Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA surat aneh berkop Mahkamah Konstitusi membuat Hamdan Zoelva perlu menemui Akil Mochtar, dua pekan lalu. Kepada Ketua Mahkamah itu, Hamdan meminta izin menyelidiki keanehannya. Akil tak keberatan meski dua surat itu berhubungan dengan namanya. "Silakan kalau memang ada datanya," kata Hamdan, Wakil Ketua Mahkamah, kepada Tempo, menirukan omongan Akil, ÂJumat pekan lalu.
Kedua surat tersebut berhubungan dengan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Pemilihan pada 6 Juni lalu itu dimenangi pasangan Yan Anton Ferdian dan S.A. Supriono, yang meraup 137.728 suara, jauh di atas juara kedua, duet Hazuar Bidui-Agus Sutikno, 67.218 suara. Mahkamah menolak gugatan yang diajukan pesaing Yan-Supriono pada sidang 8 Juli lalu.
Sepuluh hari setelah terbit putusan Mahkamah—yang final dan mengikat—panitera Kasianur Sidauruk menyurati Kementerian Dalam Negeri. Isinya, atas perintah Ketua Mahkamah, pelantikan Yan-Supriono mesti ditunda, menunggu "permasalahan dalam penyelenggaraan pilkada tersebut dapat diselesaikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku". Layang itu ditembusÂkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyuasin dan Komisi Pemilihan Umum Banyuasin.
Komisi Pemilihan Banyuasin meminta klarifikasi kepada Akil tentang kebenaran surat itu pada 22 Juli. Empat hari kemudian, Akil menerbitkan jawaban yang menegaskan kebenaran surat terdahulu. Dalam surat yang ia tanda tangani, Akil menyatakan pelantikan perlu ditunda untuk "memberikan kesempatan kepada Menteri Dalam Negeri menyelesaikan permasalahan hukum terkait aspek hukum lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi".
Surat 18 Juli itu aneh karena putusan Mahkamah mesti dijalankan. Tak ada lagi jalan perlawanan hukum buat mengubahnya, termasuk penundaan eksekusi. Kejanggalan lain: surat dikirim ke DPRD Banyuasin bukan lewat pos, melainkan ditenteng seseorang bernama Muhtar Efendy. Pria ini muncul sejak sengketa hasil pemilihan masuk ke Mahkamah pada pertengahan Juni lalu.
Suatu hari, Muhtar mendatangi bupati terpilih, Yan Anton. Ia datang diantar seorang pejabat Banyuasin dan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri. Kepada Yan, Muhtar mengaku sebagai kerabat Akil Mochtar. Ia menawarkan jasa untuk pengawalan perkara di Mahkamah. "Kalau tak diurus, Yan bisa kalah di MK," kata narasumber yang mengetahui pertemuan itu.
Untuk meyakinkan calon "klien"-nya, Muhtar menunjukkan prestasinya. Salah satunya sengketa pemilihan Wali Kota Palembang. "Itu Palembang bisa menang karena saya bantu," ujar Muhtar. Di Palembang, calon Romi Herton, yang kalah delapan suara dari pesaingnya, Sarimuda, berbalik unggul 27 suara setelah Mahkamah memerintahkan penghitungan ulang. Kuasa hukum Romi Herton, Ari Yusuf Amir, membantah kliennya menggunakan jasa makelar kasus di Mahkamah.
Yan tak langsung mengiyakan tawaran Muhtar. Beberapa hari kemudian, Yan diajak bersua lagi di rumah Muhtar di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Hadir pula Budi Antoni, Bupati Empat Lawang, yang juga beperkara di Mahkamah. Sebagai inkumben, ia kalah tipis dari pesaingnya, Joncik Muhammad.
Menurut saksi pertemuan, Muhtar meminta imbalan Rp 10 miliar. Yan tak mengiyakan. Budi Antoni kemudian berkata, "Ikuti saja. Kalau tidak, aku juga kena getahnya." Maksudnya, bila Yan tak membayar, perkara Budi Antoni di Mahkamah bisa ikut kandas.
Muhtar memberi Yan waktu sehari untuk berpikir. Tapi Yan tak memenuhi permintaan tersebut dengan alasan tak punya uang sebanyak itu. Muhtar memberinya lagi sehari, tapi Yan belum juga setuju. Muhtar pun menurunkan permintaan tarifnya menjadi Rp 5 miliar.
Sidang bergulir di Mahkamah. Yan tak kunjung menyerahkan pelicin. Muhtar terus memburunya lewat telepon dan pesan pendek. Pada awal Juli, menjelang pengambilan putusan, Muhtar datang lagi meminta Rp 5 miliar. Yan tetap ogah. Muhtar patah semangat, "Ya, sudah. Nanti saja setelah putusannya keluar. Yang penting komitmen dulu."
Putusan Mahkamah pada 8 Juli ternyata menguatkan kemenangan Yan. Merasa tak pernah setuju mengikat komitmen dengan Muhtar, Yan tak mau membayar ketika Muhtar menagih. Muhtar murka dan, menurut saksi itu, mengatakan, "Lima tahun lagi kita bertemu lagi di MK." Pria ini juga menebar ancaman, "Kalau tak bayar, nanti tak akan dilantik."
Kubu Yan tak percaya omongan Muhtar, hingga dua pekan kemudian, Muhtar tiba-tiba mendatangi DPRD Banyuasin. Ia menenteng surat Mahkamah tertanggal 18 Juli 2013 yang diteken panitera Kasianur Sidauruk. Isinya menyatakan pelantikan Yan mesti ditunda. "Kesaktian" Muhtar Efendy dianggap terbukti karena Mahkamah memenangkan Budi Antoni sebagai Bupati Empat Lawang.
Surat yang ditenteng Muhtar membuat pelantikan Yan tertunda. Tak paham persoalan hukum yang dimaksud dalam surat Akil, pendukung Yan mendatangi kantor Akil. Anehnya, perempuan anggota staf Akil yang menerima mereka menyatakan tak ada persoalan hukum lagi yang berkaitan dengan hasil pemilihan. "Tapi Bapak sedang banyak 'kebutuhan'," ujar perempuan itu. Kubu Yan percaya itu kode permintaan uang.
Ditemui pada Jumat pekan lalu, Yan hanya tertawa ketika dimintai konfirmasi. Ia mengatakan tak pernah meminta makelar meÂngawal kasusnya karena sejak awal yakin menang. Meski akhirnya dilantik pada 9 September lalu, Yan masih bingung kenapa Mahkamah memaksa Kementerian Dalam Negeri menunda pelantikannya.
Sesampai di kantor Kementerian Dalam Negeri, dua surat Mahkamah tadi tak pernah dibalas. "Surat tak bisa menggantikan putusan," kata Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh. "Apalagi tak ada persoalan hukum yang harus diselesaikan Kemendagri."
Para hakim konstitusi pernah berkumpul untuk membahas dua surat tersebut pada awal September. Para hakim merasa kecolongan karena dua surat itu keluar tanpa melalui rapat permusyawaratan hakim. Menurut Hamdan, pada saat rapat ini Akil sedang ke luar kota. Ketika soal rapat itu disampaikan kepada Akil, menurut Hamdan, ia menjawab, "Gila apa? Jabatan saya ini tinggi. Untuk apa mengurusi hal kecil seperti itu?"
Menilai dua surat sebelumnya ilegal, para hakim menyatakan harus ada surat susulan. Terbitlah surat tertanggal 3 September 2013 yang ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri, yang menyatakan Yan bisa dilantik. "Surat pencabutan itu untuk menanggapi surat yang dikirim Pak Akil," ujar hakim konstitusi Harjono.
Kasianur Sidauruk, yang meneken surat tertanggal 18 Juli 2013, mengatakan menulis berkas itu karena diperintah Akil. Selesai dibuat, kata dia, surat diserahkan kepada bagian tata usaha. Dalam aturan Mahkamah, surat hanya dikirim melalui pos. Ia tidak tahu mengapa surat bisa jatuh ke tangan Muhtar Efendy. "Saya tak kenal dia," katanya.
Muhtar Efendy belum merespons permohonan wawancara. Didatangi ke alamatnya sesuai dengan kartu tanda penduduk di Jalan Cempaka Sari V 19-G, Jakarta Pusat, ia tak ada di tempat. Alamat itu adalah rumah toko tempat menyimpan barang-barang kebutuhan kampanye. "Bapak tinggal di Kelapa Gading," ujar Soleh, pegawai Muhtar, Kamis pekan lalu. Ia menolak memberitahukan alamat bosnya, tapi berjanji akan mengantarkan surat permohonan wawancara.
Akil Mochtar semula bersedia menerima wawancara untuk menjawab tudingan itu. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata bergerak lebih cepat, menyingkap perkara lain yang melibatkan Akil.
Anton Septian, Tri Artining Putri, Bagja Hidayat (Jakarta), Parliza Hendrawan (Banyuasin)
Banyuasin
Hasil pemecahan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 2002.
» Kecamatan: 17
Hasil pemilihan versi KPU:
1. Yan Anton Ferdian-Supriono: 137.728 suara
2. Agus Saputra-Sugeng: 11.566 suara
3. Hazuar Bidui-Agus Sutikno: 67.218 suara
4. Arkoni-Nurmala Dewi: 53.296 suara
5. Askolani-Idasril: 53.427 suara
6. Slamet-Syamsuri: 62.323 suara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo