Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI benua kelahirannya yang jauh, Eropa, pastor 66 tahun itu berkhidmat di rantau aksa di timur, Banua Niha—”nama bumi” untuk Pulau Nias, Sumatera Utara. Tak terbayangkan nasib pusaka di pulau hombo batu itu tanpa kehadiran Pastor Johannes M. Hämmerle, biasa dipanggil Romo Johannes. Selama bertahun-tahun, ”gembala” kelahiran Schwarzwald, Jerman, ini mengumpulkan peninggalan megalit, mempertahankan rumah adat, sekaligus menulis sejarah Nias.
Ketika gempa-tsunami mengguncang Nias pada akhir 2004, Johannes membantu penduduk membangun kembali rumah adat. Di pulau seluas sekitar 4.700 kilometer persegi itu, Johannes akhirnya juga menjadi satu-satunya alamat yang pasti. Bila orang luar pulau ingin mengirim sesuatu untuk penduduk di sana, dan bertanyakan alamat, hampir pasti akan dijawab: ”Kirim ke Romo Johannes saja”. ”Dia lebih Nias daripada orang Nias,” kata Nata Alui Duha, tokoh masyarakat Nias.
Ketika Johannes ditanya, dia menjawab, ”Saya tidak memilih Nias.” Tugas ”penggembalaan”-lah yang membawa dia ke pulau itu, pada 1971. Peranti agama asli penduduk Nias terdapat di berbagai sudut Omo Niha, rumah adat Nias. Selain batu megalit di depan setiap rumah—Nias dikenal sebagai situs megalit tertua di Indonesia—terdapat berbagai ukiran kayu primitif. Misalnya bentukan osa-osa, yang menyerupai anjing, tapi digabung dengan wajah binatang lain, yang dipercaya sebagai pelindung keluarga.
Masalah muncul setelah warga memeluk agama monoteis. Masyarakat mulai menghancurkan patung atau alat-alat pemujaan. Situs-situs megalitik tak lagi terpelihara. Banyak pula penduduk yang menjual murah osa-osa, ukiran batu menhir, kepada turis asing. ”Padahal satu patung batu dari Nias yang saya tahu sampai di New York sudah bernilai US$ 140 ribu,” kata Johannes.
Setelah lima tahun bermukim di pulau itu, Johannes mengaku jatuh cinta pada Banua Niha. Dia mulai memulung, mengumpulkan benda-benda bersejarah Nias. Ia meminta warga menyerahkan pusaka kepadanya, ketimbang dibuang. Awalnya, ia mendapatkan benda-benda itu dengan percuma. Lama-kelamaan, warga sadar duit juga. ”Kalau Pastor tidak mau beli, akan kami jual kepada pedagang barang antik,” kata mereka, seperti diceritakan kembali oleh Romo Johannes.
Sejak itu, Johannes mulai membeli barang-barang peninggalan budaya. Namun dia belum terpikir akan diapakan semua itu. Dalam benaknya hanya ada dua hal: masyarakat mendapat uang tambahan, dan Nias tidak kehilangan pusaka. Barang-barang itu disimpan di gudang-gudang milik kepastoran. Dia juga mulai menulis soal Nias, bahkan beberapa di antaranya ditulis dalam bahasa Nias.
Didukung beberapa teman, pada 1991, Johannes merintis pendirian museum. Ia mencari, mengumpulkan biaya, dan mengawasi sendiri pembangunannya di lahan milik gereja dari Ordo Kapusin. Museum Pusaka Nias itu berdiri di atas tanah dua hektare, terletak di tepi laut. Jaraknya sekitar 500 meter dari Pelabuhan Angin, Gunungsitoli, dan 25 menit berkendaraan dari Bandar Udara Binaka.
Museum yang meliputi dua bangunan itu memiliki 6.500 koleksi yang berusia sekitar 100 tahun. Ada pahatan patung kayu, alat musik, peralatan dapur, pakaian dari anyaman rumput, dan sejumlah barang berfungsi religius. Peninggalan megalitik tertua di museum diperkirakan berusia 500-600 tahun. ”Saya memimpikan museum ini menjadi satu pangkalan pusaka Nias,” kata Johannes.
Ketika gempa melanda Nias, banyak rumah tradisional roboh dan bergeser dari tempat semula. Tak sampai hancur, memang, karena struktur bangunannya kokoh, dengan balok-balok kayu silang-menyilang diagonal, menopang rumah. Johannes kembali turun tangan. Dia membangkitkan semangat warga memperbaiki rumah-rumah tradisional itu. Dari kas museum, ia memberikan bantuan dari Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta untuk memperbaiki atap rumbia.
Melalui usaha kolekte, Johannes berhasil mengumpulkan Rp 1,3 miliar untuk merehabilitasi 357 rumah adat Nias. ”Memperbaiki rumah adat sama dengan mengukuhkan kembali semangat dan identitas warga Nias,” kata Johannes, yang sejak 1978 menjadi warga negara Indonesia. ”Keniasan”-nya juga semakin kental. ”Pastor tahu istilah untuk bubungan atap rumah adat Nias,” kata Ina Neli, istri Kepala Desa Gunungsitoli, Lele Wonuti. ”Padahal saya yang orang Nias tidak tahu.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo