Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perintis Jalan Politik Soeharto
Ali Moertopo melapangkan jalur Soeharto meraih kursi presiden. Bekerja di balik layar untuk mempersenjatai mahasiswa hingga menyingkirkan pendukung Sukarno di parlemen.
LETNAN Kolonel Ali Moertopo paham gaya dan keinginan Soeharto. Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu akan menolak jika ditawari menjadi presiden, tapi menerima jika disodori kesempatan. Karena itu, Ali memutuskan menghubungi aktivis penentang Partai Komunis Indonesia.
Kepada Ali Moersalam, adiknya, Ali Moertopo suatu ketika menuturkan pada 1965 berkali-kali meminta kesediaan Soeharto menggantikan Presiden Sukarno. Alih-alih menjawab, Soeharto meminta Ali menemui Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution untuk menanyakan kesediaan menjadi presiden. Jawaban Nasution, menurut Ali kepada adiknya, "Sukarno tak tergantikan."
Nasution pun menyarankan Ali menemui mantan wakil presiden Mohammad Hatta. Sebagai proklamator, Hatta dianggap lebih pantas menggantikan Sukarno. Tapi jawaban Hatta kurang-lebih sama, bahwa Sukarno sulit digantikan. Hatta juga mengaku terlalu tua dan "hanya negara totaliter yang suka mempertahankan kepemimpinan orang tua". Setelah mendengar laporan Ali, Soeharto berkomentar, "Betul, kan, Sukarno sulit dicari gantinya."
Suasana pada saat itu sangat genting. Pembunuhan enam jenderal pada 1 Oktober 1965 dinihari membuat tentara menerapkan jam malam di Ibu Kota. Petinggi militer segera menunjukkan tudingan ke Partai Komunis Indonesia sebagai pelaku pembunuhan.
Perbincangan di halaman markas Kostrad, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, menggambarkan suasana sehari setelah pembunuhan. Ali Moertopo, Asisten Intelijen Komando Tempur II Kostrad, berbicara dengan Kepala Intelijen Kostrad Kolonel Yoga Soegomo.
"Pak Yoga jangan tergesa-gesa. Nanti bisa keliru," kata Ali Moertopo.
"Tidak. Ini mesti perbuatan PKI. Kita tinggal mencari bukti-buktinya," Yoga menjawab tegas.
"Waduh, kok PKI. Kalau salah, bagaimana?"
"Sudahlah. Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. PKI memberontak."
Pagi itu, Yoga datang paling awal ke markas Kostrad. Ali Moertopo dan Kapten Aloysius Sugiyanto, orang kepercayaannya, datang menyusul. Sekitar pukul 07.20, demikian tercatat dalam buku Memori Jenderal Yoga, mereka mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia.
Siaran itu mengumumkan terjadinya "Gerakan 30 September" yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion I Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno. Gerakan itu pun mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi untuk menjalankan pemerintahan.
Nama Untung meyakinkan Yoga bahwa PKI berada di balik Gerakan 30 September. Yoga menyatakan sudah lama mencurigai Untung, yang pernah menjadi bawahannya, sebagai perwira berhaluan kiri. Dalam rapat singkat hari itu, Yoga pun meyakinkan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto bahwa penculikan para jenderal didalangi PKI.
Dewan Revolusi yang diumumkan Untung hanya bertahan dalam hitungan jam. Soeharto menggerakkan TNI Angkatan Darat dan segera menguasai kembali Ibu Kota, termasuk mengusir pasukan Untung dari Radio Republik Indonesia.
Beberapa hari berselang, meski dalang kerusuhan belum jelas, gerakan pengganyangan PKI segera merebak. Tuntutan agar PKI dibubarkan kian nyaring. Presiden Sukarno bergeming. Sebaliknya, gerakan mendukung Soeharto agar mengambil alih kekuasaan muncul. Soeharto mengambil sikap berhati-hati.
Ali Moertopo segera menyokong dan melindungi gerakan mahasiswa serta kelompok lain yang menginginkan kejatuhan Sukarno. Misalnya, ketika intel Tjakrabirawa memburu para aktivis, Ali menyembunyikan mereka di kantornya, markas Komando Tempur II Kostrad, Jalan Kebon Sirih, Jakarta.
Ketika sekretariat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia di kampus Universitas Indonesia menjadi sasaran barisan pendukung Sukarno, Ali memberi tempat kepada kelompok itu untuk bermarkas di Komando Tempur. Sofjan Wanandi dan sejumlah pentolan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia sering menginap di "rumah aman" Ali. Di kantor Ali Moertopo pula mereka untuk pertama kalinya mendengar kabar bahwa Presiden Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret atawa Supersemar.
Ali Moertopo tak hanya menyediakan tempat bersembunyi. Agar para aktivis merasa lebih aman, Ali membantu mereka memperoleh senjata api. Belakangan, para aktivis tahu bahwa senjata itu tak berfungsi. "Waktu dicoba, pelurunya hanya terlontar beberapa meter," ujar Jusuf Wanandi, aktivis Angkatan 1966, yang pernah dibekali pistol FN selama berbulan-bulan.
Setelah menerima Supersemar, Soeharto membubarkan PKI. Ia juga merombak kabinet. Menteri yang dianggap "pro-komunis" disingkirkan. Toh, pendukung Soeharto tetap khawatir Sukarno mencabut Supersemar sewaktu-waktu. Karena itu, mereka mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengukuhkan Supersemar menjadi ketetapan.
Pada akhir Juni sampai awal Juli 1966, MPRS yang dipimpin Nasution menggelar sidang. Perwakilan TNI Angkatan Laut, di bawah pimpinan Laksamana Mulyadi dan Jenderal Maritim Hartono, melawan setiap serangan kepada Sukarno. Tapi upaya mereka sia-sia. Pidato pertanggungjawaban Sukarno berjudul "Nawaksara" ditolak MPRS.
Setelah bersidang selama 14 hari, MPRS menghasilkan 24 ketetapan. Salah satunya Ketetapan Nomor IX Tahun 1966 tentang Kelanjutan dan Perluasan Penggunaan Supersemar. Isinya mengulangi persis kata-kata dalam Supersemar, minus kewajiban melindungi Pemimpin Besar Revolusi.
Posisi Soeharto sebagai penerima Supersemar semakin kuat. Mandat untuk dia datang dari MPRS, bukan hanya dari Sukarno. Sebagai mandataris MPRS, Sukarno tak bisa lagi menarik atau melakukan tindakan apa pun atas pemegang Supersemar.
Pada Februari 1967, MPRS kembali menggelar sidang. Kali ini, Presiden Sukarno menyampaikan pembelaan tambahan berjudul "Pel. Nawaksara" (Pelengkap Nawaksara). Tapi penjelasan khusus tentang Gerakan 30 September itu pun ditolak.
Jalan bagi Soeharto makin lapang saja, walau dia belum tegas menyatakan kesediaan. Difasilitasi Ali Moertopo, para aktivis Angkatan 1966 menemui Soeharto di rumahnya, Jalan Agus Salim, Jakarta. Mereka meminta kesediaan Soeharto menjadi presiden. Tapi Soeharto mengaku tak bisa menggantikan Sukarno. Kalaupun diberi kepercayaan, dia hanya mau menjadi "pelaksana tugas kepresidenan".
Dalam memoar politiknya, Shades of Grey, Jusuf Wanandi menerangkan, sebenarnya hanya terjadi perbedaan interpretasi atas huruf-huruf. Ketika ditawari status "Pd. Presiden", Soeharto menyatakan bersedia bila singkatan "Pd" diartikan sebagai "Pemangku Djabatan", bukan "Pedjabat" Presiden. Beberapa jam kemudian, Soeharto pun diangkat sebagai "Pd. Presiden". Adapun Sukarno tetap sebagai presiden, tapi kekuasaan eksekutifnya dijalankan Soeharto.
Untuk mengurangi gangguan terhadap Pejabat Presiden, Ali Moertopo dan kelompoknya terus "melapangkan" jalan di Senayan. Mereka berusaha menyingkirkan sekitar 90 anggota parlemen pro-Sukarno. Ali meminta Jusuf Wanandi dan kawan-kawan mencari kelompok yang pro-kepemimpinan baru. "Itu pekerjaan pertama dari Pak Ali setelah PKI dibubarkan," kata Jusuf Wanandi.
Tak mudah mencari orang sebanyak itu dalam waktu singkat. Jusuf menyodorkan daftar yang terdiri atas 90 nama. Soeharto manggut-manggut tanda setuju.
Lalu keluarlah Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1967 yang mengatur penambahan anggota DPR-GR. Masuklah 45 orang dari kalangan partai dan 63 orang dari Golkar. "Proses pengangkatan anggota baru DPR dengan keppres ditandatangani Jenderal Soeharto…," ujar Nasution dalam sebuah wawancara.
Dengan memasukkan orang baru, jaringan pendukung Soeharto semestinya bisa menguasai penuh forum sidang MPRS. Tapi, menjelang sidang MPRS 1968, ganjalan datang dari kubu Nasution. Pimpinan MPRS rupanya tak mau memberi cek kosong bagi Soeharto. Mereka menginginkan MPRS efektif mengontrol kekuasaan Pejabat Presiden. Nasution pun ingin pimpinan dan Badan Pekerja MPRS aktif sepanjang periode, termasuk meminta laporan tahunan dari Pejabat Presiden.
Beberapa pekan sebelum sidang, Badan Pekerja MPRS yang dipimpin Nasution, bersama wakilnya, Subchan Z.E., sudah menyiapkan rancangan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara. Menurut kubu pendukung Soeharto, rancangan GBHN yang sangat rinci itu sulit dilaksanakan dalam waktu singkat oleh presiden mana pun. Misalnya soal anggaran pendidikan sebesar 20 persen. "Itu uangnya dari mana," kata Harry Tjan Silalahi, aktivis gerakan Front Pancasila dan pendiri Centre for Strategic and International Studies.
Malam hari sebelum sidang MPRS digelar, Ali Moertopo dan kelompoknya, antara lain Jusuf Wanandi, kembali mendatangi rumah Soeharto. Mereka memberitahukan bahwa rancangan konstitusi dan GBHN yang disusun Nasution penuh jebakan. "Bapak tak bisa menerima rancangan yang disusun Nasution bersama militer yang sangat kanan itu," ujar Ali.
Ali juga menjelaskan, rancangan itu "ditumpangi agenda kelompok yang ingin menghidupkan syariat Islam". Ali mencontohkan larangan berganti agama dalam rancangan amendemen konstitusi. Rancangan seperti itu, menurut Ali, juga bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Ali pun mengingatkan Soeharto bahwa jebakan ada dalam rancangan konstitusi tentang penyusunan kabinet. Nasution meminta kabinet dipilih presiden dengan meminta pertimbangan parlemen. Padahal, menurut pandangan Ali dan kawan-kawan, Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer.
Pendek kata, menurut Ali dan kawan-kawan, barisan Nasution menuntut terlalu banyak dari Soeharto. "Kalaupun punya lampu Aladin, Bapak tak bakal bisa melaksanakannya," kata salah satu dari mereka. "Semua itu dirancang agar Bapak tak bisa dipilih lagi pada 1971," ujar Ali menguatkan.
Soeharto kali ini lebih mudah diyakinkan Ali dan pendukungnya. "Oke, bereskan semua itu," kata Soeharto.
Besoknya, pendukung Soeharto datang ke sidang MPRS dengan agenda utama: membuang gagasan Nasution cs dan memantapkan posisi Soeharto. Perdebatan di parlemen pun berlangsung panas. Kelompok pro-Soeharto habis-habisan menolak argumen kubu Nasution. "Yang tua-tua itu kami sikat," ujar Harry Tjan. Akhirnya, semua draf yang dibuat Nasution cs ditolak sidang. Pada 8 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden penuh.
Ali dan kawan-kawan sukses menaikkan Soeharto sebagai presiden. Hingga dasawarsa pertama kekuasaan Orde Baru, Ali Moertopo terus melakukan berbagai "operasi". Itu semua, menurut Ali dan kawan-kawan, untuk mendukung "Pak Harto" menyukseskan "tugas-tugas konstitusionalnya".
Tiga Lembar Polaroid Supersemar
LETNAN Kolonel Ali Moertopo menyorongkan dua lembar surat kepada orang kepercayaannya, Mayor Aloysius Sugiyanto. "Tolong cepat gandakan," kata Sugiyanto, kini 85 tahun, menirukan perintah Ali yang disampaikan di tengah rapat 11 Maret 1965 malam di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu, tiga pekan lalu.
Rapat dipimpin Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Menurut Sugiyanto, Ali lalu meneruskan perintahnya, "Segera kembali!"
Sugiyanto mengingat, surat itu baru beberapa jam sebelumnya diterima Soeharto dari tiga jenderal yang baru pulang dari Istana Bogor, yaitu Brigadir Jenderal Muhammad Yusuf, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud. Mereka baru saja menghadap Presiden Sukarno.
Menerima surat—belakangan dikenal sebagai Supersemar—Soeharto mengumpulkan tokoh-tokoh politik di Markas Kostrad. Ia mengenakan seragam loreng dan syal kuning di lehernya. Suaranya serak, menjelaskan isi surat, termasuk rencananya membubarkan Partai Komunis Indonesia.
Dikawal polisi militer, Sugiyanto berkeliling Jakarta menggunakan jip, mencari studio foto yang masih buka. Tugas sulit, karena malam telah larut dan di Ibu Kota diberlakukan jam malam. "Zaman itu belum ada mesin fotokopi. Adanya stensilan atau foto," ujar Sugiyanto, yang pensiun dengan pangkat terakhir kolonel.
Perwira intelijen Kostrad itu pun memutuskan menggedor rumah Jerry Albert Sumendap, pengusaha asal Manado, Sulawesi Utara, di Jalan Lombok, Menteng, Jakarta Pusat. Jerry, yang belakangan mendirikan Bouraq Airlines, dikenal Sugiyanto bisa diandalkan dalam situasi darurat. Sering ke luar negeri, Jerry punya banyak peralatan canggih pada masa itu. "Beruntung, Sumendap ada di rumah malam itu," kata Sugiyanto.
Di ruang tamu rumah pengusaha perkapalan itu, Sugiyanto menempelkan dua lembar surat ke dinding. Mereka berembuk cara menggandakan dokumen dalam waktu cepat. Semula dokumen akan difoto dengan kamera biasa. Tapi Sugiyanto menolak karena butuh waktu untuk cuci-cetak film. Adapun perintah Ali Moertopo, ia harus pulang segera.
"Sumendap berpikir menggunakan kamera Polaroid miliknya," ujar Sugiyanto lagi. Pengusaha perkapalan yang dikenal sebagai aktivis Permesta itu memiliki kamera Polaroid kecil. Lima kali jepretan, tiga di antaranya berhasil bagus. Sugiyanto mencopot surat dari dinding. Ia memasukkan surat asli dan fotonya ke dalam satu map.
Di ruang rapat Kostrad, Sugiyanto mengantarkan map itu ke Brigadir Jenderal Soetjipto, Ketua G-V Koti atau Komando Operasi Tertinggi. Di ruang rapat itu masih ada Soeharto. Sugiyanto melapor ke Ali Moertopo. "Setelah itu, saya tidak tahu di mana Supersemar," kata Sugiyanto.
Setelah 39 tahun, dalam satu seminar di Hotel Ambhara, Jakarta, Sugiyanto baru tahu pada malam itu Soetjipto menelepon Letnan Kolonel Sudharmono. Ia minta disiapkan rancangan surat keputusan pembubaran PKI. Sudharmono memerintahkan Letnan Satu Moerdiono membuat konsep surat itu.
Moerdiono, dalam seminar itu, menuturkan sempat memegang Supersemar asli hanya satu jam. Dokumen itu dibawa Boediono, ajudan Soetjipto, untuk dijadikan dasar konsep. "Setelah itu, surat aslinya di bawa ke Kostrad," ujar Moerdiono. Ia memastikan Supersemar asli terdiri atas dua lembar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo