Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU dua bulan bertugas di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, Adhie M. Massardie harus berurusan dengan pengadilan. Pengelola Statuter Bidang Sumber Daya Manusia, Umum, dan Komunikasi ini mulai menyiapkan materi banding sepanjang pekan lalu. Gara-garanya: Bumiputera kalah dalam gugatan yang dilayangkan oleh Soeseno Haryo Saputro, mantan Direktur Utama Bumiputera.
Gugatan Soeseno cukup unik. "Ia mempersoalkan komisi hasil menggaet nasabah baru yang tidak dibayarkan Bumiputera," kata Adhie saat ditemui di kantornya, Kamis pekan lalu. Adhie berencana mengajukan permohonan banding karena yakin tak ada aturan tertulis di perusahaan yang mewajibkan Bumiputera membayarkan komisi.
Dalam perkara 332/Pdt.G/2016 yang diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak Mei sampai November ini, Soeseno menuntut Bumiputera membayar sisa komisi yang menjadi haknya. Totalnya Rp 29 miliar. Angka tersebut terdiri atas kekurangan pembayaran komisi Rp 16 miliar dan biaya lainnya Rp 13 miliar. "Pengadilan memutuskan agar Bumiputera hanya membayar Rp 16 miliar," kata kuasa hukum Soeseno, Eggi Sudjana, saat dihubungi pada Jumat pekan lalu. Ia berharap Bumiputera mematuhi putusan pengadilan.
Putusan itu menambah panjang persoalan yang menimpa Bumiputera. Kinerja keuangan perusahaan asuransi tertua di Indonesia ini tengah sempoyongan. Berdasarkan laporan keuangan per akhir 2015, total aset perusahaan asuransi sejak zaman Boedi Oetomo ini hanya Rp 10,28 triliun. Sedangkan kewajiban perusahaan, termasuk klaim yang harus dibayarkan, mencapai Rp 29,94 triliun.
Anjloknya kinerja Bumiputera bukan tanpa sebab. Mantan Komisaris Independen AJB Bumiputera Irvan Rahardjo mengatakan keruwetan ini terjadi karena lemahnya tata kelola perusahaan. Bentuk perusahaan berupa usaha bersama (mutual) mengakibatkan keputusan internal sering bertubrukan dengan kepentingan pribadi. Salah satunya pemberian komisi bagi direksi yang berhasil menggaet nasabah baru. "Bumiputera menjadi tempat bancakan," kata Irvan, Selasa pekan lalu.
Investasi yang tidak hati-hati menjadi salah satu penyebab anjloknya Bumiputera. Irvan menyebutkan salah satu kasus lemahnya tata kelola perusahaan adalah pelepasan tanah Karet Kuningan kepada PT Bakrieland Development Tbk—induk perusahaan properti Grup Bakrie. Pada pertengahan 2005, Bakrieland membeli 12,6 hektare tanah Bumiputera, yang kelak menjadi Rasuna Epicentrum. Harganya Rp 746 miliar. "Ada yang dibayar dengan saham," ujarnya. Celakanya, ketika harga saham Bakrie jatuh, nilai aset Bumiputera otomatis ambruk.
Hasil pemeriksaan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam) lima tahun lalu, yang salinannya diperoleh Tempo, menunjukkan banyak kerja sama pengelolaan dana dan investasi yang tidak bisa ditarik kembali. Salah satunya melalui PT Optima Kharya Capital Management senilai Rp 307 miliar dan US$ 3 juta.
Investasi lain yang meleset saat Bumiputera melakukan kerja sama tukar saham dengan PT Sugih Energy Tbk senilai Rp 244 miliar pada pertengahan tahun lalu. "Hasilnya tak signifikan," kata anggota Tim Advokasi Penyelamatan Bumiputera, Jaka Irwanta. Sepanjang Agustus lalu, Bursa Efek Indonesia dua kali menghentikan sementara perdagangan saham emiten berkode SUGI ini. Gara-garanya, harga saham SUGI menukik dari Rp 155 per lembar menjadi Rp 114.
Mantan Direktur Investasi dan Keuangan AJB Bumiputera Ichsan M. Natin punya penjelasan lain. Menurut dia, kerja sama dengan PT Sugih itu murni demi menaikkan nilai aset yang sedang turun. "Contohnya, aset kami harganya hanya 100 tapi dibayar 200 oleh PT Sugih," ujar Ichsan, Kamis pekan lalu.
Kamis dua pekan lalu, Ketua Komisi Keuangan DPR Melchias Markus Mekeng meminta Otoritas Jasa Keuangan menjelaskan besarnya selisih aset dan kewajiban Bumiputera. "Jangan sampai uang ditaruh untuk investasi tapi dijadikan milik pribadi," kata Mekeng saat ditemui di kompleks Gedung Parlemen, Senayan, jakarta.
Ayu Prima sandi
Tahukah Anda...
Badan hukum Bumiputera berbentuk mutual alias usaha bersama. Dalam sistem ini, setiap pemegang polis adalah pemilik perusahaan. Bila ada laba—disahkan dalam sidang tahunan Badan Perwakilan Anggota—dibagi dengan komposisi 80 persen untuk para pemegang polis dan 20 persen untuk dana cadangan. Bila menderita kerugian, akan ditutup dengan dana cadangan umum. Bila tak mencukupi, ditutup dengan dana jaminan dan ekuitas lainnya. Jika dana itu pun tak cukup, digelar sidang luar biasa Badan Perwakilan Anggota untuk memutuskan apakah Bumiputera ditutup atau dilanjutkan dengan mempertahankan bentuk usaha bersama atau mengubah bentuk badan usahanya. Bila dilanjutkan, sisa kerugian dibagi rata di antara para pemegang polis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo