Pulau Buru yang pernah menjadi tempat penampungan tahanan politik G-30-S/PKI sempat menjadi nama yang menggetarkan. Banyak yang tidak tahu macam apa tanah itu. Berikut ini, wartawan kami Toeti Kakiailatu menuliskan laporan perjalanannya tahun lalu. Ternyata, setelah tahun-tahun berlalu, permukiman yang dulu rimba dan rawa itu berubah. Buru telah menjadi kawasan pertanian subur dengan penduduk yang cukup sandang-pangan. MATAHARI pagi ada di belakang kami, di atas laut Maluku. Ombak yang ramah membuai kapal Tiga Berlian. Tanjung Alang yang terkenal berombak ganas itu telah terlampaui dengan selamat. Jauh di sebelah kiri terlihat bukit Batuboi yang puncaknya masih tersaput kabut. Permukaan air masih tampak keabu-abuan. Tapi hutan bakau semakin hijau diterpa sinar mentari. Tiga Berlian berayun ke Teluk Kayeli. Air yang berwarna hijau pekat kini bergelombang lebar-lebar, turun naik bagai laut sedang bernapas. Sisi kiri pantai teluk tampak timbul-tenggelam semakin kecil karena kemudi mengarah ke sudut kanan menuju Namlea. Ibu kota kecamatan yang letaknya terlindung Tanjung Kerbau itu kini bertambah jelas. Hari makin terang. Tampak jajaran pohon kelapa. Semak kayu putih bertumpang tindih dengan alang-alang. Lalu menara masjid, gereja, tangki minyak, gudang, dan -- tentu saja -- rumah-rumah beratap seng bercat merah atau hijau. Di sekitarnya puluhan biduk kecil yang disebut kole-kole seperti mengucapkan selamat datang. Sungguh seperti dongeng. Sayup terdengar suara kaset dari sebuah kole-kole melantunkan nyanyian yang panjang sejarahnya: Kole-kole/Orembai, kole/Raja putih tanah Barat/Orembai, kole. Lalu tali kapal dilemparkan ke darat. Tiga Berlian merapat. Penumpang menjejakkan kakinya di Pulau Buru. Sebuah nama yang selama ini sering diucapkan dengan perasaan seram. Sebuah pulau yang membawa getaran khusus. Tempat yang telah membuat sejarah sebagai pengasingan ribuan orang komunis, untuk "direhabilitasi". Benarkah pulau itu mendebarkan? Berbagai pertanyaan pun menggelitik benak. Wajah Namlea kemudian segera memberikan jawaban. Bayangan buruk yang semula menghantui lenyap. Namlea sekarang beda dengan Namlea dua puluh tahun lalu. "Dulu," kata La Rungga -- seorang Buton yang sudah bertahun-tahun di Buru, "dermaga penuh oleh puluhan tentara dan ratusan orang tahanan. Betapa ngeri karena orang tahanan itu kurus-kurus, pucat kuning, tapi mata tajam." Sekarang suasananya sudah sangat lain. Selama lima tahun terakhir, Pulau Buru sulit untuk bisa disebut terisolasi. Hampir setiap hari ada kapal tiba di sana. Pagi tiba, dan berangkat lagi menjelang tengah malam keesokan harinya. Kapal Tiga Berlian, misalnya, hanya memungut ongkos Rp 2.000 seorang plus Rp 2.500 untuk bawaan sebesar karung untuk pelayaran Ambon-Namlea selama 8 jam. Kalau mau lebih nyaman, penumpang bisa menyewa tempat tidur susun Rp 10 ribu. Kapal yang lebih besar, seperti Virgo, memasang tarif Rp 8.000 di Palka dan Rp 12.500 di kamar. Sedangkan tiket pesawat Merpati seharga Rp 28.500. Namun, pesawat itu hanya beroperasi seminggu sekali. Pada hari Minggu. Dulu -- semasa masih menjadi tefaat ("tempa pemanfaatan") -- setiap orang yang keluar masuk pulau harus membawa izin. Sekarang bebas. Dulu orang di Pulau Ambon, misalnya, hampir tak menggubris pulau ini. Pelayaran sulit. Lebih dari itu, kawasan Maluku Tengah memang kurang dipedulikan. Sekarang, kapal hilir-mudik ke Namlea. Jalan-jalan di Namlea hampir serupa dengan Ambon. Sesak dengan kendaraan umum. Banyak toko di sana yang sekaligus menjadi rumah tinggal. Puluhan antena TV bermunculan dari atap rumah seolah bersaing adu tinggi. Poster film Indonesia dan India meramaikan bioskop. Lalu di mana bekas tempat para tahanan itu? Desa Savanajaya terletak sekitar 40 km ke arah dalam. Itulah bekas kawasan Inrehab terdekat dari Namlea. Selalu ada kendaraan umum dari Namlea ke sana. Siang atau malam. Jalanan yang berlubang, mendaki, dan berkelok memaksa kendaraan berjalan perlahan, selama dua jam. Dua puluh tahun lalu, jalan itu tak mungkin dilalui mobil. Banyak sungai kecil yang tak berjembatan. Kalaupun ada, hanya berupa bilah bambu atau batang kelapa. Maka, sungai Waiapulah jalur terpenting menuju kawasan Inrehab. Wajah bekas Inrehab itu kini sudah sulit dibedakan dengan wajah desa lain. Bahkan terasa makmur. Para penghuninya memang berubah. Mereka bukan lagi melulu tahanan politik -- para anggota PKI golongan B, melainkan didominasi orang-orang transmigran, setelah kawasan itu diubah menjadi areal transmigrasi. Rumah tembok beratap genting dan berjendela kaca nako telah banyak menggantikan rumah papan beratap seng. Antena TV pun makin ramai menjulang. Padahal, listrik belum mengalir ke sana. Gedung-gedung peninggalan Inrehab masih berfungsi. Ada gereja, masjid, dan balai pertemuan umum. Pada setiap unit -- jarak antar-unit 8 km -- ada SD dan SMP. SMA cuma terdapat di Namlea, kota kecamatan. Sedang di Mako -- sebutan wilayah yang berasal dari "markas komando" terdapat madrasah. Sepetak tanah dekat kantor Mako dulu, sekarang tumbuh menjadi pasar. Hari pasar di setiap unit bergiliran. Masing-masing seminggu tiga kali. Suasana pasar tak banyak berbeda dengan pasar-pasar di pedesaan Jawa. Perempuan lebih banyak berjualan di sana ketimbang laki-laki. Di pasar inilah beragam orang berkumpul. Orang-orang Buton, di sana disebut Orang Binongko, biasanya mempunyai toko bahan makanan. Sedang pedagang penduduk asli atau Jawa menggelar dagangannya di atas tikar atau meja kecil. Pasar terbesar dan ramai adalah di Terminal Oto di Desa Granden -- dulu bernama Wanaasri, Unit XI. Nantinya, di situ akan dibangun pangkalan bis dan sekaligus pusat pertokoan. Bukan tidak mungkin daerah ini nanti sama ramai dengan Namlea. Sebab, di sinilah titik temu kawasan permukiman transmigrasi A dan B. Tapi belum seluruh bekas Inrehab dipakai untuk proyek transmigrasi. Atau buat pengembangan desa. Misalnya Desa Wailow, yang dulu bernama Unit R dan S, hingga kini masih kosong. Daerah itu sebenarnya cukup makmur. Ternak -- terutama sapi Bali -- berlimpah. Sapi-sapi itulah yang sering di-"ekspor" ke Ambon, sehingga ibu kota Maluku ini tidak lagi mendatangkan sapi dari NTT. Pembebasan tahanan pada tahun 1977 menghentikan laju kemakmuran. Para tahanan meninggalkan berbagai piaraannya. Ratusan sapi masuk hutan dan menjadi liar. Tak seluruh wajah Inrehab berubah. Di Waigeren (Wanawangi -- Unit V) ada sedikit yang tersisa. Di tengah sawah tegak patung seorang prajurit setinggi dada. Pada monumen itu tertulis: "Telah gugur di tempat ini, Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura. Pada tanggal 6 Oktober, 1972 jam 13.30 WIT. Di dalam menjalankan tugas dari pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila." Faktanya: Umar diserang dua warga Inrehab. Golok dan arit merobek punggungnya. Kabarnya, dua orang itu hendak melarikan diri. Mereka perlu senjata. Kebetulan Umar lewat, apalagi suasana sekitar sepi. Padahal, kata seorang yang mengaku pernah tinggal di unit itu, "tak ada yang membenci Umar. Dia baik. Hanya nasibnya saja yang sial. Di unit kami memang banyak anak mudanya. Semangatnya masih membara, dan keinginan untuk melarikan diri dipupuk setiap malam ketika mereka berbaring di barak-barak." Namun, peristiwa itu tak sampai menimbulkan pergolakan. Para bekas warga Pulau Buru enggan mengingat peristiwa itu. Beberapa bekas penghuni Inrehab sekarang masih menetap di Buru. Mereka telanjur lekat dengan pulau itu ketimbang, misalnya, balik ke Jawa. Sejumlah yang lain memilih "pulang kampung" setelah masa pembebasan tiba. Yang tertinggal di antaranya Djoko Sutaryo, 61 tahun. Lelaki asal Klaten ini lulusan APDN. Ia pernah menjadi Sekretaris Kabupaten Jambi. Tapi kemudian kuliah lagi di Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 1965 ia sudah tingkat IV. Tapi "nasib sial... he-he-he," ujarnya, sepertinya menertawakan diri sendiri. "Bulan Februari 1965, kok saya mau teken menjadi anggota PKI." Yang paling ia sedihkan bukan karena ia di-"buru"-kan, sementara rekan seangkatannya ada yang sudah menjadi gubernur. Tapi karena ia kehilangan anak. Ketika peristiwa G-30-S/PKI meletus, dua anak tertuanya terpisah. Ia tak pernah tahu lagi nasib mereka. "Hilang. Tak jelas," ucapnya, pendek. Tahun 1970, ia tiba di Buru. Empat tahun kemudian, istri dan dua anaknya yang lain menyusul. Sekarang anak bungsunya sudah kuliah di Yogya. Djoko sama sekali tak berkeinginan meninggalkan Buru. "Saya kerasan di sini. Saya sudah tua, istri saya pun sakit-sakitan." Pengetahuannya yang dalam tentang ilmu bercocok tanam, kearifan, juga usianya, menjadikan Djoko dituakan oleh masyarakat setempat. Ia dipilih sebagai kepala desa. Ada juga yang tak sepenuhnya tahu mengapa ia dikirim ke Buru. Purwadi Juli Asmoro, 46 tahun, misalnya, mengaku "tahu komunisme pun tidak." Tapi, kata lulusan sebuah SMA di Yogya ini, "Mungkin karena saya bekerja di Pabrik Gula Madukismo." Banyak pekerja serupa itu yang dianggap -- dan mungkin memang -- terlibat. Toh ia dapat menikmati kehidupannya kini. Istrinya punya warung kecil. Mereka juga membuat tahu dan tempe. Studi keenam orang anaknya lancar. Salah seorang sudah bekerja di Sumatera Selatan, dua orang kuliah di Yogya, tiga yang lain masih di SMA Namlea. Harus diakui kehadiran para bekas tahanan -- yang rata-rata berpendidikan baik -- telah mendorong kemajuan Buru. Para warga mantan warga Inrehab itu sudah sangat terlibat dalam masalah setempat. Terutama di bidang pertanian. Djoko, misalnya, mempersoalkan harga pestisida. Ia mengusulkan, kalau mungkin agar "kami diberi subsidi pestisida." Arief Sugianto, 57 tahun, memasalahkan penyimpanan bahan makanan. "Di sini," kata bekas Kepala Pendidikan Dasar Kota Madya Malang ini, "kalau menyimpan palawija dan gaplek lebih dari tiga bulan akan menjadi bubuk." Sedang Taruna Ngantung, 44 tahun, pening dengan soal pemasaran. Dulu Ngantung mahasiswa Fakultas Hukum UKI Jakarta, dan menjadi anggota CGMI -- organisasi mahasiswa yang berafiliasi pada PKI. Para bekas warga Inrehab itu dapat disebut sepenuhnya bebas. Hanya saja memang masih ada ketentuan yang harus ditaati. "Sebulan sekali saya dan teman-teman masih harus lapor ke Koramil," kata Tukimin, 41 tahun. Dulu ia anggota IPPI -- organisasi pelajar milik PKI -- di SMEA Solo. Di Buru, ia memperoleh jodoh anak seorang transmigran. Bagi mereka, melapor bulanan adalah aktivitas rutin. Mereka juga boleh terlibat dalam keramaian masyarakat. Tapi untuk berkesenian masih ada batasan. "Menyanyi boleh," kata Tukiman, penduduk Mako, yang punya warung. Tapi kesenian yang ada dialog, seperti main sandiwara atau mendalang, belum boleh. Memang ada sedikit trauma yang masih mengusik ketenangan para bekas penghuni Inrehab itu. Yang paling mereka sedihkan adalah makian yang kadang dilontarkan orang kepada anak mereka. Misalnya, "dasar anak PKI". Seorang ayah mengeluh, "Kami ini tidak mau macam-macam lagi. Disuruh apa saja mau kok. Tapi anak-anak kami mbok jangan dimaki begitu." Jangankan di Pulau Buru, tempat lain pun agaknya diperlukan waktu satu generasi lagi agar "stempel" demikian lenyap sama sekali. Persoalan lain yang menghadang mereka adalah persoalan serupa yang dihadapi orang Trans -- sebutan bagi para transmigran. Yakni tanah. Djoko dan sejumlah penghuni Buru lain mengeluh. Lahannya, menurut mereka, diambil begitu saja oleh orang Binongko. Berekspansi ke timur memang sudah menjadi tradisi orang-orang Buton selama ratusan tahun. Terutama ke Maluku. Sebenarnya, sertifikat tanah sudah keluar. Tentu saja atas nama para bekas warga Inrehab dan orang-orang Trans lain. Mereka pun sudah menggarapnya rapi. Tiba-tiba datanglah orang Binongko, membuat pagar dan memancangkan rumah di tanah itu. "Saya sudah mengadu sampai kecamatan," kata Djoko. Tapi pejabat setempat tak bisa apa-apa. Kalau mereka ngotot menggarap tanahnya, "paranglah yang akan bicara." Hingga sekarang persoalan semacam ini masih menggantung. Komposisi penghuni Buru secara keseluruhan beragam. Selain para pendatang baru dari Jawa -- dulu warga Inrehab maupun orang Trans -- banyak pula orang lama. Mereka adalah orang Binongko. Baik yang sudah turun-temurun di sana, maupun yang masih hilir-mudik ke kampung halamannya -- Buton. Yang tentu saja tak boleh dilupakan adalah penduduk asli yang disebut orang Alfuru, yang walaupun secara ekonomi rata-rata mereka agak tertinggal. Di pulau itu terdapat sekitar 36 puak Alfuru. Mereka masing-masing punya tradisi dan bahasa yang hampir berbeda sama sekali. Wilayah antarpuak biasanya terpisahkan oleh batas alamiah. Misalnya sungai atau bukit. Sampai sekarang banyak di antara orang Alfuru yang masih menjadi "manusia bebas". Mereka bekerja bilamana perlu dan mau. Mereka masih menggantungkan penghidupannya pada alam. Pada sagu yang tumbuh bebas, pada kelapa dan pisang di kebun, juga pada ikan di sungai. Kalangan tua sama sekali tak tergoda oleh penghidupan masyarakat sekitarnya yang nampak lebih baik. Mereka hanya peduli untuk berburu dan menyuling minyak kayu putih. Ya, menyuling minyak kayu putih adalah penghidupan lama mereka. Pada abad lalu, VOC telah memulai usaha itu. Mereka dengan cerdik menjerat orang-orang Alfuru dan Binongko untuk menggantungkan hidup pada ketel-ketel penyulingan. Hingga saat ini minyak kayu putih masih menjadi bagian hidup mereka. Laki-laki dan perempuan masih terus berjalan di lereng-lereng tempat pohon kayu putih tumbuh alami. Mereka membawa keranjang tinggi, dan berjalan di antara semak kayu putih setinggi pinggang. Pertengahan tahun lalu, harga daun kayu putih Rp 1.250 per kilogram. Generasi yang lebih muda cenderung meninggalkan warna monoton kehidupan lama. Rumah Alex Lesbata, misalnya, walaupun masih sangat sederhana, telah bersentuhan dengan "bau modern". Rumah itu punya tirai. Di dinding pun terpajang poster Christine Hakim dan Tanti Yosepha. Sedang di atas pintu dipasang poster Bunda Maria. Pertemuan antar-etnis itu makin mengubah Buru. Pernikahan campuran sangat dianjurkan oleh berbagai kalangan. Sewaktu beberapa pria Alfuru berjalan, misalnya, seorang di antaranya terdengar nyeletuk. "Hei, dong. Ambil itu perempuan Jawa yang kuning-kuning yang bisa kasih banyak anak." Tiga wanita yang ditunjuk itu cekikikan. Perkawinan campuran tak sedikit terjadi. Dalam data terlihat, dari seluruh perkawinan 12 persen di antaranya adalah kawin campur. Yakni antara "orang kampung" dan keluarga Trans atau "eks warga". Keluarga Demyanus misalnya. Hansip itu segera jatuh hati pada Arlia, anak transmigran asal Banyuwangi yang tiba di Buru tahun 1982. Seminggu kemudian, ia mendatangi orangtua Arlia untuk meminang. Lalu berlangsung pernikahan dengan emas kawin Rp 10 ribu. Sekarang pasangan tadi telah punya tiga anak. Namun, Arlia hanya menunduk diam jika ditanya pendapatnya tentang Demyanus. Kenapa? Seringkah memukul? "Kalau itu, rajin dia," jawabnya lirih. Tapi cintakah ia pada Demyanus? Arlia berbalik tanya. "Cinta itu apa, sih?" Tentu tak semua pasangan campuran bernasib sekelam itu. Yang bahagia banyak. Terutama pernikahan antara laki-laki Jawa dan wanita Alfuru. Keluarga Sardi, Senen, atau Wagiri misalnya. Inilah wajah Pulau Buru sekarang. Kehadiran para bekas penghuni Inrehab -- suka atau tidak suka -- mempercepat laju perubahan. Mereka dan para transmigran menyebarkan berbagai kesadaran baru di "pulau penuh janji" itu. Baik kesadaran pendidikan, penghidupan, maupun kemasyarakatan. Merekalah yang memacu perubahan sosial. Kelak, mungkin tak bakal ada lagi warga yang lelap oleh semilirnya angin di sela semak kayu putih. Atau terbius oleh senandung tua di atas kole-kole yang dibuai gelombang Laut Banda. Buru terus berubah. ZUC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini