Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Persimpangan, Memilih Bisnis

Usaha orang tua Jusuf Kalla hampir kolaps saat inflasi 1965. Ia menghidupkannya kembali sembari kuliah.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHAMMAD Jusuf Kalla dihadapkan pada pilihan: menjadi pegawai Depot Logistik Makassar atau meneruskan usaha keluarga di bidang ekspor-impor produk pertanian, perkebunan, dan industri tekstil, yang sedang kolaps.

Waktu itu tahun 1967. Jusuf masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Teman seangkatannya, Alwi Hamu, bercerita, Haji Kalla menasihati putra sulung buah pernikahannya dengan Athirah tersebut agar menerima tawaran pemerintah. "Untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi kalau tidak masuk pemerintahan?" kata Alwi mengutip Haji Kalla.

Alwi, yang ditemui di Jakarta awal Juni lalu, bercerita, pemerintah menawarkan jabatan itu karena posisi Jusuf tokoh mahasiswa yang menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ujungpandang dan Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Sulawesi Selatan. Jusuf akhirnya memilih bisnis yang dibekukan ayahnya karena inflasi menggilai pasca-Gerakan 30 September 1965.

Di antara sekian banyak usaha Kalla, hanya dua yang bertahan. Salah satunya jasa transportasi bus Cahaya Bone. Bus ini melayani rute Makassar-Kabupaten Bone sejauh 160 kilometer. Bone adalah kampung halaman Kalla. Satunya lagi usaha sarung sutra. "Kalla lebih memilih menyimpan modal dan membeli emas," kata Alwi.

Menurut Alwi, sebelum krisis politik melanda, bisnis Haji Kalla sedang moncer. Ia baru saja melebarkan sayap bisnis ke Kabupaten Wajo, daerah tetangga Bone, hingga ke Makassar.

Dia pun baru membuka usaha Cahaya Bone serta mendirikan NV Hadji Kalla bersama dua sahabatnya, Hijaz Junus dan Samad Suaeb, pada 1952. Usaha ini dirintis Kalla sejak berusia 15 tahun. Mulanya pria kelahiran 1924 ini mengelola kios di Pasar Bajoe, Watampone, Bone, dengan berjualan kain dan beras. "Dia bahkan sudah mengekspor produk pertanian," ucap Alwi.

l l l

Awal persinggungan Jusuf Kalla dengan politik adalah saat ia memilih aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam. Karier organisasinya cukup lancar, hingga ia dipercaya menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ujungpandang.

Saat menjabat ketua, ia menjadikan kediaman orang tuanya di Jalan Andalas Nomor 2, Makassar, sebagai markas pengurus HMI. Rumah tersebut selalu ramai. Ke sana para aktivis HMI kerap datang untuk sekadar bercanda atau membahas perkembangan politik nasional. "Pak Jusuf yang sering mengajak pengurus datang ke rumahnya," kata Tanri Abeng, junior Jusuf di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin dan di HMI.

Tanri mengisahkan orang tua Jusuf amat terbuka dengan aktivitas Jusuf dan rekan-rekannya itu. Suguhan makanan dan minuman kerap disediakan.

Menurut Alwi, saat itu HMI belum memiliki sekretariat tetap, sehingga Jusuf menawarkan rumahnya sebagai markas. Pertimbangannya, kediamannya berdekatan dengan kantor balai pengobatan HMI, di sebelah Masjid Raya Ujungpandang. "Memang kami basisnya di masjid sehingga sering kumpul-kumpul di dekat situ."

Alwi mengatakan markas HMI baru pindah ke bekas Konsulat Cina di Jalan Chairil Anwar Nomor 15 pada akhir 1965, setelah diambil alih mahasiswa. Meski demikian, kata dia, banyak aktivis kampus kerap memilih berdiskusi di rumah Jusuf.

Aktivitas Jusuf di HMI sebenarnya kisah lanjutan belaka dari kegiatan dia sebelum mengambil alih bisnis keluarga. Jusuf pernah menjadi Ketua Pelajar Islam Indonesia Sulawesi Selatan pada 1960. Bekal inilah yang membuatnya langsung kepincut terjun ke organisasi mahasiswa saat kuliah, 1961.

Pada 1965, ia terpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa. Lalu berturut-turut Jusuf menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ujungpandang (1965-1966) dan Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Cabang Sulawesi Selatan (1965-1967).

Ketika memimpin KAMI pada akhir 1965, kata Alwi, Jusuf sempat membentuk lembaga baru bernama Badan Aksi Mahasiswa Indonesia (BASMI). Lembaga ini dibuat setelah pemerintah pusat membubarkan KAMI dengan alasan politik.

BASMI inilah yang dijadikan Jusuf sebagai alat menggelorakan semangat mahasiswa setelah tumbangnya rezim Orde Lama. Fokus BASMI lebih ke gerakan sosial, seperti membantu petani melawan hama yang menyerang padi. "Ini adalah gerakan politik yang dibungkus gerakan moral," ujar Alwi. BASMI hanya bertahan dua bulan, sebelum KAMI aktif kembali.

Semasa kuliah, menurut Alwi, Jusuf dikenal supel dan bersahabat. Sepeda motor Vespa yang dibeli dari usaha dagangnya, juga Chevrolet DD-3767, kerap menjadi kendaraan operasional organisasi dan tunggangan teman-temannya. "Meskipun baju Jusuf sudah disetrika, pasti dikucek-kucek dulu agar kelihatan kusut," kata Alwi.

l l l

Jusuf Kalla kuliah cukup lama, hampir tujuh tahun. Setahun sebelum menyandang gelar sarjana, akhir 1967, dia mulai terjun mengurusi usaha keluarga. Ia menghidupkan lagi NV Hadji Kalla, yang sempat beku selama tiga tahun.

Lalu ia membentuk perusahaan konstruksi PT Bumi Karya, yang belakangan diubah jadi Bumi Karsa, dan mengajak teman-temannya di HMI, seperti Alwi Hamu dan Aksa Mahmud. Selain mereka, ada Husni M. Yatim dan Taju. "Setelah menggeluti bisnis, Jusuf langsung mengimpor mobil merek Toyota dari Jepang," ujar Alwi.

Menurut istri Jusuf, Mufidah, pada awal 1969, Jusuf mendapat pinangan Toyota Jepang menjadi agen tunggal pemegang merek di Indonesia. Tapi Jusuf merasa modalnya belum cukup. "Bapak juga merasa sumber daya manusianya masih terbatas," kata Mufidah, 4 Juni lalu.

Lalu Jusuf bermitra dengan William Soeryadjaya, pendiri PT Astra International. Maka, dengan bendera NV Hadji Kalla, ia menjadi agen Toyota di kawasan Indonesia timur. Sedangkan wilayah barat dikuasai William. "Pertama kali mengimpor Toyota semi-knockdown kanvas," ujar Alwi.

Sejak saat itu, bendera Kalla Group kembali berkibar, dan sekarang sudah berkembang menjadi enam perusahaan. Bidang usahanya menjangkau banyak hal, dari otomotif hingga pembiayaan, dari energi, konstruksi, sampai properti.

Lalu, pada 1982-1987, Jusuf Kalla menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. "Jusuf menyerahkan perusahaan ke adik-adiknya saat menjadi anggota MPR itu," kata Alwi.

Aktif di pemerintahan tidak menghentikan langkah Jusuf di dunia usaha. Pada 1980-an, ia menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri Sulawesi Selatan. Pada masa itu, ia aktif membina pelaku usaha, seperti menjadi pelopor temu usaha antara pemodal, pengusaha, dan petani. "Ia berpikir, kalau usaha dikembangkan di kawasan timur, akan berimbas ke barat," ucap Alwi.

Berbekal pergaulan sebagai pengusaha itulah langkah Jusuf Kalla melebar ke dunia politik praktis. Sampai saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus