Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lahir tak sah

Limboto, sebagai ibu kota gorontalo tampaknya sudah mantap. soal pemindahan dari isimu yang sering di- pergunjingkan tak kedengaran lagi. kini, pertumbuhan limboto mengagumkan.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN heran mendengar singkatan "Makota tobiligo". Ini bukan benda penghias kepala lambang kebesaran seorang raja di Sulawesi Utara. Hanya singkatan nama ketujuh ibukota dati dua di propinsi Sulawesi Utara. Yaitu Manado, Kotamobagu, Tahuna, Tondano, Bitung, Limboto dan Gorontalo. Di antara ketujuh kota ini, Limboto adalah kota nan bungsu. Setidaknya dilihat dari usia dan pembangunan kotanya. Sebab ibukota Kabupaten Gorontalo ini, praktisnya baru mulai tumbuh dan populer di Sulut sejak tahun 1971, meskipun kelahirannya boleh dihitung mulai 1962. Sejarah kelahirannya pun bak anak yang lahir di luar perkawinan sah. Sebab menurut Undang-Undang No. 29 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tingkat dua Kabupaten Gorontalo, "ibukotanya adalah Isimu, bukan Limboto", tutur Hamid Hasan Bsc. Tapi apa boleh buat, menurut Kahubmas Kabupaten Gorontalo ini, "dari segi historis orang Limboto lebih kuat" selorohnya mengungkap keunggulan orang Limboto yang berhasil memindahkan ibukota ini lewat lembaga DPRD GR di sekitar tahun 1962. Adapun Isimu di Kecamatan Tibawa yang bertetangga dengan Limboto (juga sebagai Kecamatan), memang di zaman itu bernasib naas. Belum sempat ia mengecap pangkatnya sebagai ibukota kabupaten sesuai UU No.29 itu, telah dicaplok tetangga. "Mungkin orang Isimu yang jadi wakil rakyat waktu itu, kalah banyak dengan orang Limboto" ucap seorang tokoh daerah ini. "Lagipula peraturan atau undang-undang di zaman itu gampang dipreteli", tambahnya. Agar Diralat Terjadinya sewaktu masa peralihan. Gorontalo dipecah dua menjadi Kotamadya dan Kabupaten. Yang Kabupaten segera membenahi markasnya lalu pindah ke Kecamatan Telaga di pinggiran kota. Kelihatannya memang beralasan sebab Isimu belum siap menerima pangkatnya dengan fasilitas perkantoran. Tetapi siapa sangka ada niat lain di hati Bupati Wahab waktu itu. Kemudian di ketahui Kantor Bupati dan rumah jabatan dibangun di Limboto bukan Isimu. Tak urung orang Isimu memprotes. Dan ketika Gubernur Worang meninjau pertama ke daerah itu di tahun 1967, masih nampak poster-poster menghadang jalan: "Pindahkan Ibukota Gorontalo ke Isimu". Tapi agaknya suara-suara ini dibiarkan parau tak digubris. Limboto meskipun selaju siput tetap membangun diri sebagai Ibukota. Adapun alasannya, Limboto bekas kedudukan kerajaan Limboto dahulu kala. Mungkin ini yang dimaksud dengan hak historis. Dan di zaman Pelita ini, suara-suara dari Isimu itu tak pernah berdengung lagi. Kecuali ada yang mengingatkan Mendagri sewaktu berkunjung ke daerah itu, bahwa UU No.29/59 rasanya sudah wajar untuk diralat. Sama Saja Lebih dari itu, lenyapnya gunjing soal ibukota ini, karena melihat pertumbuhan Limboto sebagai ibukota, sekarang-boleh jadi kebanggaan orang Gorontalo. "Melihat perkembangan yang ada, dan jarak yang hanya dekat saja, Isimu atau Limboto sama saja", ucap Syuaib N.H. ayahanda (kepala desa) Datahu yang desanya nyaris jadi ibukota. Begitupun Bupati Gorontalo, Kasmat Lahay, yang bukan orang Limboto, tak pernah mengungkit soal lama ini. Ini setidaknya dapat dilihat dari semangat Kasmat Lahay membenahi kotanya selama ini. Walaupun kota yang belum pernah termaktub dalam peta Adinegoro ini praktis mulai dibangun 1971, kelihatannya sudah cukup galak juga. Kesan pertama adalah soal kerapihannya. Dari bandar udara Jalaludin yang duduknya di Isimu, Limboto bisa dicapai dengan mobil dalam seperempat jam liwat jalan raya yang ditudungi tanaman pohon turi sebagai tanaman penghijau dan penghias. Berpenduduk hanya 38.000 jiwa, Limboto yang kedudukannya di desa Kayuwulan, sudah punya banyak gedung megah mengisi fasilitas perkotaan. Dari depan kantor Bupati yang berdampingan dengan gedung DPRD, nampak berbagai gedung baru tercogok di tengah lapangan yang luas dan rata. Gedung Prasamya Purnakarya Nugraha, untuk mengenang anugerah Presiden bagi Kabupaten Gorontalo dibangun dengan biaya Rp 32 juta swadaya masyarakat. Yang patut diingat pula, kota bungsu ini acapkali diberi oleh-oleh penggede. Misalnya kompleks Islamic Centre Gorontalo yang kini sudah menghasilkan tiga angkatan kader pembangunan, ini hadiah Presiden Soeharto kepada Yayasan Islamic Centre Gorontalo sebesar 50 juta rupiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus