DI bawah ini adalah komentar beberapa tokoh kesenian tentang
peran Seni Rupa Indonesia Baru yang ramai itu.
DANARTO, pelukis, penulis cerita pendek
Gerombolan Seni Rupa Baru benar-benar sebuah angkatan yang
membuka pikiran dan tradisi baru dengan cara melompat. Hampir
tak ada kaitan dengan senirupa sebelumnya di Indonesia. Memang
itu sebenarnya tak perlu. Misalkan kita menyeberangi lautan atau
sungai, 'kan tak perlu harus membuat jembatan terlebih dahulu.
Mereka telah menggarap lingkungan, mengamati secara tajam
gejala sosial politik. Mereka mampu mengungkapkannya dengan
berhasil. Yang beruntung - dari gerombolan itu -- tidak saja
para anggotanya cerdas-cerdas tetapi juga mereka memiliki
jubir-jubir yang fasih. Misalnya Sanento Yuliman D.A. Peransi,
Goenawan Mohamad Sudarmadji, di samping juga Jim Supangkat
sendiri. Hal ini tidak kita miliki dalam perkembangan teater
Indonesia pada masa ini, yang juga sibuk dengan
pembaruan-pembaruan.
Dalam karya-karya mereka yang terpenting adalah kemampuan
mewujudkan idea. Soal Barat-Timur, tidak penting lagi. Untuk itu
misalnya saya terkesan oleh karya-karya Harsono yang saya
anggap sebagai puisi yang berhasil - meskipun dalam karya Taman
saya mendapat kesan monoton karena material daun yang
dipergunakannya kurang kemungkinan imajinasi. Nama lain yang
perlu dicatat adalah Muni Ardhie, Satyagraha. Karya Jim
berjudul Pemecaahan Ketuban, perlu dicatat dalam hubungannya
dengan asosiasi lahirnya Seni Rupa Baru. Sebagai saat hadirnya
peluang bagi kemungkinan-kemungkinan lain.
BAGONG KUSSUDIARDJO, pelukis, penari
Grup ini telah melaksanakan sesuatu yang belum pernah dijamah
oleh pelukis senior sebelumnya. Pertanyaan saya, apakah mereka
nantinya dapat terus mempertahankan diri untuk melakukan hal
yang semacam ini. Saya takut kalau ini hanya semacam eksperimen,
tanpa didasari oleh alasan konsep atau pikir yang kuat. Hanya
waktu nanti yang mengujinya.
Terhadap pemakaian benda orang lain, sebagai bagian dari karya
mereka, saya tidak keberatan. Bahkan seandainya mereka
mempergunakan lukisan saya sebagai material, sebagai bagian dari
karya mereka, atau kalau perlu mempergunakan karya saya
sebagai karya mereka dengan pertanggungan jawab yang lain saya
tidak berkeberatan. Sejauh itu mempergunakannya sebagai
material. Kalau dalam soal hak Cipta itu soal lain - saya tetap
pada pendirian bahwa hak cipta itu bersifat mutlak dan pribadi.
ZAINI, pelukis, anggota komite senirupa DKJ
Bagi kita yang sudah pernah ke luar negeri dapat melihat apa
yang mereka pamerkan sudah ada di luar sana. Mereka terasa
meniru, meskipun memang tetap ada nafas lokalnya. Saya melihat
adanya pembawaan Indonesia misalnya saja dari kenyataan bahwa
mereka tidak muncul sebagai sesuatu yang murni "protes"
sebagaimana terjadi di Barat. Mereka di sini masih tetap
mempertahankan unsur kesenirupaannya sebagai sesuatu yang
penting. Ini jauh lebih penting dari tuntutan agar mereka
mempergunakan benda yang berbau lokal sebagai material. Bahkan
sering kita jumpai pada banyak karya yang menampilkan inti
problem lokal, meskipun secara teknis barangkali boleh saja
dianggap meniru.
Pertanyaan saya, bagaimana seandainya mereka muncul dalam
pameran sendirian.
UMAR KAYAM pengarang, sosiolog
Dibandingkan dengan pameran mereka sebelumnya, dari sudut
pertukangan mereka sudah lebih maju. Ya cara melukis seperti ini
memang banyak mengandalkan pada pertukangan. Kalau dari segi
sikap, dahulu mereka masih berada dalam persimpangan, kini sudah
lebih mantap.
Protes terhadap nilai estetis yang berlaku, masih sebagai
kelanjutan Desember Hitam (1974, ketika sejumlah pelukis muda
memprotes keputusan juri Biennale 1974). Mereka membuat
alternatip baru. Di sinilah saya belum puas. Kenapa dalam
mengungkapkan alternatip baru, mereka masih meniru pelukis
Barat, terutama Amerika. Mereka masih terpesona oleh botol Coca
Cola Andy Warhol. Padahal pelukis Amerika itu punya alasan
melukis semacam itu. karena Coca Cola bagian dari kultur mereka
yang hidup. Lukisan mereka belum mencerminkan lingkungan.
Waktu terjadi Desember hitam, saya marah kepada mereka karena
saya merasa ada sikap kesewenang-wenangan terhadap senilukis
yang lain. Tidak demokratis. Saya memberikan hak penuh kepada
mereka, tapi jangan paksa orang lain untuk menerima mereka.
MUNI ARDHI pelukis Senirupa baru
Orang-orang tua selalu menghakimi kami dengan mempertentangkan
Barat dan Timur. Pengertian Timur itu adalah pengertian mereka
sendiri. Saya curiga apakah mereka sendiri benar tahu tentang
Timur, atau tahunya lewat turis-turis itu. Misalnya saya
mempergunakan boneka - yang selalu dikatakan "Barat". Saya
mempergunakannya sebagai barang yang sejak kecil sampai sekarang
sudah saya lihat ada di Indonesia sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini