Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pentas Yang Sublim

Gerak para penari yang intens itu adalah gerak langkah dalam Mahesi, salah satu jenis meditasi dalam Siwa-Buddha.

12 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cokorda Sawitri. TEMPO/STR/Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENTAS Sakyamuni itu Saja (Perlu Mati) berangkat dari puisi; berlangsung bersama puisi, mantra, dan tari legong; berakhir dengan sunyi. “Selesai. Mati. Gelap. Terang. Mantra bisu. Doa bungkam. Langit dan bumi juga selesai.” Para pemain menyingkir ke samping, pembaca puisi surut menjauh dari penonton, lampu meredup untuk kemudian gelap.

Cokorda Sawitri menyuguhkan tontonan yang menyimpang (bisa sebagai kecenderungan baru, bisa juga menunjuk ke yang dulu pernah ada) dari pertunjukan (tari, teater) Indonesia masa kini yang cenderung mengolah tubuh, menyisipkan gerak tari atau adegan yang gaduh sebagai wahana bercerita yang mungkin pada naskah hanya sekalimat petunjuk.

Puisi (Cok—sapaan akrab Cokorda—sendiri menyebutnya sebagai “naskah drama tari”) “Sakyamuni itu Saja (Perlu Mati)” dekat dengan puisi klasik yang disebut mantra: kata dan kalimat tak jelas berkisah, hanya sugesti serta imaji-imaji rupa dan bunyi. Sang pembaca (dibawakan oleh April Artison, aktris teater) membaca dengan datar hampir tanpa ekspresi.

Pertunjukan Sakyamuni itu Saja (Perlu Mati) karya Cokorda Sawitri dalam Borobudur Writers & Cultural Festival 2018 di Magelang, Jawa Tengah. Dokumentasi Pribadi.

Ketika puisi mulai dibacakan, di pentas adalah tubuh-tubuh berkostum merah, jingga, putih, sedikit hijau, sedikit hiasan. Kostum mengingatkan pada pakaian perempuan Tibet atau Cina: menutup dari leher hingga mata kaki. Mereka bergerak, minimal, mengutamakan gerak langkah kaki. Kadang, pada posisi membungkuk, para penari melakukan gerakan berputar.

Pada satu ketika mereka duduk, memegang topeng, menirukan sang pembaca puisi yang ganti membaca mantra atau doa dalam bahasa Sanskerta. Suatu saat dua yang berkostum putih bergerak dalam tarian Bali, tari legong. Terdengar -pembacaan mantra (ternyata ini suara Cok Sawitri), sementara itu pembacaan puisi terus terdengar, terus berperan sebagai “nyawa” pertunjukan. Suatu urutan ade-gan yang sederhana, tanpa kejutan, tanpa efek, mengalir bersama puisi yang dibaca.

Pertunjukan pada akhirnya datang kepada penonton merupakan suatu kesatuan yang tak terurai: naskah, pemain (bisa aktor, bisa penari), tata lampu, tata musik, properti, penyutradaraan, dan/atau koreografi. Mungkin seorang sutradara atau koreografer memberi tekanan pada satu unsur di antara unsur-unsur itu. Sakyamuni itu Saja (Perlu Mati) memang sepertinya memberi tekanan pada teks yang dibacakan. Namun, sebagaimana telah dikatakan pada pembuka tulisan ini, di pentas, teks itu tidak berjalan sendiri, apalagi mendikte unsur-unsur yang lain. Pertunjukan selama sekitar 45 menit tersebut tak memberi celah antara yang terlihat di pentas terbuka di kaki Borobudur itu dan yang terdengar. Semua unsur pertunjukan menyatu dalam suatu keselarasan.

Itu menandakan penyutradaraan yang total: antara unsur rupa dan unsur bunyi membangun sebuah tontonan yang utuh. Puisi atau mantra yang datang kepada kita lebih sebagai sugesti dan imaji-imaji mendapatkan bentuk rupa yang bukan merupakan pelengkap, apalagi semacam tarian latar. Dari totalitas itu—gaung dan bunyi kata yang diucapkan “mati”, “selesai”, “Sakyamuni”, “Buddha”, “bekas hidup”, “kuburan”, “semua yang menginjak bumi”, “Kalika”, “doa”, “mantra” dengan langkah serta gerak tubuh yang minimal tapi terkesan datang dari “dalam”, bukan gerak otot—adalah sebuah renungan tentang mati yang niscaya.

Dokumentasi Pribadi.

Pertunjukan Sakyamuni itu Saja (Perlu Mati) membangun totalitas tak kepalang tanggung. Cok, penganut Siwa-Buddha, memilih mementaskan karya ini dengan segala unsur yang tidak hanya ia kenal sepenuhnya, tapi juga yang ia hayati sepenuh jiwa-raga. Gerak para penari yang minimal dan dilakukan dengan intens itu adalah gerak langkah dalam Mahesi, salah satu jenis meditasi dalam Siwa-Buddha. Langkah meditasi merupakan langkah yang digerakkan bukan oleh kekuatan, melainkan langkah yang dibimbing dari “dalam”. Gerak yang mengalir, menyatu dengan udara, dengan angin, dengan alam. Langkah yang digerakkan oleh napas, tutur Cok. Yang tersaji, yang kita saksikan, para penari itu mengalir begitu wajar, alami, menjelma semesta, dan karena itu “menampung” puisi yang terdengar datar tersebut dalam suatu keselarasan.

Juga menampung mantra (dalam bahasa Sanskerta). Tanpa memahami arti kalimat demi kalimat, gaung mantra itu terkesan sebagai pernyataan syukur kepada hidup, kepada semesta, kepada Yang Maha Pencipta. Itu Mantra Dharani, kata Cok Sawitri.

Namun sebuah pertunjukan adalah tontonan, bukan sepenuhnya pembacaan mantra atau doa; dibutuhkan juga sesuatu yang menggembirakan, yang sudah dikenal. Maka tampillah tari legong. Bisa jadi ini dimaksudkan sebagai semacam intermeso, setelah pentas demikian syahdu. Tapi dalam adegan ini pun, selain sang pembaca puisi terus saja membaca, berkumandang mantra. Suara Cok melantun, mengalir seperti suara itu menyusup di antara para penari. Pada adegan ini, tari Bali yang biasanya meriah itu padam. Kegembiraan itu terkesan hanya sekejap; aura pentas tetap saja syahdu: hidup berlanjut ke mati adalah niscaya tetap hadir di pentas.

Dokumentasi Pribadi.

Walhasil, disadari atau tidak, Sak-yamuni itu Saja (Perlu Mati), sudah disebutkan di muka, adalah sebuah pentas yang berbeda dari kecenderungan pertunjukan masa kini. Sebuah kesatuan yang selaras dari berbagai unsur pertunjukan, tari dan teater, berangkat dari sebuah puisi (naskah) yang dekat dengan bentuk mantra. Pentas yang tak sepenuhnya baru, memang, karena Rendra pernah mementaskan hal serupa meski berbeda auranya, bukan puisi dan mantra yang dibacakan dengan datar, melainkan syair puja-puji yang dilantunkan untuk Muhammad, Sang Nabi, Kasidah Barzanji.

Itulah Cok Sawitri, yang berbicara dalam bahasa panggung yang sublim, dengan gerak yang minimal sehingga terasa sederhana, dan justru dalam “kesederhanaan” itu ia menyapa dengan datar tapi meninggalkan jejak, yang, pada hemat saya, mendalam. Cok memberikan pilihan tontonan yang belakangan ini cenderung menggebrak dan mengutamakan otot dengan gerak dari “dalam”, dari Mahesi, langkah yang digerakkan oleh hati.

BAMBANG BUJONO, PENULIS SENI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus