Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUKUL delapan malam, 31 Desember 1969. Suasana di Tugu Monas meriah. Sebagian warga Ibu Kota bersiap merayakan tahun baru. Tapi, di Istana Negara, beberapa ratus meter dari Monas, justru sebaliknya. Wajah Presiden Soeharto memerah. Dengan nada tinggi ia berkata kepada tamu-tamunya, "Kalau rakyat marah dan menggantung saya, kalian senang, lantas tepuk tangan dan tertawakan saya?" Di hadapan Presiden, Ali Moertopo dan sejumlah aktivis muda yang dikenal sebagai Kelompok Tanah Abang duduk dengan jantung berdebar.
Malam itu Sumiskun, Rahman Tolleng, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, Soelistio, Medan Sirait, dan aktivis lain dipanggil ke Istana. Ali, Asisten Pribadi Presiden Bidang Sosial dan Politik, ikut mendampingi. "Kami pikir akan diajak pesta tahun baru, ternyata dicaci-maki," kata Jusuf, 76 tahun, September lalu.
Soeharto geram terhadap ulah mereka yang mengkampanyekan penundaan pemilihan umum. Sejak awal, Soeharto memang ingin pemilu dilaksanakan menurut jadwal, pada 1971. Namun Ali dan Kelompok Tanah Abang berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, pemilu belum bisa dilaksanakan selama struktur politik belum tertata baik. Sekretariat Bersama Golkar, selanjutnya menjadi Golkar, dianggap belum kuat menjadi mesin politik Soeharto. "Kami khawatir nasib Soeharto akan seperti Sukarno," kata Harry Tjan Silalahi, 76 tahun. Menurut Harry, Sukarno tumbang karena Presiden Indonesia pertama itu tak memiliki mesin politik yang kuat untuk menopang kekuasaannya.
Soeharto menolak usul para aktivis. Menurut dia, pemilu tak bisa diundur karena bisa menimbulkan gejolak politik. "Bila menuruti kemauan kalian, sampai tuek tak bakal ada pemilu," kata Soeharto menghardik. "Sekarang saya instruksikan untuk melaksanakan pemilu menurut rencana."
Mendengar itu, para pemuda terdiam kecut. Diam-diam Ali menyikut Sumiskun sambil berbisik, "Ayo, lawan, lawan...." Tak satu pun aktivis muda itu yang berani berbicara lagi.
Seusai pertemuan, Ali dan Sumiskun cs berkumpul di Tanah Abang. "Keputusannya sudah begitu, pemilu mesti dilanjutkan," kata Ali. "Sekarang mari perkuat posisi dan cari cara memenangi pemilu."
Waktu itu Soeharto memang belum memiliki kendaraan politik. Sejak 1968, Ali menyarankan dia membentuk partai politik baru untuk menopang kekuasaannya. Soeharto menolak. Alasannya, pembentukan partai baru terlalu sensitif dan berpotensi memicu gejolak di tentara. Soeharto lantas meminta Ali dan Kelompok Tanah Abang menggunakan Sekber Golkar sebagai kendaraan.
Tapi ini bukan pekerjaan gampang. Organ yang didirikan pada 1964 oleh Angkatan Darat itu dibuat untuk merangkul masyarakat anti-Partai Komunis Indonesia. Lembaga tempat berhimpun lebih dari 250 organisasi kemasyarakatan ini sangat cair. Sekber Golkar juga tidak memiliki struktur kelembagaan yang jelas. Kendala lain, menurut Jusuf, Sekber Golkar terkenal dengan reputasinya yang buruk di mata masyarakat. Sebagian pemimpinnya korup dan suka main perempuan. "Itu salah satu alasan mengapa kami memaksa supaya pemilu 1971 diundur," kata Jusuf.
Tak banyak pilihan, Ali mengambil langkah menguasai Golkar. Ia, misalnya, mengeluarkan sejumlah pengurus yang dianggap bermasalah. Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Golkar dikuasai. Wewenang memilih kandidat yang akan mewakili Golkar di parlemen mereka rebut. Untuk biaya awal Bappilu, Ali menyuntikkan dana Rp 50 juta. "Ia juga memberi Rp 50 juta lagi untuk mendirikan koran Suara Karya," kata Jusuf.
Tim Ali bergerak cepat. Jusuf Wanandi dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998 menulis bahwa Golkar juga memanfaatkan organisasi-organisasi binaan militer untuk mempromosikan diri. Pengurusnya mendatangi setiap rumah, menyebarkan propaganda bahwa hanya Golkar yang mampu menjamin stabilitas dan kemajuan pembangunan. Ancaman juga ditebar: jika tak mendukung Golkar akan dicap tak mendukung militer atau dianggap bersimpati pada PKI. Dalam kampanye, artis-artis Ibu Kota diboyong untuk menarik massa. Dana kampanye diperoleh dari pengusaha yang ingin mendapat perlindungan dan kemudahan.
Di tempat lain, diam-diam Ali menggelar operasi berbeda. Partai Nasional Indonesia (PNI), pesaing terbesar saat itu, menjadi target utama penggembosan. Keretakan partai dimanfaatkan. Sejumlah sumber menyebutkan, terpilihnya Hadisubeno sebagai Ketua Umum PNI dalam kongres pada 1970 di Semarang tak lepas dari peran Ali. Hadisubeno yang propemerintah dimanfaatkan untuk mendepak Hardi, ketua umum lama, yang dianggap menentang dwifungsi ABRI.
Partai-partai Islam bernasib sama. Misalnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan sejumlah tokoh Masyumi pada 1968. Dalam kongres pertama Parmusi di Malang, Mohamad Roem sebenarnya terpilih sebagai ketua umum menggantikan Djarnawi Hadikusumo. Namun, karena pemerintah tidak merestui Roem, pimpinan Parmusi kembali diambil alih Djarnawi. Begitu pula saat kongres 1970. Manuver Djaelani Naro, yang dikenal dekat dengan Ali Moertopo, membuat H.M.S. Mintaredja yang propemerintah terpilih. Ali juga memanfaatkan Mintaredja membendung masuknya orang-orang Masyumi antipemerintah mengendalikan Parmusi.
Tidak cukup di situ. Kelompok Ali juga mengagas konsep massa mengambang atau floating mass untuk memperkukuh Golkar. Menurut Rahman Tolleng, salah satu pencetus massa mengambang, gagasan itu sebenarnya antitesis konsep politik Orde Lama yang membolehkan partai membangun organ atau sayap di masyarakat. "Itu menyebabkan masyarakat tidak independen dalam memilih dan bersikap," kata Rahman, 75 tahun. Konsep itu juga melarang adanya kepengurusan partai politik di tingkat desa. Massa yang "lepas" dari partai politik itulah yang disebut sebagai massa mengambang.
Tokoh Nahdlatul Ulama, Subchan Z.E., sempat memprotes keras gagasan itu. Ia menuding floating mass bersumber dari teori diktator proletariat. "Bisa menghilangkan sistem cek dan kontrol," ujarnya di majalah Tempo edisi 17 Juli 1971. Protes Subchan sesungguhnya bersumber dari hilangnya massa pendukung NU di pedesaan. Juga dukungan dari onderbouw partai, yang sebelumnya menjadi penyumbang suara. Hal serupa dialami partai politik lain.
Sebaliknya, bagi Golkar, floating mass sama sekali tidak mengganggu. Sebagai organisasi baru, Golkar belum membangun organ politik. Struktur Golkar belum menjangkau desa-desa. Justru, dalam perkembangannya, Ali menggalang massa mengambang dalam organisasi-organisasi profesi yang dikendalikan Golkar. Organisasi hasil penggalangan Ali antara lain Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Siasat ini terbukti manjur. Pada Pemilu 1971, Golkar menang telak dengan meraup 34,3 juta suara atau 63 persen dari total pemilih. Golkar memperoleh 236 kursi dari total 360 kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Golkar terus menjadi pemenang pemilu hingga 1998, saat kekuasaan Soeharto berakhir.
Koran 50 Juta Rupiah
SEBUAH pertemuan digelar di Tanah Abang, Jakarta Pusat, awal 1971. Ali Moertopo bersama sejumlah aktivis muda berkumpul membicarakan strategi memenangkan Golkar pada pemilu yang akan digelar Juli tahun itu. Menjadikan Golkar pemenang jelas bukan perkara gampang. Sebagai partai baru, Golkar harus bersaing dengan partai lama, termasuk Partai Nasional Indonesia, yang menjadi penyokong utama Presiden Sukarno. Untuk mempercepat penguatan partai, Ali mengusulkan Golkar memiliki koran sendiri.
Rahman Tolleng, salah seorang aktivis yang hadir dalam pertemuan itu, awalnya menolak. Menurut dia, partai politik membuat media sendiri untuk kepentingan politiknya merupakan gaya Orde Lama—orde yang mereka gulingkan. Rahman, yang pernah mendirikan tabloid Mahasiswa Indonesia, justru berharap Orde Baru mampu membangun pers yang independen. "Kalau ada koran partai, berarti tidak ada pembaruan di Orde Baru," ujar Rahman, 75 tahun.
Ali berkukuh meminta Golkar memiliki media. "Pemilu sudah dekat dan partai butuh koran sendiri," kata Ali. Keputusan sudah final. Rahman melunak, tapi ia mengajukan syarat: koran itu tidak boleh memiliki rubrik editorial. "Tujuan saya untuk menghilangkan opini atau sikap media. Namun itu ditolak juga."
Lalu Suara Karya, harian yang menjadi corong Golkar, didirikan. Menurut Jusuf Wanandi, yang ikut hadir dalam pertemuan itu, Ali Moertopo memberikan uang Rp 50 juta sebagai biaya.
Sumiskun dipilih sebagai pemimpin umum sekaligus penanggung jawab. Posisi pemimpin redaksi dipercayakan kepada Djamal Ali, mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Adapun Rahman Tolleng menjadi wakil pemimpin redaksi. Di jajaran redaksi ada sejumlah tokoh, seperti Syamsul Bisri, Sayuti Melik, David Napitupulu, dan Cosmas Batubara.
Mereka bergerak cepat. Hanya dalam tiga hari, persiapan rampung. Suara Karya terbit perdana pada 11 Maret 1971, bersamaan dengan peringatan Supersemar.
Rizal Mallarangeng, dalam Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, mengatakan Suara Karya memang sejak awal didirikan sebagai media partisan Golkar. Koran itu dirancang untuk memobilisasi opini buat mendukung Orde Baru. "Ironis sebab koran semacam ini menjadi ciri pers Orde Lama—orde yang justru ingin diperangi," tulis Rizal.
Suara Karya edisi perdana dengan gamblang menggambarkan keberpihakan media itu terhadap Golkar dan Soeharto. Seperempat halaman pertama berisi ucapan selamat atas terbitnya koran itu dari Presiden Soeharto. Edisi itu menurunkan berita utama berisi dukungan atas keabsahan Supersemar yang memberi mandat bagi Soeharto untuk melakukan pembaruan pasca-Orde Lama. Tajuk rencana edisi perdana berjudul "Misi Suara Karya". Editorial ini berisi penjabaran misi koran sekaligus pernyataan dukungan terhadap Golkar.
Jusuf Wanandi bercerita, edisi-edisi awal Suara Karya dijual Rp 10 per eksemplar. Namun koran itu jarang pembelinya. "Bagaimana bisa laku? Semua orang tahu itu koran Golkar bikinan Soeharto," kata Jusuf. Kondisi ini membuat Ali Moertopo resah dan mengumpulkan awak redaksi Suara Karya. Dia meminta pendapat bagaimana agar koran itu dibaca banyak orang dalam waktu singkat.
Jusuf mengusulkan Ali agar membuat surat bagi para menteri supaya mewajibkan semua instansi pemerintah berlangganan. Cara itu terbukti manjur. Oplah Suara Karya langsung melonjak menjadi 25 ribu eksemplar. Satu tahun kemudian, oplahnya naik dua kali lipat menjadi 54 ribu eksemplar. Suara Karya kemudian menjadi salah satu koran dengan angka sirkulasi terbesar saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo