Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Kejutan Cina

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Setelah Kejutan Cina
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

BEBERAPA pekan setelah menaikkan harga minyak, 1 Oktober lalu, pemerintah mengkampanyekan briket batu bara. ”Dibandingkan dengan minyak tanah dan gas, jumlah batu bara lebih banyak,” kata Presiden Su-s-i-lo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Arena Pekan Raya Jakarta. ”Cadangannya masih 150 tahun lagi.”

Di arena itu juga, Presiden mengajak para pengusaha ber-investasi, terutama untuk memproduksi dan memasarkan batu bara hingga ke dapur-dapur rumah tangga Indonesia. ”Penggunaan batu bara jauh lebih mudah dan sederhana di-banding kompor minyak tanah. Saya percaya batu bara jauh lebih murah,” Presiden meyakinkan.

Lalu program pun disusun. Paling spektakuler adalah pen-canangan produksi massal kompor atau tungku pembakar briket. ”Sampai 2009 akan dibuat 10 juta tungku,” kata Aburizal Bakrie, yang ketika itu Menteri Koordinator Perekonomian—dan melalui PT Bumi Resources Tbk. masih me-nguasai raksasa tambang batu bara Kaltim Prima Coal dan Arutmin Indonesia.

Sebagai permulaan, sejuta tungku akan dicetak pada t-a-hun ini. Dengan harga satuan Rp 50 ribu, pemerintah meng-anggarkan Rp 50 miliar dalam APBN. Ketika itu, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Surya-dharma Ali diserahi tugas mengurus pembuatan kompor ini.

PT Bukit Asam, perusahaan negara yang menambang ba-tu bara, bergegas menyambut peluang. ”Kami ingin kapasitas produksi ditingkatkan menjadi sepuluh kali lipat menjadi 1,3 juta ton,” kata Menteri Negara BUMN Sugiharto da-lam konferensi pers di kantornya, Oktober itu juga.

Perusahaan ini lantas mengumumkan rencananya membangun tiga pabrik baru yang akan memproduksi ma-sing-masing 500 ribu ton briket batu bara per tahun. ”Kami ha-rap mulai berproduksi pada 2008–2009,” kata Sekretaris Per-usahaan Bukti Asam, Milawarma.

Tapi, setelah heboh sejenak, kini proyek itu nyaris tak terdengar. Bahkan dalam rapat di kantornya, dua pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, ”Lupakan briket batu bara.”

Kepada Tempo, yang menghubunginya Kamis pekan lalu, Wakil Presiden memberi alasan. ”Untuk pilot project, bri-ket memang bisa. Tapi sulit digunakan secara massal, karena soal teknis, kebiasaan, dan efek buruknya pada kesehatan.”

Menurut Achmad Kalla, gagasan pindah ke elpiji itu se-betulnya sudah lama dibicarakan. Tapi rapat-rapat lebih in-tensif dilakukan sepulang Jusuf dari lawatannya ke Cina, per-tengahan April lalu. Ada sesuatu yang terjadi selama ia berada di negeri berpenduduk 1,5 miliar itu.

Rupanya Wakil Presiden mengecek informasi ke salah satu pejabat di sana, bagaimana praktek yang mereka jalankan hingga sukses mengarahkan rakyat menggunakan bri-ket batu bara. ”Soalnya dulu, program itu dipilih karena ba-nyak yang bilang Cina dan Korea pakai briket untuk mengganti minyak. Kita mau meniru,” ujar Achmad.

Betapa terkejut Jusuf Kalla ketika pejabat itu bilang, ”Oh, kami memang pakai briket,” Achmad mengulang cerita kakaknya, ”tapi itu 20 tahun lalu. Sekarang rakyat kami pakai gas.”

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus