Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DANIEL Kok meminta para penari berinteraksi dengan benang. Koreografer asal Singapura yang menetap di Belgia itu menginginkan mereka membuat eksplorasi. "Tak ada yang salah dan benar," katanya. Lima belas koreografer muda dari berbagai kota yang mengikuti workshop riset artistik yang diadakan Indonesia Dance Festival di Ubud Hotel, Malang, Jawa Timur, tampak serius.
Benang itu mereka gerakkan atau seolah-olah benang yang menggerakkan mereka. Mereka antara lain Harry Ghulur, Otniel Tasman, dan Ari Ersandi. Termasuk penata tari muda Malang, Anny Meilia Shofa. Selain Daniel yang menjadi mentor workshop selama seminggu itu, ada koreografer Belgia, Arco Renz; perupa Nindityo Adipurnomo; dan teaterwan Joned Suryatmoko. Keempat seniman ini memiliki pengalaman yang berbeda tentang riset. Itu yang menarik.
Daniel, misalnya. Lelaki berkepala plontos dengan tubuh atletis itu dikenal mendalami berbagai genre tari subkultur yang mungkin bagi para penari adiluhung dianggap kelas dua. Dari tari cheerleader sampai dunia penari telanjang (stripper). Kepada peserta workshop, ia membagikan makalah yang tak lazim, berjudul Peraturan-peraturan Terlibat di dalam Tarian Telanjang. Lalu ia menyajikan video cuplikan-cuplikan pentasnya.
Di antaranya Bunny, yang digarapnya bersama seniman Australia, Luke George. Konsep karya ini: bondage atau ikat-mengikat tubuh. Di panggung terjadi interaksi saling ikat dengan penonton. Ia sendiri digantung melayang dalam keadaan terikat. Pada The Stripper's Practice, ia menyajikan karya yang memposisikan penonton seperti di klub tari telanjang. "Di klub-klub tari telanjang, hasrat penonton tidak terpenuhi. Seks yang sesungguhnya tidak terjadi di sana," tuturnya.
Daniel membuka mata bahwa bentuk tari hiburan malam, yang sering dianggap picisan, bisa menjadi bahan karya kontemporer. "Saya menginginkan penonton masuk dunia yang saya buat," katanya. Daniel sendiri mahir dalam tarian tiang (pool dance). Dalam sebuah pentas di Festival Tokyo, pernah ia membagikan kepada penonton catatan hariannya berkencan dengan banyak sahabatnya. Lalu ia kemudian bertelanjang dada meliuk-liuk di sebuah tiang dengan kemampuan akrobatik tinggi.
Adapun Arco Renz tak asing lagi bagi kalangan tari kontemporer kita. Beberapa kali ia menyajikan karya di sini. Selalu minimalis tapi kuat. Heroine, yang pernah ditarikan tunggal oleh penari Taiwan, Su Wen-Chi, di Taman Ismail Marzuki, misalnya, hanya berbekal sorot cahaya minim. Su Wen-Chi bergerak di satu titik. Geraknya intens diulang-ulang. Rasa keindahan muncul manakala cahaya itu menampilkan kekuatan otot-ototnya. Arco mengatakan karya-karyanya bertolak dari percobaan tubuh, bukan dari konsep sosiologis yang sudah jadi. "Sering saya mengalami keterbatasan kata-kata. Tari bagi saya adalah bahasa di mana kata-kata tidak bisa mencapainya," ucap Arco. Sementara itu, Nindityo menekankan agar koreografer keluar dari zona nyaman. "Seniman harus menyeberang ke daerah yang tidak nyaman," ujarnya.
Arco mengajak peserta mempelajari teknik napas merasakan gerak dalam. Setelah itu, para penari diminta melakukan gerak tari dari khazanah masing-masing berdasarkan teknik napas tersebut. Daniel menantang peserta melakukan gerakan tari sesuai dengan dasar gerak mereka masing-masing tapi dengan lima intensitas, yakni intensitas rendah, lemah-lembut, sehari-hari, kuat, dan ekstrem. Latihan gerak selama satu jam itu menguras energi para peserta. Tubuh mereka bercucuran keringat. Yang menarik juga, tatkala praktek dilakukan, ada beberapa penari membawa kursi ke kolam renang dan mengeksplorasinya.
Yang terasa dari workshop ini adalah tari diperluas batas-batasnya. Peserta terperanjat tatkala Nindityo menampilkan foto-foto performance-nya makan siang di tengah-tengah lokasi lembah pembuangan sampah di Yogya yang banyak berkeliaran puluhan sapi. "Sapi-sapi itu ternyata milik pemulung. Mereka sebenarnya kaya," kata Nindityo. Atau saat di Jepang, tatkala Nindityo mengumpulkan potongan rambut dari sebuah salon. Bahwa yang demikian bisa menjadi titik tolak sebuah karya, membuat Harry Ghulur terbuka bahwa koreografi bisa dimulai dari apa pun. "Workshop ini mengajari saya bagaimana mencari dan menemukan ide lalu bagaimana memvisualkannya," ujar Harry.
Eko Widianto, Seno Joko Suyono (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo