Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pensiun buat wartawan

Perusahaan pers diwajibkan mengasuransikan para wartawan dan karyawannya malalui astek. banyak perusahaan lemah belum mampu.

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA wartawan, juga karyawan perusahaan pers lainnya, kini boleh meraba masa depan. Sejak Minggu malam 26 Juni lalu segenap perusahaan penerbitan pers, percetakan dan periklanan, diwajibkan mengasuransikan karyawannya melalui Perusahaan Umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Kesepakatan bersama yang berlangsung di Press Club Jakarta di tengah bulan puasa itu ditandatangani para pemimpin organisasi perusahaan pers seperti SPS (Serikat Perusahaan Surat kabar), SGP (Serikat Grafika Pers), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), bersama PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan Astek -- disetujui oleh Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Penerangan. Ini merupakan realisasi dari seminar kesejahteraan wartawan di Kaliurang, Yogyakarta, Agustus tahun lalu. Mula-mula, dalam kesepakatan tersebut hanya disebutkan, "mengimbau semua penerbit untuk mengikutsertakan segenap wartawan dan karyawan anggotanya dalam program Astek". Tapi dalam kata sambutannya Menteri Penerangan Harmoko menegaskan, agar pengikutsertaan program Astek itu tidak hanya bersifat imbauan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Ketentuan yang diatur dengan PP 33 dan 34/1977 ini meliputi asuransi kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan dana kematian. Iuran bulanannya merupakan persentasi dari gaji karyawan, ada yang dibayar sepenuhnya oleh perusahaan. Misalnya, asuransi kecelakaan bervariasi antara 0,24 sampai 3,6%. Untuk perusahaan percetakan dan penerbitan sebesar 0,89%. Ada iuran yang dibayar oleh perusahaan dan peserta. Yaitu untuk tabungan hari tua: 1,5% dibayar oleh perusahaan (artinya tidak dipotong dari gaji karyawan yang bersangkutan) dan 1% dibayar oleh karyawan yang tentu saja dipotong dari gajinya. "Wajarlah bila karyawan menyumbang 1% dari gaji untuk dana pensiunnya," ujar Direktur Pembinaan Astek Sentanoe Kertonegoro. Menurut Ketua Umum SPS, Sunardi D.M., iuran Astek sangat murah dibanding premi asuransi lainnya. "Perusahaan penerbitan yang lemah pun saya kira mampu mengasuransikan karyawannya," tambahnya. Bahkan, menurut Kepala Divisi Operasi Astek Odang Mochtar, iuran tersebut (paling tinggi 6,6%) jauh lebih murah dibanding iuran asuransi sosial di Malaysia yang mencapai 30%. Bila seorang wartawan mengalami musibah, misalnya, ia mendapat tunjangan 100% dari gaji untuk jangka waktu selama 120 hari tak bisa bekerja. Lebih dari waktu tersebut ia masih menerima 50%. Ia juga mendapat biaya perawatan dan pengobatan 100%. Meliputi biaya pengangkutan (maksimum Rp 50.000), pemeriksaan dokter, pembelian obat, dan sebagainya yang seluruhnya maksimum Rp 1 juta. Bila sebagian anggota tubuhnya cacat tetap, peserta Astek juga mendapat ganti rui. Cacat kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah, misalnya, mendapat 70% dari jumlah gaji. Kehilangan jari telunjuk tangan kanan mendapat 9%, dan kehilangan jari telunjuk tangan kiri mendapat 7%. Tabungan hari tua diberikan setelah karyawan berusia 55 tahun. Bila ia meninggal sebelum itu, tabungan disampaikan kepada ahli waris. Ia juga masih mendapat dana kematian sebesar Rp 230.000. Peraturan pelaksanaan program Astek bagi karyawan pers ini sedang digodok. Tampaknya, seperti ditegaskan Harmoko, hal itu bakal diwajibkan bagi semua perusahaan pers -- sebagai salah satu persyaratan dari keluarnya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Lantas bagaimana dengan perusahaan yang sudah mengasuransikan karyawannya lewat asuransi komersial -- apalagi mengingat jumlah santunan asuransi sosial Astek ternyata lebih rendah? "Astek tidak membatalkan jaminan sosial yang sudah ada," kata Direktur Utama Astek M. Iwan Stamboel, yang pernah menjadi salah seorang staf Pangkopkamtib itu. Mengenai Jumlah santunannya tergantung dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, menurut Odang Mochtar, mungkin karyawan mendapat dua macam santunan. "Atau kedua santunan itu digabung, tapi besarnya sama dengan jumlah santunan dari asuransi komersial itu," tambah Odang. Dari sekitar 8.000 perusahaan yang mengikuti program Astek, tak kurang dari 120 di antaranya perusahaan pers. Dan di antara 33 buah yang ada di Jakarta, antara lain: Sinar Kasih, Pelita, Kompas, Gramedia, Interrnasa, Berita Yudha, Variasi Jaya, Garuda Metropolitan Press, Indonesia Times, Dian Rakyat, Suara Karya. Kalaupun Astek merupakan kewajiban bagi perusahaan pers, tidak jadi soal bagi Kompas yang sudah 3 tahun mengastekkan karyawannya. Tapi kepala personalia harian yang beroplah besar ini, Soegito, melihat kelemahannya. "Bila tabungan hari tua dibayarkan sekaligus, sedang karyawan tidak dapat menggunakannya, maka dana pensiun itu akan percuma saja," katanya. "Itulah sebabnya Kompas selain mengikuti program Astek juga memberikan dana pensiun sendiri," tambahnya. Bila Kompas mengasuransikan semua karyawannya, Merdeka hanya mengasuransikan karyawan yang memiliki masa kerja minimal 5 tahun dengan dana US$ 5.000. Karyawan Suara Merdeka di Semarang termasuk beruntung. Perusahaan pers terbesar di Jawa Tengah ini selain mengasuransikan karyawannya lewat Jiwasraya (1976) sejak Januari 1983 juga mengikuti program Astek, sehingga karyawan mendapat dua macan santunan. "Agar santunan kematian tidak habis karena dipergunakan secara konsumtif, disimpan di Koperasi Serba Usaha Karyawan," kata Asisten Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Sutrisno. Betapa pun murahnya iuran Astek, sepcrti dikatakan Sunardi D.M., ternyata tidak smua penerbitan pers, terutama di daerah, mampu membayarnya. Misalnya, harian Memorandum, yang oplahnya terkecil di Surabaya. "Kalau harian yang baru berumur dua tahun seperti Memorandum diwajibkan mengasuransikan karyawannya, ya repot," kata Mangestuti Agil, pimpinan perusahaannya. Wakil Pemimpin Redaksi Harian Masa Kini di Yogyakarta, Muidin, tidak keberatan mengasuransikan karyawannya, meskipun perusahaannya kembang-kempis. "Tapi yang membayar iurannya ... pemerintah. Sebab selima ini pers telah memberikan halamannya untuk pemberitaan pemerintah. Sepantasnya bila pemerintah memberi 'bonus' kepada wartawan dengan membayar iuran asuransi Astek," katanya. Harian Mandala, Bandung, juga belum mampu mengasuransikan karyawannya. Yang agaknya boleh bernapas lega 20 wartawan harian Sinar Indonesia Baru, Medan, yang 1 Juli lalu menuntut kenaikan gaji sebesar 50%. Dalam surat yang tembusannya antata lain dikirimkan pula ke PWI Pusat dan Cabang Medan serta Menteri Penel rangan dan Menteri Tenaga Kerja itu menyebutkan, dewasa ini biaya peliputan berita tak kurang dari Rp 1.500 per hari. Padahal gaji mereka rata-rata hanya Rp 50.000. Lima hari kemudian PWI Cabang Medan minta agar pimpinan SIB membicarakan kemungkinan mengikuti program Astek dengan para karyawannya. "Tuntutan itu lumrah. Kami akan memperhatikannya bila saatnya sesuai," begitu antara lain bunyi surat balasan Pimpinan Umum SIB, G.M. Panggabean. Tapi entah kapan tuntutan itu -- juga barangkali menjajaki kemungkinan mengikuti program Astek -- terpenuhi, para wartawan SIB sendiri sulit memastikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus