Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sejarah politik Indonesia, nama Ali Moertopo mustahil luput dari perhatian. Dia dikenal bukan semata karena kedudukannya sebagai salah seorang asisten pribadi Presiden Soeharto, Kepala Operasi Khusus, atau sekurang-kurangnya Menteri Penerangan periode 1978-1983. Lebih dari itu, dia juga tokoh yang sanggup masuk ke berbagai kelompok kepentingan serta lihai menggalang dan "mengkapitalisasi" orang-orang yang—baik langsung maupun tak langsung—mendukung tujuan-tujuannya.
Jejak Ali nyaris ada di mana-mana. Di masa Orde Baru, sebagai intel, dia terlibat dalam operasi-operasi intelijen yang bertujuan memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto. Dia menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan; gagasan ini terwujud pada 1973, ketika semua partai melebur menjadi hanya Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan Partai Demokrasi Indonesia (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis).
Dialah, bersama Soedjono Hoemardani, karibnya dan sesama asisten pribadi Soeharto, yang merintis pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga penelitian kebijakan pemerintahan ini merupakan think tank yang, melalui Ali, ikut memberi masukan strategi dan kebijakan kepada Soeharto. Ali juga menggalang pengikut di kalangan intelektual muda, menggerakkan diskusi dan demonstrasi, "membidani" kelahiran sejumlah organisasi kepemudaan dan profesi, serta menyusupi dan "menggarap" kelompok-kelompok Islam radikal.
Melihat peran dan pengaruhnya, orang bisa tergoda untuk menyimpulkan dialah perancang utama tatanan sosial-politik Orde Baru. Melalui Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, buku terbitan 1972 yang kemudian diterima Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai strategi pembangunan jangka panjang, dia bahkan secara tak langsung mengisyaratkan dirinya sebagai bagian dari pemimpin Indonesia yang memiliki cita-cita sebagaimana tercantum dalam buku itu.
Kesan dan klaim itu bisa jadi berlebihan. Walau demikian, fakta bahwa Ali telah menatahkan begitu banyak faset dalam kehidupan politik di Indonesia tetap tak terbantahkan. Dia menjalankan—dengan cara apa pun—apa yang dia pikirkan. Sebagian dari yang Ali lakukan itu, berkat kepintarannya memanfaatkan kedekatan dengan Soeharto, juga kecekatannya berpikir taktis dan strategis, masih membekas pengaruhnya dan "hidup" hingga sekarang.
Ketika majalah ini memutuskan memilih Ali sebagai topik edisi khusus, yang diterbitkan sehubungan dengan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia pada 5 Oktober lalu, "portofolio" sepak terjangnya sudah berbicara dengan sendirinya: aktivitas berderet-deret dan jejaring yang luas itu menjadikannya tokoh yang penting, dengan kehidupan yang penuh warna: intrik, kasak-kusuk, adu domba, kontroversi. Tapi yang lebih penting untuk diungkap, sebenarnya, adalah mengapa dan bagaimana dia menjalankan semuanya, dalam konteks sejarah.
Di situlah, seperti edisi-edisi khusus lain sebelumnya, majalah ini berusaha membidikkan perhatian. Beberapa bagian kegiatan Ali, karena menyangkut operasi intelijen, tak jelas benar asal-usul dan alasannya. Karena itu, sejumlah hal mesti dibuat terang.
Sejak awal, kami sudah mengantisipasi banyak tugas reportase dan wawancara yang mesti dilakukan, di bidang-bidang kehidupan politik yang begitu beragam, untuk menyusun gambaran utuh mengenai Ali. Hal itu tak terelakkan mengingat, sejauh ini, sebagian besar kepingan cerita tentang Ali tersimpan di memori orang-orang yang pernah dekat atau bersinggungan dengannya. Kalaupun mereka mau berbicara, kendala dalam situasi semacam itu jelas: ingatan selalu ada batasnya.
Kerja ekstra bukan dalam urusan liputan saja. Saat baru menyusun bab dan bagian-bagiannya pun, di luar topik mengenai kehidupan pribadi Ali, tim redaksi mesti menyeleksi dengan ketat mana kegiatan atau "episode" yang mesti berdiri sendiri, mana yang kecil saja porsinya, dan mana yang cukup menjadi bahan di bagian lain. Ini sedikit pelik, karena hampir selalu ada irisan di antara bagian-bagian yang ada.
Dari diskusi pengumpulan bahan awal dengan sejumlah narasumber—di antaranya Rahman Tolleng, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, Aloysius Sugiyanto, dan Busyro Muqoddas—kami mendapatkan informasi berlimpah. Banyak cerita menarik di situ. Ditambah bahan riset, dan membaca kembali sejumlah buku serta memoar, wawancara dengan berbagai sumber lalu dilakukan untuk memastikan kebenaran dan melengkapi informasi yang sudah dicatat lebih dulu itu. Sejumlah penulis dan editor mengeroyok pengerjaan akhirnya.
Sebagai ikhtiar untuk merekonstruksi satu fragmen sejarah, melalui penceritaan kehidupan pelakunya, liputan ini bukan upaya untuk mengagung-agungkan atau mencaci-maki. Sama halnya dengan yang sudah-sudah, melalui edisi khusus ini kami mencoba menampilkan fakta sejarah dengan sedapat mungkin menghindari pandangan-pandangan subyektif yang memuja dan mengutuk. Kami tak menambahi atau mengurangi. Dan, seperti bisa dibaca pada tulisan-tulisan yang ada, memang tergambar betapa Ali terlalu penting untuk dilupakan jika kita hendak mengambil pelajaran dari masa lalu.
Tim Edisi Khusus Ali Moertopo Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi, Budi Setyarso Kepala Proyek: Widiarsi Agustina, Jajang Jamaluddin, Dwi Wiyana, Purwani Diyah Prabandari Penulis: Purwanto Setiadi, Widiarsi Agustina, Jajang Jamaluddin, Dwi Wiyana, Philipus Parera, Purwani Diyah Prabandari, Agung Sedayu, Maria Rita Ida Hasugian, Riky Ferdianto, Rusman Paraqbueq, Febriyan, Akbar Tri Kurniawan, Agoeng Wijaya, Anton Septian, Sandy Indra Pratama, Yuliawati, Mustafa Silalahi, Amandra Mustika, Isma Savitri Penyumbang Bahan: Widiarsi Agustina, Dwi Wiyana, Purwani Diyah Prabandari, Mustafa Silalahi, Agung Sedayu, Ahmad Fikri (Bandung), Sujatmiko (Blora) Penyunting: Arif Zulkifli, Purwanto Setiadi, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, Yosrizal Suriaji, Nugroho Dewanto, Bina Bektiati, Yosep Suprayogi, L.R. Baskoro, Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Jajang Jamaluddin, Setri Yasra, Sapto Yunus, Y. Tomi Aryanto, Widiarsi Agustina, Purwani Diyah Prabandari, Philipus Parera Periset Foto: Nita Dian, Ijar Karim Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Desain: Djunaedi (koordinator), Agus Darmawan Setiadi, Ajibon, Eko Punto Pambudi, Kendra H. Paramita, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo Pengolah Foto: Wahyu Risyanto |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo