SEKADAR ikut denyut jempol kaki, Nafisah sampainya di bui. Warga Jakarta Pusat ini divonis 2 bulan potong tahanan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta, pertengahan Januari lalu. Kisahnya begini. Nafisah, 20 tahun, sehari-hari menjual tenaga sebagai buruh cuci dan setrika di bilangan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. ''Kalau pas ada kerjaan, bisa dapat Rp 5.000 sehari,'' katanya. Anak kedua dari tujuh bersaudara ke-luarga Baharudin asal Cirebon ini menikah dengan Riki -- asal Palembang -- dua tahun lalu. Suaminya jarang di rumah karena bertugas menjaga parkir siang sampai malam. Cekcok kecil sering terjadi. Keadaan kian suntuk, karena si suami dianggapnya mengabaikan anak mereka yang berusia 16 bulan. Puncaknya, Nafisah minggat akhir November silam. Bayinya ditinggalkan. ''Saya tak tahu ke mana tujuan. Pokoknya, pergi dari rumah,'' tuturnya sebelum sidang kepada Moch. Faried Cahyono dari TEMPO. Ceritanya, sesampai di Yogyakarta ia berkeliling kota, dan di depan Pasar Gejayan ia masuk di toserba Elok. Bajunya kumal. Wajahnya pun kusut masai. Ini rupanya menjadi perhatian petugas. Nafisah tidak membeli apa-apa, sebab kantongnya kempis. Namun, ia tergiur meraih sekaleng Sustagen. Belum sempat mengantongi bubuk minuman itu, ia dibekuk petugas. Seperti biasa, si petugas bukan cuma main pukul, tapi juga main gunting. Rambut Nafisah digunting pitak alias gundul kacau. Setelah babak-belur baru diserahkan ke Kepolisian Sektor Kota Gondomanan. Empat hari kemudian suaminya, Riki, 23 tahun, muncul bersama kakaknya. Ia mengaku bingung ditinggali anak tanpa pesan. Pusing mencari istrinya ke pelosok Jakarta, tahu-tahu datang kabar dari Yogyakarta. Lebih kaget lagi ia melihat wajah istrinya lebam. Riki sewot. Istrinya dihukum karena tuduhan mencuri, ya, sudahlah. Tapi perlakuan si petugas toserba itu tak dapat diterimanya. Riki akan memperkarakannya. Mendengar itu, Nafisah kontan luluh. Bukan cuma jengkelnya yang lenyap, tapi dia merasa jatuh hati lagi pada sang suami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini