Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pulau Nias, Sawahlunto, Surabaya, dan Kotagede. Keempatnya adalah lanskap yang berbeda. Yang pertama sebuah pulau dengan situs megalit tertua di Indonesia; yang kedua kota bekas area pertambangan; Surabaya kota besar panas dan polutif; dan Kotagede adalah kota menengah kaya cagar budaya.
Dan Tempo memutuskan memberikan penghargaan kepada mereka. Bersama tiga juri arsitek tahun ini, Nirwono Yoga, Yori Antar, dan Bambang Eryudhawan, majalah ini mencari model pembangunan kawasan dengan paradigma hijau. Di kawasan-kawasan itu telah dan sedang berlangsung pembangunan lanskap hijau.
Kami mengartikan hijau secara luas, yaitu tidak melukai, merawat, memperbaiki kerusakan, sekaligus tidak menambah luka bumi, lanskap mahaluas tempat kita tinggal. Unsur-unsur seperti meningkatkan kualitas lingkungan, mendaur ulang, menggunakan bahan lokal ramah lingkungan, melestarikan warisan budaya, melibatkan peran masyarakat, dan melakukan pembangunan berkesinambungan masuk hitungan.
Kami juga bersepakat menggunakan pemahaman hijau di luar arus besar. Untuk itulah upaya seperti reboisasi hutan, revitalisasi taman nasional, atau penjagaan laut dan isinya tidak kami sentuh. Kami lebih memilih usaha yang unik, penuh terobosan, dan faedahnya langsung dirasakan oleh komunitas yang tinggal di tempat itu. Bukan cuma ”akibat”, kami juga mencoba menyusuri ”sebab” yang melahirkan sebuah karya: motivasi arsiteknya. Karena itulah karya-karya yang mempunyai misi komersial kami kesampingkan. Artinya, perusahaan yang memperbaiki lingkungannya lebih hijau tidak masuk kriteria.
Pulau Nias, Sawahlunto, Surabaya, dan Kotagede dianggap memenuhi persyaratan di atas—meski pada keempat lanskap terjadi dinamisasi yang berbeda.
Di Pulau Nias ada Romo Johannes M. Hammerle yang telah menjadi penggerak warga Nias mempertahankan peninggalan primitif. Romo ini juga mendokumentasikan sejarah Nias dalam tulisan—Nias tak kenal budaya tulis. Pascagempa 2004, Romo ini membantu membangun kembali Omo Niha, rumah adat Nias.
Sama seperti Nias, Kotagede mencoba bangkit dari keadaan porak-poranda—termasuk rumah tradisional joglo dan kalang. Berbagai kelompok yang tergabung dalam Pusaka Yogya Bangkit membangun kembali pusaka Kotagede dengan cara kreatif, pascagempa Mei 2006. Termasuk dengan memanfaatkan kembali puing-puing yang masih bisa digunakan.
Di Sawahlunto ada Wali Kota Amran Nur. Sawahlunto, yang menjadi pusat tambang batu bara terbaik di dunia pada masa kolonial Belanda, terancam menjadi kota hantu karena kandungan batu baranya menipis. Dan Wali Kota Amran Nur meneruskan rencana tata kota pendahulunya, Subari Sukardi, merevitalisasi kota tambang menjadi tempat wisata museum hidup. Bangunan Belanda dan situs bekas tambang dipertahankan dan dibenahi menjadi tetenger kota.
Terakhir Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia yang terkenal sebagai kota panas dan polutif. Dalam dua tahun belakangan, perubahannya tampak mencolok. Ada taman hijau di median jalan protokol, revitalisasi taman kota menjadi tempat warga beraktivitas, manajemen sampah, serta partisipasi warga menjaga kali dan selokan. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya Tri Rismaharini adalah penggeraknya.
Demikianlah pilihan telah dijatuhkan. Bumi yang tak lagi hijau membutuhkan tangan-tangan kreatif untuk mengembalikan apa yang telah raib dari lanskapnya. Semangat hijau kini menjadi gerakan mendunia. Tapi ada orang dan komunitas yang membangun dan mempertahankan lanskap hijau di kawasan masing-masing dengan kesadaran sendiri. Selamat bagi warga Nias, Sawahlunto, dan Kotagede. Juga selamat bagi semua komunitas yang telah membakukan langkah kecil menuju lanskap hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo