PARA wartawan, juga karyawan perusahaan pers lainnya, kini boleh
meraba masa depan. Sejak Minggu malam 26 Juni lalu segenap
perusahaan penerbitan pers, percetakan dan periklanan,
diwajibkan mengasuransikan karyawannya melalui Perusahaan Umum
Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek).
Kesepakatan bersama yang berlangsung di Press Club Jakarta di
tengah bulan puasa itu ditandatangani para pemimpin organisasi
perusahaan pers seperti SPS (Serikat Perusahaan Surat kabar),
SGP (Serikat Grafika Pers), PPPI (Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia), bersama PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) dan Astek -- disetujui oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Menteri Penerangan. Ini merupakan realisasi dari seminar
kesejahteraan wartawan di Kaliurang, Yogyakarta, Agustus tahun
lalu.
Mula-mula, dalam kesepakatan tersebut hanya disebutkan,
"mengimbau semua penerbit untuk mengikutsertakan segenap
wartawan dan karyawan anggotanya dalam program Astek". Tapi
dalam kata sambutannya Menteri Penerangan Harmoko menegaskan,
agar pengikutsertaan program Astek itu tidak hanya bersifat
imbauan, melainkan merupakan suatu kewajiban.
Ketentuan yang diatur dengan PP 33 dan 34/1977 ini meliputi
asuransi kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan dana kematian.
Iuran bulanannya merupakan persentasi dari gaji karyawan, ada
yang dibayar sepenuhnya oleh perusahaan. Misalnya, asuransi
kecelakaan bervariasi antara 0,24 sampai 3,6%. Untuk perusahaan
percetakan dan penerbitan sebesar 0,89%.
Ada iuran yang dibayar oleh perusahaan dan peserta. Yaitu untuk
tabungan hari tua: 1,5% dibayar oleh perusahaan (artinya tidak
dipotong dari gaji karyawan yang bersangkutan) dan 1% dibayar
oleh karyawan yang tentu saja dipotong dari gajinya. "Wajarlah
bila karyawan menyumbang 1% dari gaji untuk dana pensiunnya,"
ujar Direktur Pembinaan Astek Sentanoe Kertonegoro.
Menurut Ketua Umum SPS, Sunardi D.M., iuran Astek sangat murah
dibanding premi asuransi lainnya. "Perusahaan penerbitan yang
lemah pun saya kira mampu mengasuransikan karyawannya,"
tambahnya. Bahkan, menurut Kepala Divisi Operasi Astek Odang
Mochtar, iuran tersebut (paling tinggi 6,6%) jauh lebih murah
dibanding iuran asuransi sosial di Malaysia yang mencapai 30%.
Bila seorang wartawan mengalami musibah, misalnya, ia mendapat
tunjangan 100% dari gaji untuk jangka waktu selama 120 hari tak
bisa bekerja. Lebih dari waktu tersebut ia masih menerima 50%.
Ia juga mendapat biaya perawatan dan pengobatan 100%. Meliputi
biaya pengangkutan (maksimum Rp 50.000), pemeriksaan dokter,
pembelian obat, dan sebagainya yang seluruhnya maksimum Rp 1
juta.
Bila sebagian anggota tubuhnya cacat tetap, peserta Astek juga
mendapat ganti rui. Cacat kedua belah kaki dari pangkal paha ke
bawah, misalnya, mendapat 70% dari jumlah gaji. Kehilangan jari
telunjuk tangan kanan mendapat 9%, dan kehilangan jari telunjuk
tangan kiri mendapat 7%. Tabungan hari tua diberikan setelah
karyawan berusia 55 tahun. Bila ia meninggal sebelum itu,
tabungan disampaikan kepada ahli waris. Ia juga masih mendapat
dana kematian sebesar Rp 230.000.
Peraturan pelaksanaan program Astek bagi karyawan pers ini
sedang digodok. Tampaknya, seperti ditegaskan Harmoko, hal itu
bakal diwajibkan bagi semua perusahaan pers -- sebagai salah
satu persyaratan dari keluarnya SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers). Lantas bagaimana dengan perusahaan yang sudah
mengasuransikan karyawannya lewat asuransi komersial -- apalagi
mengingat jumlah santunan asuransi sosial Astek ternyata lebih
rendah?
"Astek tidak membatalkan jaminan sosial yang sudah ada," kata
Direktur Utama Astek M. Iwan Stamboel, yang pernah menjadi salah
seorang staf Pangkopkamtib itu. Mengenai Jumlah santunannya
tergantung dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal ini,
menurut Odang Mochtar, mungkin karyawan mendapat dua macam
santunan. "Atau kedua santunan itu digabung, tapi besarnya sama
dengan jumlah santunan dari asuransi komersial itu," tambah
Odang.
Dari sekitar 8.000 perusahaan yang mengikuti program Astek, tak
kurang dari 120 di antaranya perusahaan pers. Dan di antara 33
buah yang ada di Jakarta, antara lain: Sinar Kasih, Pelita,
Kompas, Gramedia, Interrnasa, Berita Yudha, Variasi Jaya, Garuda
Metropolitan Press, Indonesia Times, Dian Rakyat, Suara Karya.
Kalaupun Astek merupakan kewajiban bagi perusahaan pers, tidak
jadi soal bagi Kompas yang sudah 3 tahun mengastekkan
karyawannya. Tapi kepala personalia harian yang beroplah besar
ini, Soegito, melihat kelemahannya. "Bila tabungan hari tua
dibayarkan sekaligus, sedang karyawan tidak dapat
menggunakannya, maka dana pensiun itu akan percuma saja,"
katanya. "Itulah sebabnya Kompas selain mengikuti program Astek
juga memberikan dana pensiun sendiri," tambahnya. Bila Kompas
mengasuransikan semua karyawannya, Merdeka hanya mengasuransikan
karyawan yang memiliki masa kerja minimal 5 tahun dengan dana
US$ 5.000.
Karyawan Suara Merdeka di Semarang termasuk beruntung.
Perusahaan pers terbesar di Jawa Tengah ini selain
mengasuransikan karyawannya lewat Jiwasraya (1976) sejak Januari
1983 juga mengikuti program Astek, sehingga karyawan mendapat
dua macan santunan. "Agar santunan kematian tidak habis karena
dipergunakan secara konsumtif, disimpan di Koperasi Serba Usaha
Karyawan," kata Asisten Pemimpin Redaksi Suara Merdeka,
Sutrisno.
Betapa pun murahnya iuran Astek, sepcrti dikatakan Sunardi D.M.,
ternyata tidak smua penerbitan pers, terutama di daerah, mampu
membayarnya. Misalnya, harian Memorandum, yang oplahnya terkecil
di Surabaya. "Kalau harian yang baru berumur dua tahun seperti
Memorandum diwajibkan mengasuransikan karyawannya, ya repot,"
kata Mangestuti Agil, pimpinan perusahaannya.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Masa Kini di Yogyakarta, Muidin,
tidak keberatan mengasuransikan karyawannya, meskipun
perusahaannya kembang-kempis. "Tapi yang membayar iurannya ...
pemerintah. Sebab selima ini pers telah memberikan halamannya
untuk pemberitaan pemerintah. Sepantasnya bila pemerintah
memberi 'bonus' kepada wartawan dengan membayar iuran asuransi
Astek," katanya. Harian Mandala, Bandung, juga belum mampu
mengasuransikan karyawannya.
Yang agaknya boleh bernapas lega 20 wartawan harian Sinar
Indonesia Baru, Medan, yang 1 Juli lalu menuntut kenaikan gaji
sebesar 50%. Dalam surat yang tembusannya antata lain dikirimkan
pula ke PWI Pusat dan Cabang Medan serta Menteri Penel rangan
dan Menteri Tenaga Kerja itu menyebutkan, dewasa ini biaya
peliputan berita tak kurang dari Rp 1.500 per hari. Padahal gaji
mereka rata-rata hanya Rp 50.000. Lima hari kemudian PWI Cabang
Medan minta agar pimpinan SIB membicarakan kemungkinan mengikuti
program Astek dengan para karyawannya.
"Tuntutan itu lumrah. Kami akan memperhatikannya bila saatnya
sesuai," begitu antara lain bunyi surat balasan Pimpinan Umum
SIB, G.M. Panggabean. Tapi entah kapan tuntutan itu -- juga
barangkali menjajaki kemungkinan mengikuti program Astek --
terpenuhi, para wartawan SIB sendiri sulit memastikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini