JANGAN heran mendengar singkatan "Makota tobiligo". Ini bukan
benda penghias kepala lambang kebesaran seorang raja di Sulawesi
Utara. Hanya singkatan nama ketujuh ibukota dati dua di propinsi
Sulawesi Utara. Yaitu Manado, Kotamobagu, Tahuna, Tondano,
Bitung, Limboto dan Gorontalo. Di antara ketujuh kota ini,
Limboto adalah kota nan bungsu. Setidaknya dilihat dari usia dan
pembangunan kotanya. Sebab ibukota Kabupaten Gorontalo ini,
praktisnya baru mulai tumbuh dan populer di Sulut sejak tahun
1971, meskipun kelahirannya boleh dihitung mulai 1962.
Sejarah kelahirannya pun bak anak yang lahir di luar perkawinan
sah. Sebab menurut Undang-Undang No. 29 tahun 1959 tentang
pembentukan Daerah Tingkat dua Kabupaten Gorontalo, "ibukotanya
adalah Isimu, bukan Limboto", tutur Hamid Hasan Bsc. Tapi apa
boleh buat, menurut Kahubmas Kabupaten Gorontalo ini, "dari
segi historis orang Limboto lebih kuat" selorohnya mengungkap
keunggulan orang Limboto yang berhasil memindahkan ibukota ini
lewat lembaga DPRD GR di sekitar tahun 1962.
Adapun Isimu di Kecamatan Tibawa yang bertetangga dengan Limboto
(juga sebagai Kecamatan), memang di zaman itu bernasib naas.
Belum sempat ia mengecap pangkatnya sebagai ibukota kabupaten
sesuai UU No.29 itu, telah dicaplok tetangga. "Mungkin orang
Isimu yang jadi wakil rakyat waktu itu, kalah banyak dengan
orang Limboto" ucap seorang tokoh daerah ini. "Lagipula
peraturan atau undang-undang di zaman itu gampang dipreteli",
tambahnya.
Agar Diralat
Terjadinya sewaktu masa peralihan. Gorontalo dipecah dua menjadi
Kotamadya dan Kabupaten. Yang Kabupaten segera membenahi
markasnya lalu pindah ke Kecamatan Telaga di pinggiran kota.
Kelihatannya memang beralasan sebab Isimu belum siap menerima
pangkatnya dengan fasilitas perkantoran. Tetapi siapa sangka ada
niat lain di hati Bupati Wahab waktu itu. Kemudian di ketahui
Kantor Bupati dan rumah jabatan dibangun di Limboto bukan Isimu.
Tak urung orang Isimu memprotes. Dan ketika Gubernur Worang
meninjau pertama ke daerah itu di tahun 1967, masih nampak
poster-poster menghadang jalan: "Pindahkan Ibukota Gorontalo ke
Isimu". Tapi agaknya suara-suara ini dibiarkan parau tak
digubris. Limboto meskipun selaju siput tetap membangun diri
sebagai Ibukota. Adapun alasannya, Limboto bekas kedudukan
kerajaan Limboto dahulu kala. Mungkin ini yang dimaksud dengan
hak historis. Dan di zaman Pelita ini, suara-suara dari Isimu
itu tak pernah berdengung lagi. Kecuali ada yang mengingatkan
Mendagri sewaktu berkunjung ke daerah itu, bahwa UU No.29/59
rasanya sudah wajar untuk diralat.
Sama Saja
Lebih dari itu, lenyapnya gunjing soal ibukota ini, karena
melihat pertumbuhan Limboto sebagai ibukota, sekarang-boleh jadi
kebanggaan orang Gorontalo. "Melihat perkembangan yang ada, dan
jarak yang hanya dekat saja, Isimu atau Limboto sama saja", ucap
Syuaib N.H. ayahanda (kepala desa) Datahu yang desanya nyaris
jadi ibukota. Begitupun Bupati Gorontalo, Kasmat Lahay, yang
bukan orang Limboto, tak pernah mengungkit soal lama ini. Ini
setidaknya dapat dilihat dari semangat Kasmat Lahay membenahi
kotanya selama ini. Walaupun kota yang belum pernah termaktub
dalam peta Adinegoro ini praktis mulai dibangun 1971,
kelihatannya sudah cukup galak juga. Kesan pertama adalah soal
kerapihannya. Dari bandar udara Jalaludin yang duduknya di
Isimu, Limboto bisa dicapai dengan mobil dalam seperempat jam
liwat jalan raya yang ditudungi tanaman pohon turi sebagai
tanaman penghijau dan penghias.
Berpenduduk hanya 38.000 jiwa, Limboto yang kedudukannya di desa
Kayuwulan, sudah punya banyak gedung megah mengisi fasilitas
perkotaan. Dari depan kantor Bupati yang berdampingan dengan
gedung DPRD, nampak berbagai gedung baru tercogok di tengah
lapangan yang luas dan rata. Gedung Prasamya Purnakarya Nugraha,
untuk mengenang anugerah Presiden bagi Kabupaten Gorontalo
dibangun dengan biaya Rp 32 juta swadaya masyarakat. Yang patut
diingat pula, kota bungsu ini acapkali diberi oleh-oleh
penggede. Misalnya kompleks Islamic Centre Gorontalo yang kini
sudah menghasilkan tiga angkatan kader pembangunan, ini hadiah
Presiden Soeharto kepada Yayasan Islamic Centre Gorontalo
sebesar 50 juta rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini