Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKA Irwanto dan Boyamin Saiman bergegas mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta. Sekitar Kamis pagi pekan lalu, pemegang polis Asuransi Bumiputera 1912 itu hendak membuat laporan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda. "Sengaja pagi-pagi supaya cepat diproses," kata Jaka kepada Tempo.
Tujuan mereka ke polisi untuk mengadukan Firdaus Djaelani. Keduanya menuding anggota Komisioner Otoritas Jasa Keuangan itu melakukan tindak pidana penyalahgunaan wewenang terhadap Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera. Dalam laporan yang salinannya diperoleh Tempo, Boyamin dan Jaka mempersoalkan keputusan Firdaus menunjuk dan menetapkan Pengelola Statuter AJB Bumiputera 1912.
Surat perintah penunjukan statuter bernomor S.73/D.05/2016 itu ditandatangani Firdaus pada 21 Oktober lalu. Perintah tertulis itu, kata Jaka, seharusnya dibuat oleh Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan hasil Keputusan Rapat Dewan Komisioner OJK. Mereka menilai pembentukan pengelola statuter tidak sah karena tanpa persetujuan Badan Perwakilan Anggota Bumiputera.
Sejak akhir Oktober, OJK mengambil alih manajemen Bumiputera dengan menonaktifkan semua direktur dan komisaris. Tujuh pengelola statuter yang ditunjuk Bumiputera mengambil alih wewenang dan fungsi direksi serta komisaris. Mereka adalah Didi Achdijat, Sriyanto Muntasram, Yusman, Adhie M. Massardi, Supandi Widi Siswanto, Agus Sigit Kusnadi, dan Dirman Pardosi.
OJK menugasi pengelola statuter melanjutkan rencana restrukturisasi Bumiputera. Sudah lebih dari sepuluh tahun kondisi keuangan perusahaan asuransi tertua di Indonesia itu mengkhawatirkan. Total asetnya hingga akhir tahun lalu Rp 10,28 triliun. Sedangkan total kewajiban Bumiputera hampir mencapai Rp 30 triliun.
Menurut Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank II Otoritas Jasa Keuangan Dumoly F. Pardede, klaim nasabah naik signifikan dalam lima tahun terakhir. Sementara itu, pendapatan premi—dari jumlah pemegang polis 6,7 juta—tidak cukup untuk menutupi kebutuhan klaim dan seluruh biaya. Untuk menutup klaim, perusahaan menjual aset investasi. Aset likuid Bumiputera ini bakal tergerus habis dan diprediksi tak mampu menutup defisit dalam tiga tahun ke depan, yang diperkirakan mencapai Rp 9 triliun. "Kalau ditunggu sampai tahun depan, pasti jebol," katanya.
Upaya OJK mendapat perlawanan. Irvan Rahardjo, Koordinator Tim Advokasi Bumiputera, menuding OJK melakukan restrukturisasi tanpa melibatkan pemegang polis yang juga pemilik saham. "Kami tidak apriori dengan restrukturisasi, asalkan caranya benar," ujar Irvan, Selasa pekan lalu.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menepis pernyataan Tim Advokasi Bumiputera. Menurut dia, penunjukan pengelola statuter mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi. "Keputusan penempatan statuter merupakan keputusan Dewan Komisioner OJK dalam rapat Dewan Komisioner," katanya.
Penunjukan pengelola statuter tidak ujug-ujug. Pengelola Statuter Bidang Sumber Daya Manusia, Umum, dan Komunikasi Adhie M. Massardi mengatakan, sepanjang Agustus-September, ia sudah beberapa kali diajak OJK mengikuti rapat. Pesertanya direksi dan Badan Perwakilan Anggota Bumiputera. Mereka membahas skema restrukturisasi Bumiputera.
Uji kelaikan dan kepatutan dilakukan satu pekan sebelum pengelola statuter ditunjuk. "Tugas saya mencegah jangan sampai isu ini berisik," kata mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu. Menurut Adhie, OJK frustrasi menghadapi pengurus lama karena tak serius menjalankan skenario restrukturisasi.
Dumoly mengatakan restrukturisasi sulit dilakukan karena Bumiputera masih berbentuk usaha bersama, bukan perseroan terbatas. Akibatnya, tidak ada pengendali di perusahaan ini. Setiap pemegang polisi otomatis menjadi pemilik saham. Masalahnya, "Tidak ada yang merasa mewakili dan bertanggung jawab," kata Dumoly.
Itu sebabnya, OJK bersama manajemen Bumiputera sejak awal merancang agar perusahaan asuransi ini bisa dikonversi dari perusahaan non-listed menjadi terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Salah satunya dengan mendorong go public unit usaha properti Bumiputera. "Dulu sudah ada yang mau masuk, tapi mereka hanya maunya ambil aset kami di properti," kata Ichsan M. Natin, Direktur Investasi AJB Bumiputera periode 2013-2016. Hingga masa jabatan Ichsan berakhir pada September lalu, rencana itu tak pernah terlaksana.
Ikhtiar memperbaiki kinerja Bumiputera sudah ditempuh sejak tiga tahun lalu. Karena itu, Otoritas Jasa Keuangan memperkuat manajemen dengan mengganti direksi agar melakukan perbaikan. "Saat itu, kami dorong pembenahan internal," kata Dumoly. Namun, hingga jabatan mereka selesai pada pertengahan 2016, restrukturisasi tak kunjung jalan.
Masuknya direksi dan komisaris baru pada awal Oktober lalu tak menyelesaikan persoalan. Itu sebabnya, OJK memutuskan menunjuk pengelola statuter dan menonaktifkan direksi serta komisaris yang baru tiga pekan diangkat Badan Perwakilan Anggota (BPA). Ketua BPA Bumiputera asal Makassar, Abdul Kadir, terkejut saat OJK menonaktifkan manajemen. "Kami tidak pernah berpikir akan ada pengelola statuter," katanya.
SUHU politik di kalangan internal Bumiputera mulai meninggi sejak awal Oktober lalu. Pemicunya, Badan Perwakilan Anggota dan OJK berseberangan dalam hal skema penyehatan yang akan dijalankan. "Konsep kami berbeda dengan OJK," kata Ketua BPA Abdul Kadir. OJK memilih restrukturisasi melalui pasar modal. Sedangkan BPA berharap perusahaan negara (BUMN) yang menyuntikkan dana untuk Bumiputera.
Itu sebabnya, pada 13 Oktober, Abdul Kadir bersama sepuluh anggota BPA lainnya menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertemuan itu membahas langkah penyehatan Bumiputera. Ketika ditanya lebih jauh apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut, Kadir memilih diam. "Saya tak mau dianggap menghalangi kerja pengelola statuter," katanya.
Pada hari yang sama, Jusuf Kalla memanggil Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad. Dalam pertemuan itu, keduanya membahas skema penyelamatan Bumiputera. Seorang pejabat di Kantor Wakil Presiden membenarkan adanya pertemuan tersebut. Jusuf Kalla, kata sumber tadi, mendorong agar perusahaan asuransi tertua itu mencari investor. "Tidak ada opsi bailout," ujar sumber tadi.
Besok paginya, Muliaman Hadad melaporkan perkembangan Bumiputera kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara. "Presiden diberi laporan agar tidak kaget. Kalau terjadi apa-apa, Istana sudah tahu," kata pejabat di Istana yang mengetahui pertemuan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang juga Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan, hadir dalam pertemuan itu.
Sore harinya, OJK memutuskan mengambil alih Bumiputera. Keputusan itu diambil setelah Komite Stabilitas Sektor Keuangan menggelar rapat di Kementerian Keuangan. Dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani, rapat mengamanatkan pimpinan OJK mengambil langkah-langkah yang diperlukan. "Komite akan memantau untuk memastikan langkah OJK tidak berdampak negatif bagi pasar modal ataupun pemegang polis," ujar Sri Mulyani.
Gelagat pengambilalihan Bumiputera, kata Irvan Rahardjo, sudah tampak sejak satu bulan sebelumnya. Ketika itu berembus kabar di kalangan Asosiasi Asuransi Jiwa bahwa OJK mencari orang-orang yang akan ditempatkan sebagai pengelola statuter. Irvan menyesalkan keputusan OJK yang tidak transparan. "OJK diam-diam menidurkan direksi dan komisaris yang tidak satu ide," ucap Irvan, yang juga bekas Komisaris Independen AJB Bumiputera.
SATU hari setelah Otoritas Jasa Keuangan menonaktifkan manajemen, pengelola statuter menunjuk PT Evergreen Invesco Tbk. Menurut Adhie Massardi, Evergreen hanya perusahaan cangkang yang akan digunakan Bumiputera untuk mencari suntikan dana dari pasar modal dengan skema backdoor listing.
Caranya, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB) membentuk superholding PT Bumiputera 1912 atau B1912. Adhie mengatakan, B1912 mengumpulkan anak-anak usaha dalam dua holding, yaitu usaha bidang properti di bawah PT Bumiputera Properti Indonesia (BPI) dan PT Bumiputera Investasi Indonesia (BII) untuk menampung aset finansial.
Untuk menjalankan kegiatan asuransi jiwa, BII membentuk PT Bumiputera Life Insurance (BLI). Dalam rapat pada 15 Desember lalu, pengelola statuter memutuskan mendirikan PT Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera. Nama BLI juga diubah menjadi PT Asuransi Jiwa Bumiputera (AJB), yang ditabalkan sebagai "bentuk baru" dari AJBB.
Di AJB inilah hampir semua sumber daya manusia AJBB dimigrasikan. Targetnya, mulai awal tahun depan, semua usaha langsung beroperasi di bawah bendera AJB. AJBB tidak lagi menjual polis. Peran itu diambil alih oleh AJB.
Merujuk prospektus yang diterbitkan Evergreen, perusahaan-perusahaan itu dibentuk masing-masing pada Juni 2016—kecuali BLI yang dibentuk pada Oktober lalu. Namun, kata Adhie, terbentuknya sejumlah perusahaan itu sebenarnya baru terealisasi setelah pengelola statuter masuk.
Melalui anak usahanya, PT Pacific Multi Industri (PMI), Evergreen membeli superholding B1912. Dengan begitu, perusahaan pemintalan benang yang sudah tidak aktif itu bisa melakukan rights issue untuk mendapatkan dana segar. Menurut Adhie, skema pembelian ini hanya siasat karena sebetulnya Evergreen yang "dipakai" oleh Bumiputera.
Awalnya, Evergreen akan menjual 93,88 miliar saham baru dengan perolehan maksimal Rp 30 triliun. Efek dilusi dari penerbitan saham baru ini mencapai 95,24 persen. Dana hasil rights issue bakal digunakan untuk mencukupi kebutuhan likuiditas AJBB. Selisih antara nilai aset dan kewajiban perusahaan asuransi tersebut mencapai Rp 19 triliun.
Dalam prospektusnya, Evergreen menargetkan bisa mengantongi pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan pada 30 November lalu. Harapannya, semua transaksi tuntas pada 23 Desember 2016. Namun rencana itu terpaksa ditunda hingga tahun depan.
Sejumlah orang dalam Bumiputera yang mengetahui transaksi tersebut mengatakan proses itu sesungguhnya dimulai pada pertengahan tahun lalu. Hal itu ditandai dengan masuknya BNP Paribas. Manajemen Bumiputera menyewa lembaga konsultan internasional ini karena dinilai punya rekam jejak meyakinkan saat merestrukturisasi Panin, BNI Life, dan Daichi Jepang.
BNP dicangkokkan OJK ke Bumiputera untuk melakukan pembenahan. Program penyehatan ini melibatkan Emerging Asia Capital Partner (EACP), penasihat keuangan Credit Suisse, dan auditor PricewaterhouseCoopers. Alamat EACP berada di lokasi yang sama dengan kantor Evergreen di Gedung CIMB Niaga Lantai 22, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Dokumen surat yang diperoleh Tempo menunjukkan Bumiputera membayar mahal para konsultan tersebut. Dalam suratnya tertanggal 7 Desember 2016, PT EACP Konsultan Indonesia mengirim tagihan kepada Koordinator Statuter. Perusahaan itu meminta penggantian biaya yang sudah mereka keluarkan untuk 19 tim konsultan. Nilainya Rp 33,8 miliar dan US$ 2,75 juta. Jasa konsultasi PricewaterhouseCoopers menyedot biaya paling mahal, yakni Rp 16,5 miliar. Adhie tak membantah akan ada biaya yang dikeluarkan perusahaan. "Ada sejumlah komitmen. Sebagian ini hanya amal," ujarnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Nurhaida mengatakan Evergreen telah mengubah nilai rights issue dari Rp 30 triliun menjadi Rp 10 triliun. Angka tersebut kemungkinan akan turun lagi menjadi hanya Rp 4 triliun. "Itu informasi informal. Tapi yang resmi ke OJK masih Rp 10 triliun," katanya Kamis pekan lalu.
Adhie Massardi mengakui rapat pengelola statuter pekan lalu membahas sejumlah perubahan. Antara lain, tagihan premi (future income) sebesar Rp 15 triliun tidak dimasukkan ke aset yang dijual. Selain itu, aset-aset properti yang akan dilepas hanya 60 persen.
Menurut Dumoly Pardede, rights issue semula diharapkan bisa menghimpun dana Rp 30 miliar karena ada investor Prancis yang bersedia masuk. "Saat itu, ada yang berani mengambil alih seluruh kewajiban," katanya. Belakangan, janji itu tinggal kenangan karena calon investor mensyaratkan Bumiputera memiliki bancassurance.
Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo