Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemegang Mandat Bisnis Keluarga
Jusuf Kalla dipercaya mengendalikan usaha keluarga sejak muda. Adik-adiknya diminta meniti karier dari bawah.
Halim Kalla masih ingat panggilan telepon abangnya, Jusuf Kalla, yang ia terima 34 tahun lalu. Waktu itu, medio 1980-an, Halim berusia 24 tahun dan baru lulus kuliah di Jurusan Teknik Mesin, State University of New York, Buffalo, Amerika Serikat. Setiba di Indonesia, ia ditelepon kakaknya. "Abang saya bilang, 'Kau cari pengalaman dulu di daerah, coba kerjakan itu proyek jalan'," kata Halim. "Ya, saya turuti arahan beliau," ujarnya kepada Tempo, 16 Juni lalu.
Jusuf meminta Halim memantau proyek pembangunan jalan 350 kilometer dari Palopo ke Makassar, yang dikerjakan Bumi Karsa, anak perusahaan Grup Kalla. "Saya bekerja sebagai staf pengawas konstruksi. Selama dua bulan tinggal di bedeng-bedeng," ucap Halim, 57 tahun.
Kendati perusahaan itu dimiliki keluarga, kata Halim, Jusuf tak pernah langsung menempatkan adik-adiknya di posisi "empuk". Sebab, Jusuf ingin saudara-saudaranya belajar bisnis dari bawah. "Begitulah cara abang saya menggembleng adik-adiknya," ujar Halim.
Jusuf, sebagai anak laki-laki tertua, memang memiliki peran sentral di antara sepuluh bersaudara anak pasangan Haji Kalla-Athirah. Jusuf anak kedua, sementara Halim di urutan kedelapan. Sang ayah, Haji Kalla, memberi kepercayaan kepada Jusuf sebagai pengendali bisnis keluarga. Pada usia 26 tahun, setamat kuliah ekonomi di Universitas Hasanuddin, Jusuf didapuk menjadi pemimpin NV Hadji Kalla. Di tangan Jusuf, bisnis beranak-pinak dan berkembang pesat merambah sektor otomotif, industri, alat berat, hingga energi.
Sebagai nakhoda bisnis, Jusuf berhak menentukan posisi anggota keluarga dalam pohon bisnis Kalla. Achmad dan Suhaeli, anak ketiga dan keempat, bersama-sama memegang PT Bukaka Teknik Utama. Farida, anak kesembilan, diposisikan sebagai Direktur Migas PT Bumi Sarana Utama, yang bergerak di bidang energi dan proyek infrastruktur. Halim, setelah bekerja di Bumi Karsa, dibebaskan membuat perusahaan-perusahaan sendiri di bawah bendera Haka Group. Sedangkan NV Hadji Kalla, yang sudah berubah nama menjadi Kalla Group, dikendalikan si bungsu Fatimah sejak Jusuf menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada 1999.
Menurut Halim, hanya si sulung Nurani dan anak ketujuh, Ramlah, yang tak memegang perusahaan. Ramlah adalah istri Aksa Mahmud, kawan sepermainan Jusuf yang mendirikan PT Bosowa Corporindo. Di kemudian hari, Jusuf menjadi komisaris perusahaan tersebut.
Tak hanya mengatur posisi adik-adiknya, Jusuf juga mencarikan tempat bagi anak serta menantunya. Putra satu-satunya, Solihin Kalla, dipercaya memimpin PT Bumi Sarana Utama dan PT Bukaka Lintastama. Putri Jusuf, Imelda, memegang PT Makassar Mina Usaha. Soesanto Soepardjo, yang menikahi putri tertua Jusuf, Muchlisah, diminta memimpin PT Kalla Inti Karsa. Menantu Jusuf, Zumadi Anwar, juga diberi posisi. Suami Imelda Kalla ini menjadi Direktur Utama PT Bumi Karsa. "Sekarang pembagiannya sudah sampai generasi ketiga. Bukan hanya adik, tapi juga anak-anak," kata Halim. "Keluarga mengikuti arahan Pak JK. Kami menghormati beliau layaknya menghormati seorang bapak."
Rasa hormat Halim tak berlebihan, karena Jusuf Kalla sudah memegang tampuk pimpinan bisnis sejak Halim masih berumur sepuluh tahun. Halim sendiri tinggal seatap dengan Jusuf, di rumah keluarga Kalla di Makassar, di Jalan Andalas 2, sejak lahir hingga menjejak sekolah dasar. "Ketika masuk SD, saya pindah ke Jakarta dan tinggal bersama kakak tertua kami, Nurani," ujarnya.
Kendati sebentar, banyak pengalaman yang diingat Halim. Abangnya itu selalu membuat rumah menjadi ramai oleh teman-temannya sesama aktivis kampus. Maklum, Jusuf merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Abangnya itu juga aktif mengikuti kegiatan di masjid, lantaran sang ayah menjadi pengurus masjid. "Bapak itu anggota NU (Nahdlatul Ulama), jadi banyak kegiatannya," ucap Halim.
Saat Halim remaja, dia ingat, setiap kali bertandang ke Jakarta, abangnya tak lupa mendatangi markas HMI pusat di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Kebetulan, markas tersebut dekat dengan rumah Nurani. Di tempat itulah, kata Halim, Jusuf berkawan dengan tokoh-tokoh HMI senior, seperti Akbar Tandjung, Mar'ie Muhammad, dan Fahmi Idris.
Seperti halnya dalam bisnis, Jusuf Kalla sudah mengenal politik praktis sejak muda. Namun, bedanya, menurut Halim-yang kini menjabat Wakil Bendahara Umum Golkar-abangnya tak menentukan pilihan politik saudara-saudaranya. "Saya dibebaskan," ujarnya. Pada 1996, Halim menjadi anggota Golkar. Pada 1998, ia hijrah ke Partai Amanat Nasional bentukan Amien Rais. "Pada saat itu, teman saya banyak di sana," katanya.
Jusuf, yang saat itu menjadi petinggi DPP Golkar, tak mempermasalahkan pilihan Halim loncat ke PAN. "Saya masuk partai juga bukan karena dorongan Pak JK," ujar pria beranak dua yang menggemari balap mobil ini. Medio 2008, Halim kembali ke Golkar dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan 2.
Selain Halim, anggota keluarga yang aktif di partai adalah Suhaeli. Dia menjabat Bendahara Umum Golkar ketika Jusuf menjadi ketua umum periode 2004-2009. Isu nepotisme sempat menerpa ketika Jusuf mengangkat adiknya sebagai bendahara. Apalagi kerabat Jusuf, Fahmi Idris, dipilih sebagai wakil Suhaeli. Namun Halim membantah isu nepotisme itu. Sebab, kakaknya, yang saat itu menjabat Ketua Umum Golkar, melarang Halim aktif di DPP. "Takut disangka nepotisme," ujar Halim.
Perihal nepotisme dalam bisnis juga dibantah. Halim menyanggah ada keistimewaan yang diterima perusahaan keluarga selama Jusuf menjadi wakil presiden 2004-2009. Contohnya rencana pembangunan pembangkit listrik berkekuatan 250 megawatt di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Proyek senilai US$ 250 juta itu digarap PT Bosowa Energy. Dalam wawancara dengan Tempo pada 2009, Jusuf Kalla membantah ada unsur nepotisme. Menurut dia, Bosowa tergolong sebagai IPP (independent power producer alias pengembang listrik swasta), bukan ikut tender pemerintah. "Justru kita harus angkat topi kepada pengusaha yang mau ambil risiko," katanya.
Menurut Halim, perusahaan keluarga Kalla jarang sekali bermain proyek pemerintah. Jika ada, mereka ikut tender. "Itu pun sering kalah," ujarnya. Tanpa ikut tender pemerintah pun, perusahaan Grup Kalla meraup banyak untung. Posisi Jusuf Kalla sebagai petinggi negara, kata Halim, tak banyak memberi profit bagi perusahaan. "Justru perusahaan yang menyumbang untuk kegiatan politik. Kami kan menyumbangkan uang juga untuk pencalonan sekarang," ujar Halim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo