Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara untuk mengatasi polusi udara Jakarta. Instruksi tersebut terbit bersamaan dengan jadwal sidang perdana gugatan warga (citizen lawsuit) atas buruknya kualitas udara Jakarta pada Kamis, 1 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam instruksi tersebut, terdapat tujuh langkah untuk mempercepat pengendalian kualitas udara di Jakarta. Salah satunya, Anies memerintahkan Dinas Perhubungan DKI untuk memastikan tidak ada lagi angkutan umum berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi beroperasi di jalanan Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menyelesaikan peremajaan seluruh angkutan umum melalui program Jak Lingko pada 2020,” demikian tertulis dalam instruksi gubernur tersebut. “Mempercepat peremajaan 10.047 armada bus kecil, sedang, dan besar melalui integrasi dengan Jak Lingko.”
Gubernur juga meminta Dinas Perhubungan memperluas kebijakan ganjil genap selama musim kemarau dan meningkatkan tarif parkir di wilayah yang terjangkau angkutan umum mulai tahun ini. Instruksi gubernur ini juga mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum yang telah dibenahi oleh pemerintah DKI.
Selain Dishub, Anies meminta Dinas Bina Marga meningkatkan kenyamanan pejalan kaki. Caranya melalui percepatan pembangunan fasilitas pejalan kaki di 25 ruas jalan protokol, arteri, dan penghubung ke angkutan umum massal pada 2020.
Kualitas udara Jakarta belakangan ini kembali menjadi sorotan. Pada Senin pagi, 29 Juli lalu, Jakarta menjadi kota paling berpolusi di dunia versi AirVisual. Jakarta menempati peringkat teratas dengan air quality index (AQI) berada di angka 188 atau kondisi udara tidak sehat. Kualitas udara ibu kota pernah lebih buruk pada Rabu, 26 Juni dengan indeks 208 yang artinya tidak sehat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih menjelaskan sumber pencemar udara di Jakarta berasal dari transportasi. Karena itu, pemerintah DKI berfokus menekan polutan yang berasal dari kendaraan bermotor itu.
Data Breathe Easy Jakarta menyebutkan, pada 2013, sumber polutan udara di Jakarta berasal dari kendaraan bermotor 47 persen, industri 22 persen, kegiatan rumah tangga 11 persen, debu jalanan 11 persen, pembakaran sampah 5 persen, dan debu pengerjaan proyek 4 persen.
Dalam upaya itu, kata Andono, pemerintah telah menyediakan pelbagai angkutan umum yang lebih ramah lingkungan. Contohnya, mass rapid transit (MRT), light rail transit (LRT), dan bus Transjakarta. “Pemerintah Jakarta terus menambah jumlah feeder (angkutan pengumpan) melalui Jak Lingko,” kata dia.
Dengan pembenahan angkutan umum, menurut Andono, jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan akan berkurang. Di samping memperlancar lalu lintas, hal itu akan mengurangi pencemaran udara.
Aktivis mengenakan masker saat aksi kawal sidang gugatan perdana polusi udara Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 1 Agustus 2019. Sebelumnya sebanyak 31 orang mengajukan gugatan warga negara alias citizen lawsuit (CLS) tentang polusi udara Jakarta pada Kamis, 4 Juli 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat
Selain itu, menurut Andono, pemerintah DKI terus memperbaiki trotoar demi memfasilitasi pejalan kaki. “Untuk jarak tertentu, mari jalan kaki atau bersepeda,” ujarnya.
Pemerintah DKI, kata Andono, juga berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. DKI menargetkan emisi gas rumah kaca di ibu kota akan berkurang sebesar 30 persen—menjadi 82 juta ton karbon dioksida—pada 2030. Jika pemerintah tidak melakukan upaya apa pun untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, menurut Andono, maka pada 2030, emisi gas rumah kaca di ibu kota mencapai 117,54 juta ton karbon dioksida.
Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Masdes Aroufy mengatakan lembaganya telah berupaya untuk menekan polusi udara di Jakarta. Salah satunya dengan mendorong angkutan umum menggunakan bahan bakar gas (BBG). “Kami sudah memulainya sejak 2006,” kata dia.
Berdasarkan data Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), angkutan umum yang menggunakan BBG baru mencapai 16.920 unit. Rinciannya, 340 bus Transjakarta, 2.580 taksi, dan 14 ribu bajaj.
Menurut Masdes, bila yang didorong untuk beralih ke bahan bakar ramah lingkungan seperti gas hanya angkutan umum, dampaknya kurang signifikan dalam mengurangi polusi udara. Sebab, dari 13 juta kendaraan bermotor di Jakarta, jumlah angkutan umum hanya sekitar 60 ribu. "Tantangannya justru di kendaraan pribadi agar siap menuju tenaga listrik," kata dia.
Sementara itu, Kuasa hukum Gerakan Insiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) Nelson Nikodemus Simamora meminta pemerintah segera bertindak untuk menekan pencemaran udara di Jakarta. “Jangan menunggu kalah atau menang putusan karena itu terlalu lama,” kata dia.
Sidang perdana gugatan citizen lawsuit soal polusi udara ini ditunda karena berkas dari penggugat dan tergugat belum lengkap. Sidang tersebut akan kembali dilanjutkan pada 22 Agustus mendatang.
Dalam gugatannya, Kuasa hukum Tim Advokasi Ibu Kota lainnya, Ayu Eza Tiara mengatakan pihaknya menggugat karena menilai pemerintah lalai menjalankan kewajibannya untuk melindungi warganya dari pencemaran udara. Akibatnya, masyarakat dirugikan karena terpapar udara yang tidak sehat. "Pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya,” kata dia.
Mereka menggugat Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat (turut tergugat) serta Gubernur Banten (turut tergugat).
Sebelum mengajukan citizen law suit itu, Tim Advokasi Ibu Kota membuka kesempatan bagi masyarakat yang merasa dirugikan akibat pencemaran udara untuk bergabung dalam gugatan warga negara. Setelah melalui persyaratan seperti kelengkapan administrasi, jumlah masyarakat yang mengajukan citizen law suit ialah 31 orang.
Menurut Ayu, pemerintah sebenarnya telah memiliki sejumlah aturan untuk mencegah pencemaran udara Jakarta. Misalkan, pemerintah DKI memiliki Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun, penerapan aturan itu masih lemah.
GANGSAR PARIKESIT | TAUFIQ SIDDIQ