Affandi yang
menangkap kejutan-kejutan perasaan dengan cara lebih merongrong,
sehingga bentuk bila perlu tidak usah disetiai. Sementara itu
Sudarso Sp meneruskan naturalisme dalam kanvas dengan memberikan
penekanan pada alam Indonesia. Alam yang masih murni
ditonjolkan, sementara kedamaian hidup pedusunan dan orangorang
biasa direkam kadangkala dengan mengeluarkan. subyek-subyek itu
dari kaitan kepahitan sehari-hari mereka. Lalu terlihat pula
Rusli, Oesman Effendi, yang memberikan kontemplasi pada kanvas
dengan garis-garisnya yang melukai bidang kanvas dengan efisien
dan sugestif. Terlihat pula Agus Djaya dan Otto-Djaya, yang
memberikan suasana magis dan naif sebagai bahan untuk
memantapkan objek, sehingga lukisan tidak menjadi hanya hiasan.
Di sini suasana mulai beragam. Aliran-aliran tidak lagi menjadi
terlalu penting, karena pelukis-pelukis berbagai macam aliran
hidup bersama-sama. Lalu adalah tokoh-tokoh seperti Suparto dan
Mulyadi yang bermula dari keluguan menangkap kehidupan pada
beberapa momen yang mengharukan. Ada bentuk-bentuk yang
memperlihatkan ketajaman observasi dan ketrampilan teknis. Ada
juga arus puisi dalam penggambaran sehingga bidang kanvas
mencampurkan lamunan-lamunan yang toh masih bertolak dari
bentuk-bentuk wajar. Terlihat dua ekor kucing dari Suparto,
misalnya, yang seperti diucapkan oleh naluri kanak-kanak. Atau
seorang bocah naik kuda dengan warna memutih dan tarikan garis
yang bukan main lembutnya dari Mulyadi.
Tetapi bersamaan dengan itu pula sikap memandang kehidupan telah
berubah. Segala emosi tetap balik kembali berulang-ulang, tetapi
para pelukis menanggapinya dengan cara berbeda. Kontemplasipun
semakin banyak menjadi dorongan setiap sapuan dalam kanvas.
Perubahan cara memandang kehidupan ini menelurkan
lukisan-lukisan Srihadi, Popo Iskandar, Kaboel, Piroes, Zaini
dan sebagainya - yang mencerminkan hidup semakin - kompleks,
sementara para pelukis hanya sanggup menggapai sebagian-sebagian
dari kenyataan. Adapun Nashar dan Danarto misalnya, adalah
contoh sikap jiwa yang menolak berhubungan dengan wadag dari
kenyataan. Kedua orang ini menjadi contoh, gerakan yang kem6ali
kepada intuisi yang boleh saja terasa lari dari problem sosial.
Nashar lebih cenderung pada institusi warna yang menimbulkan
daya, pukau magis. Sementara Danarto, melihat lukisannya dalam
pameran ini, melalui bentuk-bentuk mencoba-berbicara tentang
esensi manusia yang pada akhirnya menjadi religius - meskipun
tidak terang-terangan. Demikianlah bila ditafsir-tafsirkan.
Mahal
Dalam patung, kita lihat ketrampilan Eddy Subarso hidup bersama
dengan gerak intuitif dari seorang Cokot. Ada maksud untuk
mengolah materi-materi sederhana bagi mengungkapkan keinginan
berekspresi yang kompleks. Tak banyak diperlihatkan perjalanan
seni patung pribumi pada kesempatan ini. Memang akhirnya
kehadiran sebuah museum sangat diperlukan untuk menempatkan
segala karya yang disimpan. Tetapi jauh lebih baik lagi adalah
memanfaatkannya sebagai harta - yang sekarang sudah berada di
tangan Direktorat yang perlu diperlihatkan kepada
peminat-peminatnya di seluruh Indonesia. Sesudah memahami faktor
biaya mungkin akan menjadi persualan, mengelilingkan koleksi ini
dan mengendapkannya di daerah untuk beberapa bulan sambil
menunggu berdirinya sebuah museum, 'barangkali lumayan.
Ketimbang dijejalkan dalam gudang atau dinding-dinding yang
hanya dilihat orang-orang tertentu saja. Soalnya harganya 'kan
mahal.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini