Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ada Yang Suka, Ada Yang Kurang Suka

Pendapat beberapa pelukis dan pengarang senior tentang pameran seni rupa indonesia baru.mereka memuji kemampuan kelompok seni rupa baru dalam mewujudkan ide.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah ini adalah komentar beberapa tokoh kesenian tentang peran Seni Rupa Indonesia Baru yang ramai itu. DANARTO, pelukis, penulis cerita pendek Gerombolan Seni Rupa Baru benar-benar sebuah angkatan yang membuka pikiran dan tradisi baru dengan cara melompat. Hampir tak ada kaitan dengan senirupa sebelumnya di Indonesia. Memang itu sebenarnya tak perlu. Misalkan kita menyeberangi lautan atau sungai, 'kan tak perlu harus membuat jembatan terlebih dahulu. Mereka telah menggarap lingkungan, mengamati secara tajam gejala sosial politik. Mereka mampu mengungkapkannya dengan berhasil. Yang beruntung - dari gerombolan itu -- tidak saja para anggotanya cerdas-cerdas tetapi juga mereka memiliki jubir-jubir yang fasih. Misalnya Sanento Yuliman D.A. Peransi, Goenawan Mohamad Sudarmadji, di samping juga Jim Supangkat sendiri. Hal ini tidak kita miliki dalam perkembangan teater Indonesia pada masa ini, yang juga sibuk dengan pembaruan-pembaruan. Dalam karya-karya mereka yang terpenting adalah kemampuan mewujudkan idea. Soal Barat-Timur, tidak penting lagi. Untuk itu misalnya saya terkesan oleh karya-karya Harsono yang saya anggap sebagai puisi yang berhasil - meskipun dalam karya Taman saya mendapat kesan monoton karena material daun yang dipergunakannya kurang kemungkinan imajinasi. Nama lain yang perlu dicatat adalah Muni Ardhie, Satyagraha. Karya Jim berjudul Pemecaahan Ketuban, perlu dicatat dalam hubungannya dengan asosiasi lahirnya Seni Rupa Baru. Sebagai saat hadirnya peluang bagi kemungkinan-kemungkinan lain. BAGONG KUSSUDIARDJO, pelukis, penari Grup ini telah melaksanakan sesuatu yang belum pernah dijamah oleh pelukis senior sebelumnya. Pertanyaan saya, apakah mereka nantinya dapat terus mempertahankan diri untuk melakukan hal yang semacam ini. Saya takut kalau ini hanya semacam eksperimen, tanpa didasari oleh alasan konsep atau pikir yang kuat. Hanya waktu nanti yang mengujinya. Terhadap pemakaian benda orang lain, sebagai bagian dari karya mereka, saya tidak keberatan. Bahkan seandainya mereka mempergunakan lukisan saya sebagai material, sebagai bagian dari karya mereka, atau kalau perlu mempergunakan karya saya sebagai karya mereka dengan pertanggungan jawab yang lain saya tidak berkeberatan. Sejauh itu mempergunakannya sebagai material. Kalau dalam soal hak Cipta itu soal lain - saya tetap pada pendirian bahwa hak cipta itu bersifat mutlak dan pribadi. ZAINI, pelukis, anggota komite senirupa DKJ Bagi kita yang sudah pernah ke luar negeri dapat melihat apa yang mereka pamerkan sudah ada di luar sana. Mereka terasa meniru, meskipun memang tetap ada nafas lokalnya. Saya melihat adanya pembawaan Indonesia misalnya saja dari kenyataan bahwa mereka tidak muncul sebagai sesuatu yang murni "protes" sebagaimana terjadi di Barat. Mereka di sini masih tetap mempertahankan unsur kesenirupaannya sebagai sesuatu yang penting. Ini jauh lebih penting dari tuntutan agar mereka mempergunakan benda yang berbau lokal sebagai material. Bahkan sering kita jumpai pada banyak karya yang menampilkan inti problem lokal, meskipun secara teknis barangkali boleh saja dianggap meniru. Pertanyaan saya, bagaimana seandainya mereka muncul dalam pameran sendirian. UMAR KAYAM pengarang, sosiolog Dibandingkan dengan pameran mereka sebelumnya, dari sudut pertukangan mereka sudah lebih maju. Ya cara melukis seperti ini memang banyak mengandalkan pada pertukangan. Kalau dari segi sikap, dahulu mereka masih berada dalam persimpangan, kini sudah lebih mantap. Protes terhadap nilai estetis yang berlaku, masih sebagai kelanjutan Desember Hitam (1974, ketika sejumlah pelukis muda memprotes keputusan juri Biennale 1974). Mereka membuat alternatip baru. Di sinilah saya belum puas. Kenapa dalam mengungkapkan alternatip baru, mereka masih meniru pelukis Barat, terutama Amerika. Mereka masih terpesona oleh botol Coca Cola Andy Warhol. Padahal pelukis Amerika itu punya alasan melukis semacam itu. karena Coca Cola bagian dari kultur mereka yang hidup. Lukisan mereka belum mencerminkan lingkungan. Waktu terjadi Desember hitam, saya marah kepada mereka karena saya merasa ada sikap kesewenang-wenangan terhadap senilukis yang lain. Tidak demokratis. Saya memberikan hak penuh kepada mereka, tapi jangan paksa orang lain untuk menerima mereka. MUNI ARDHI pelukis Senirupa baru Orang-orang tua selalu menghakimi kami dengan mempertentangkan Barat dan Timur. Pengertian Timur itu adalah pengertian mereka sendiri. Saya curiga apakah mereka sendiri benar tahu tentang Timur, atau tahunya lewat turis-turis itu. Misalnya saya mempergunakan boneka - yang selalu dikatakan "Barat". Saya mempergunakannya sebagai barang yang sejak kecil sampai sekarang sudah saya lihat ada di Indonesia sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus