Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMERA pengintai di rumah Novel Baswedan di Jalan Deposito T, Kelapa Gading, Jakarta Utara, merekam gerak-gerik laki-laki gempal yang mengetuk pintu pada 5 April 2017 sore. Ia memakai topi hitam-putih, kaus lengan panjang, dan celana jins. Ia terlihat berbicara dengan seseorang di dalam rumah yang tak terekam kamera.
Sebelum mengetuk pintu, ia terlihat melintas di depan rumah Novel menunggang sepeda motor mirip Yamaha Mio. Berputar setelah melewati pintu gerbang, ia berhenti di depan rumah tetangga dan memutar sepeda motornya kembali. Masih di atas sepeda motor, ia terlihat mengawasi pintu gerbang yang terbuka. Setelah itu, pelan-pelan ia mendekat ke gerbang.
Setelah menyandarkan motornya pada standar, ia terlihat ragu-ragu melintasi gerbang rumah. Celingak-celinguk sebentar, ia naik ke teras dan mengetuk pintu. Setelah berbicara sebentar, ia balik kanan menuju sepeda motornya dan pergi hingga lepas dari rekaman kamera.
Video itu sudah diperiksa polisi dalam penyelidikan penyiraman air keras kepada Novel Baswedan pada 11 April lalu. Sejauh ini, polisi belum bisa menemukan pelaku yang membuat penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu terbaring di Singapore General Hospital. Penglihatan Novel rusak parah akibat air keras itu.
Orang yang berbicara dengan laki-laki gempal itu adalah pembantu rumah Novel. Ia membenarkan peristiwa yang terekam kamera sepekan sebelum insiden nahas menimpa majikannya itu. Pembantu ini ingat ada seorang lelaki seperti dalam di video itu datang bertamu. "Dia menanyakan apakah di sini ada gamis laki-laki," katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu. "Saya jawab tak ada karena di sini hanya menjual gamis perempuan."
Istri Novel, Rina Emilda, membuka butik di rumahnya dan menjual secara online. Pembantu ini menjelaskan, hari itu pintu gerbang terbuka karena ia tak buru-buru menutupnya ketika Rina pamit pergi. Pembantu ini sibuk melipat baju-baju di dalam rumah.
Para tetangga Novel yang ditunjuki video itu mengaku melihat sosok laki-laki yang sama mondar-mandir di sekitar Masjid Al-Ihsan pada subuh ketika Novel disiram air keras. Masjid perumahan itu berjarak lima rumah dari kediaman Novel. Setiap subuh, mantan polisi kelahiran 1977 itu melakukan salat berjemaah di sana.
Seorang pengurus masjid masih ingat sosok gempal itu. Menurut dia, laki-laki tersebut mondar-mandir di sekitar masjid sehari sebelum penyiraman. Sesekali ia terlihat masuk ke toilet masjid untuk buang air kecil. "Dia lama di luar masjid di samping motor matiknya seperti melihat ke arah rumah Pak Novel," ujar pria 35 tahun ini. "Dia di luar terus dan tak ikut salat."
Esoknya, pada 11 April 2017, laki-laki itu kembali berada di sekitar rumah Novel. Seorang tetangga Novel, yang pulang lebih cepat sebelum zikir subuh berakhir karena sakit perut, bersirobok dengan pria itu. Ia tengah duduk di bangku semen di persimpangan berjarak sepuluh langkah dari masjid. Di dekat sang pria, tak jauh dari bangku itu, menurut tetangga Novel ini, ada seorang lelaki kurus yang berdiri di sebelah sepeda motor Yamaha NMAX hitam.
Laki-laki kurus ini tak ia kenali karena memakai helm dan jaket. Dari arah helmnya, lelaki itu tak mengalihkan pandangan dari pintu masjid. Sedangkan lelaki gempal yang duduk tak memakai helm. Tetangga Novel ini yakin ciri-cirinya mirip dengan pria dalam rekaman. "Badannya gempal, rambut ikal, wajahnya bulat," katanya.
Setelah itulah ia mendengar ribut-ribut dari arah masjid. Novel, yang baru melangkah 30 meter dari pintu masjid, disiram air keras pada wajahnya. Sambil berteriak minta tolong, Novel lari ke masjid untuk membasuh muka. Tetangga lain yang pulang bersamanya geger dan sibuk menyediakan mobil untuk membawa Novel ke rumah sakit. "Ada banyak saksi yang melihat penyiram. Seharusnya polisi bisa segera membekuknya," ujar Novel lewat sambungan telepon dari Singapura.
Dua laki-laki yang duduk di bangku persimpangan itu telah lenyap. Mereka diduga pelaku kejahatan ini. Di lokasi penyiraman, tertinggal cangkir yang dipakai sebagai wadah air keras. Polisi baru datang ke lokasi beberapa jam setelah kejadian dan melingkari lokasi itu dengan garis polisi.
Pagi itu, kabar segera tersiar. Novel diserang orang tak dikenal. Ia terkenal sebagai penyidik KPK yang berani dan acap mengusut perkara besar. Saat kejadian itu, ia tengah mengulik dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat disebut menerima suap proyek jumbo pada 2010-2011 itu.
SELAMA menjalani pengobatan mata di Singapura, Novel terus memantau perkembangan penyelidikan penyiraman air keras itu oleh polisi Jakarta. Jauh-jauh hari ia sebenarnya sudah mengantongi foto dua lelaki asing tengah duduk tidak jauh dari rumahnya. Para tetangga memotret mereka karena gerak-geriknya mencurigakan.
Satu orang terpotret tengah duduk di atas sepeda motor dengan nomor polisi B-4555-TJU pada 28 Februari 2017. Satu orang lagi terekam tengah duduk di seberang rumah Novel yang terpisah parit. Foto kedua ini diambil seorang penduduk pada 14 Maret 2017. Tetangga Novel sudah menyerahkan foto-foto itu kepada polisi.
Dari penelusuran para penyelidik, dua laki-laki itu adalah M. Hasan Hunusalela dan Muhklis Ohorella. Muhklis yang duduk di sepeda motor, sementara Hasan duduk di seberang rumah. Polisi memeriksa keduanya. "Mereka tak ada di Jakarta ketika Novel disiram air keras," ujar juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Argo Yuwono.
Alibi yang disodorkan Hasan saat diperiksa, kata Argo, adalah tiket Jakarta-Malang pada 6-13 April 2017. Menurut Argo, polisi telah mengecek tiket pesawat itu dan memverifikasinya ke Malang. Hasilnya, pengakuan keduanya terkonfirmasi oleh maskapai penerbangan, rekaman CCTV di sebuah minimarket saat Hasan berbelanja, dan orang-orang yang berhubungan dengannya di Jawa Timur.
Adapun Muhklis mengaku berada di Tambun pada subuh 11 April. Menurut Argo, polisi sudah memeriksa kerabat Muhklis yang ia datangi di Tambun, yang membenarkan pertemuan itu. Kepada wartawan, polisi tak menyebut para saksi alibi keduanya.
Ketika ditanyai penyidik, Hasan dan Muhklis mengaku berada di sekitar rumah Novel karena bertugas sebagai "mata elang" yang membuntuti para penunggak cicilan sepeda motor. Belakangan, Argo malah menyebut keduanya sebagai informan polisi. Ia dipakai polisi sebagai cepu alias mata-mata-untuk menguntit pencurian sepeda motor.
Keterangan polisi Metro Jaya itu muncul setelah para penyelidik melacak pemilik sepeda motor yang diduduki Muhklis. Sepeda motor itu tercatat atas nama Muhammad Yusmin Ohorella. Dia polisi berpangkat brigadir kepala di Satuan Reserse Mobil Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Setyo Wasisto membenarkan soal ini. "Ya, itu motor Yusmin. Mereka satu kampung di daerah timur sana," kata Setyo.
Muhklis dan Hasan tak bisa dihubungi lewat nomor telepon selulernya. Tempo kemudian mendatangi alamat Yusmin yang tertera dalam dokumen sepeda motor itu pada akhir Mei lalu. Alamatnya di sebuah kampung kumuh di Pisangan, Jatinegara, Jakarta Timur.
Yadi, ketua rukun tetangga setempat, membenarkan bahwa Yusmin tinggal di alamat itu, tapi jarang terlihat berada di sana. "Dia hanya membuat KTP di sini," ujarnya. Disambangi di kantornya dalam beberapa kesempatan, Yusmin tidak pernah muncul. Menurut sejumlah koleganya di sana, ia tengah bertugas di luar kantor.
Polisi agaknya melupakan Hasan dan Muhklis sebagai terduga pelaku penyiraman. Mereka percaya terhadap alibi keduanya tanpa mengecek lebih jauh kepada para saksi. Padahal seorang tetangga Novel mengaku pernah ditanyai Hasan soal jadwal pulang Novel Baswedan. Hasan juga pernah menguntit pembantu rumah Novel saat berbelanja. Tak sekali pun polisi mengorek untuk apa mereka mengintai Novel, seseorang yang sama sekali tak punya tunggakan kredit sepeda motor.
Di Singapura, sepekan setelah kejadian penyiraman, layanan WhatsApp di telepon seluler Novel Baswedan bergetar menerima sebuah foto yang menampilkan dua orang tengah berangkulan. Menurut Novel, foto itu dikirim seorang perwira menengah Detasemen Khusus Antiteror Markas Besar Polri. "Dia menduga salah satunya adalah pelaku," katanya.
Kepada Novel, perwira itu mengaku mendapat tugas khusus dari Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian untuk mencari penyerangnya. Tito membenarkan kabar bahwa ia membentuk tim khusus. "Dari awal saya minta Densus membantu kasus ini," ujarnya.
Perwira Detasemen Khusus itu juga menjelaskan kepada Novel bagaimana foto tersebut dapat diperoleh. Dia rupanya menggunakan metode penyelidikan seperti laiknya memburu teroris, yakni memakai metode pelacakan nomor asing melalui base transceiver station (BTS) terdekat dari lokasi insiden. Selama sepekan sebelum penyiraman dan pada hari kejadian, Detasemen Khusus mendapatkan sebuah nomor telepon yang menjadi tempat menyimpan foto itu.
Satu laki-laki dalam foto itu adalah Hasan Hunusalela. Ketika Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan menjenguknya di Singapura bersama tiga anak buahnya pada 6 Mei lalu, Novel menyerahkan foto itu.
Esoknya, penyidik memanggil kembali Hasan untuk menanyakan identitas laki-laki di sebelahnya dalam foto tersebut. Dari Hasan, polisi tahu laki-laki gempal itu bernama Ahmad Lestaluhu. Menurut Hasan, ia sekampung dengan Ahmad di Maluku Tengah.
Dua hari setelah memeriksa Hasan, polisi menjemput Ahmad di rumahnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Setelah memeriksanya seharian, polisi melepas laki-laki yang mengaku bekerja sebagai petugas sekuriti di Classic Spa & Club, Sawah Besar, Jakarta Pusat, itu. Ia mengaku sedang menonton televisi di rumah pamannya bersama tiga saudaranya ketika Novel disiram air keras.
Polisi mengklaim sudah membawa Ahmad ke rumah pamannya untuk meminta konfirmasi soal alibi tersebut, termasuk menanyai tiga saudaranya yang bersama-sama menonton televisi subuh itu. Polisi juga menanyai sejumlah tukang ojek dan tetangga di sekitar rumah si paman. "Alibinya dianggap lengkap," ujar Iriawan.
Menurut Iriawan, polisi kesulitan melacak pelaku penyiraman karena jejak-jejaknya sumir. Rekaman kamera di rumah Novel, kata dia, berkualitas rendah sehingga gambar pecah saat diperbesar untuk mempertegas wajah laki-laki gempal itu. "Sidik jari di cangkir juga hilang karena terhapus air keras," ujarnya.
Walhasil, hampir dua bulan setelah penyiraman, polisi tak bisa menangkap pelakunya. "Tak semua perkara pidana bisa cepat dipecahkan," Iriawan beralasan.
SEBETULNYA ada yang luput dikejar polisi dari bukti-bukti yang terserak itu. Para tetangga Novel di Kelapa Gading tak pernah dimintai konfirmasi ulang soal foto Ahmad Lestaluhu. Padahal langkah itu penting untuk memverifikasi alibinya. Karena itu, sepekan terakhir Tempo mendatangi kembali para tetangga tersebut dengan membawa foto Hasan dan Ahmad.
Pembantu rumah Novel, misalnya, mengatakan laki-laki gempal yang bertamu menanyakan gamis tersebut mirip dengan Ahmad di foto itu. Dua tetangga Novel yang pernah melihat lelaki gempal mondar-mandir di kompleks pun mendukungnya.
Tetangga lain-yang sakit perut seusai salat subuh pada 11 April dan melihat dua laki-laki di persimpangan dekat masjid-menguatkan kesaksian itu. Ia mengatakan laki-laki yang tak memakai helm itu mirip Ahmad Lestaluhu. "Kemiripannya 80-90 persen," ujarnya.
Tempo juga mengecek pengakuan Ahmad ke Classic Spa & Club. Bambang Suherman, petugas sekuriti di sana, membenarkan bahwa Ahmad bekerja bersamanya di lantai dasar. Dalam dua kedatangan Tempo sebelumnya, setiap orang mengaku tak mengenal Ahmad Lestaluhu. Rupanya, itu karena di sana ia lebih dikenal dengan nama "Denis", kependekan dari "gede" dan "manis".
Dalam sepekan, Ahmad masuk enam hari dengan waktu kerja 12 jam sehari. Ada dua shift kerja, pukul 12.00 hingga 00.00 dan pukul 00.00 hingga 12.00. Saat Tempo mendatangi Classic pada Kamis pekan lalu, ia disebutkan masuk kerja pukul 13.00. Tapi, ditunggu hingga sore, ia tak terlihat. Pegawai di sana mengatakan Ahmad tak masuk kerja.
Belakangan, dia rupanya bisa dikontak lewat telepon seluler dengan nomor yang terlacak oleh Detasemen Khusus Antiteror. Dari nomornya, terlihat ia lebih banyak bergerak di sekitar Pasar Minggu dan Sawah Besar. Di telepon, ia membenarkan bernama Ahmad Lestaluhu dan bekerja di Classic. Ia mengatakan dugaan bahwa ia salah satu pelaku penyiraman air keras kepada Novel adalah fitnah.
Ahmad berdalih selama di Jakarta belum pernah menginjakkan kaki di Kelapa Gading. "Saya tidak tahu apa-apa dan semua tuduhan itu tidak benar," ujarnya. Ia tak menyangkal mengenal Hasan dan Muhklis meski tak membenarkan ketiganya satu kampung. "Kenal saja," katanya.
Untuk menguji konsistensi pengakuannya, Tempo menelepon Ahmad Lestaluhu dua kali. Ia konsisten mengaku bernama itu dan tetap menyangkal menjadi pelaku penyiraman terhadap Novel dalam telepon kedua.
Novel Baswedan terdengar geram di telepon ketika disinggung soal lambannya penyelidikan polisi, yang sudah hampir dua bulan belum menghasilkan apa pun. Sebagai mantan penyidik polisi, ia menghitung, seharusnya pelaku penyerang dirinya bisa dibekuk dalam waktu tak kurang dari sepekan karena bukti dan saksinya lebih dari cukup sebagai petunjuk. "Kalau seperti ini, saya kasihan kepada polisi," ujarnya. "Kualitas mereka jelek sekali."
Anton Aprianto, Setri Yasra, Gadi Makitan, Wayan Agus Purnomo, Fransisco Rosarians
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo